Studi tentang Makan Siang Gratis, Mana Metode yang Ideal?

Ada metode Ready to Eat, Ready to Cook, dan Swakelola

Intinya Sih...

  • Dengan tiga model pemberian makan, studi ini dilakukan untuk melihat efektivitas setiap model dalam pemenuhan kebutuhan gizi anak-anak.
  • Studi ini menguji tiga model pemberian makan bergizi: Ready to Eat, Ready to Cook, dan Swakelola.
  • Dari ketiga model pemberian makanan yang diuji, model Swakelola menunjukkan tingkat konsumsi tertinggi dengan 84 persen siswa mengonsumsi makanan.

Rencana pemerintah Indonesia mendatang yang akan memberikan makan siang gratis kepada anak sekolah masih terus dibicarakan. Kemungkinan dan aksesibilitas program ini masih terus menuai pro dan kontra dari banyak pihak.

Menanggapi hal ini, PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JAPFA) bersama Yayasan Edufarmers dan Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Universitas Indonesia (PKGK UI) telah melakukan studi yang bertujuan untuk mengukur kecukupan gizi anak-anak Indonesia.

Menggunakan tiga model pemberian makan, studi ini dilakukan untuk melihat efektivitas setiap model dalam pemenuhan kebutuhan gizi anak-anak. 

1. Menggunakan tiga model makan siang

Studi tentang Makan Siang Gratis, Mana Metode yang Ideal?ilustrasi anak sekolah (unsplash.com/Husniati Salma)

Studi ini menguji tiga model pemberian makan bergizi, yaitu Ready to Eat (RTE), Ready to Cook (RTC), dan Swakelola. Persiapan studi ini memakan waktu tiga bulan, mulai dari perencanaan konsep model hingga pemilihan lokasi. 

  • RTE: Metode ini menunjuk salah satu katering rekanan untuk memproduksi makanan yang didistribusikan kepada siswa di sekolah.
  • RTC: Sekolah mengelola produksi makanan untuk diberikan kepada anak-anak.
  • Swakelola: Dana yang disediakan dikelola oleh sekolah dan sekolah membentuk tim untuk produksi bahan makanan.

Pada awal Mei, model ini mulai diimplementasikan di lima wilayah, yaitu SDN 06 Batang Anai di Padang, SDN 01 Duyungan di Sragen, Posyandu Kecamatan Bululawang di Malang, SDN 03 Sungai Pinyuh di Mempawah, dan SD Bugatun Mubarakah dan TK Asoka di Makassar.

Setiap wilayah menjalani uji coba selama enam minggu berturut-turut, dengan durasi 10 hari untuk masing-masing model pemberian makanan. Setelah periode ini, dilakukan pengukuran dan evaluasi untuk mengetahui angka kecukupan gizi serta efektivitas pelaksanaan di setiap lokasi.

2. Model Swakelola memiliki tingkat konsumsi tertinggi

Ahli gizi dari Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Universitas Indonesia (PKGK UI), Prof. Dr. drg. Sandra Fikawati, MPH, mengungkapkan temuan penting dari studi ini.

Berdasarkan observasi lapangan, konsumsi protein hewani di kalangan siswa masih relatif rendah, dengan pengecualian pada telur. Selain itu, sebanyak 63 persen siswa tidak terbiasa membawa bekal.

"Meskipun demikian, status gizi siswa dilihat dari berat dan tinggi badan, tergolong normal berdasarkan standar WHO dan Kemenkes." ucap Prof. Sandra pada Rabu (25/9/2024) di Jakarta. 

Dari ketiga model pemberian makanan yang diuji, model Swakelola menunjukkan tingkat konsumsi tertinggi dengan 84 persen siswa mengonsumsi makanan. Angka ini diikuti oleh model RTC dengan persentase 83 persen.

Secara keseluruhan, jumlah anak dengan status gizi buruk atau kurang berkurang sebesar 2,8 persen setelah program berakhir. Program ini juga berhasil meningkatkan asupan protein dan buah yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.

Baca Juga: Apa Itu Susu Ikan dan Manfaatnya untuk Kesehatan? Ini Kata Ahli Gizi

3. Perlunya edukasi mengenai menu dan konsumsi makanan bergizi

Studi tentang Makan Siang Gratis, Mana Metode yang Ideal?Konferensi Pers Studi Makan Siang Bergizi (IDN Times/Rifki Wuda)

I Dewa Made Agung, Direktur Eksekutif Indonesia Food Security Review (IFSR), menekankan pentingnya kolaborasi antara berbagai pihak dalam mendukung keberhasilan program makan bergizi.

Ia juga menyoroti pentingnya edukasi mengenai menu dan konsumsi makanan bergizi, termasuk pengelolaan food waste kepada anak dan orang tua. Edukasi ini tidak hanya memastikan bahwa anak-anak mendapatkan nutrisi yang tepat, tetapi juga membantu mengurangi pemborosan makanan di lingkungan sekolah dan rumah.

Studi percontohan ini harapannya bisa menjadi acuan untuk implementasi program makan bergizi di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia.

"Kami berharap hasil studi ini dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah dan pemangku kepentingan terkait. Tentunya kami mendukung dan terbuka untuk berkolaborasi lebih lanjut,” ungkapnya.

Kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan menjadi kunci sukses dari program ini. Hasil dari studi ini diharapkan menjadi referensi penting untuk menentukan metode ideal dalam memastikan kecukupan gizi anak-anak Indonesia di masa depan.

Baca Juga: Studi: Paparan Logam Tingkatkan Risiko Penyakit Kardiovaskular

Topik:

  • Nurulia R F

Berita Terkini Lainnya