Menguak Sulitnya Perokok untuk Berhenti, Antara Kemauan dan Tantangan

Yuk, berani berhenti merokok!

Walaupun terjadi penurunan tingkat merokok secara global selama beberapa dekade terakhir, tetapi penggunaan tembakau tetap menjadi penyebab utama kematian yang dapat dicegah, yang menyebabkan kematian hingga lebih dari 8 juta orang setiap tahunnya, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Secara keseluruhan, sekitar 1,3 miliar orang di seluruh dunia menggunakan produk tembakau, lebih dari 80 persen di antaranya tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah.

Penggunaan tembakau merupakan kontributor utama terhadap dampak kesehatan yang buruk, dan terkait dengan peningkatan risiko penyakit jantung, kanker, stroke, dan komplikasi kelahiran. Hingga separuh pengguna tembakau meninggal karena penggunaan tembakau, dan 1,3 juta orang yang bukan perokok meninggal setiap tahunnya akibat paparan asap rokok.

Berbagai bahaya rokok sudah diketahui secara luas. Kampanye nasional maupun global akan bahaya rokok dan berhenti merokok pun terus berlangsung. Namun, merokok tetap menjadi bagian integral dari keseharian bagi sebagian masyarakat dan banyak yang kesulitan untuk terlepas dari jeratnya.

Artikel ini akan menjelajahi apa saja tantangan yang dihadapi individu dan pemangku kebijakan untuk mengakhiri kecanduan rokok di Indonesia. Mulai dari tekanan sosial hingga akses obat yang rumit, upaya berhenti merokok tampaknya menjadi perjuangan panjang. 

1. Jumlah perokok di Indonesia

Menguak Sulitnya Perokok untuk Berhenti, Antara Kemauan dan Tantanganilustrasi data perokok di Indonesia (IDN Times/Madya Shakti)

Sebelum mengusut tantangan yang dihadapi, penting untuk mengetahu prevalensi perokok di Indonesia. Menurut dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, Kepala Biro Komunikasi Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes), prevalensi perokok di Indonesia terus meningkat.

"Menurut data Global Adult Tobacco Survey (GATS 2021) prevalensi perokok di atas 15 tahun masih tinggi, yaitu sekitar 70,2 juta (34,5 persen), dan yang mengkhawatirkan, prevalensi perokok elektronik meningkat 10 kali lipat dari 0,3 persen (GATS 2011) menjadi 3 persen (GATS 2021)," jelasnya saat dihubungi IDN Times. 

Berikut ini beberapa poin penting dari GATS 2021.

1. Penggunaan tembakau dan rokok elektronik

  • 34,5 persen secara keseluruhan (70,2 juta orang dewasa), 65,5 persen laki-laki, dan 3,3 persen perempuan yang saat ini menggunakan tembakau (merokok, tembakau tanpa asap, atau produk tembakau yang dipanaskan).
  • 33,5 persen secara keseluruhan (68,9 juta orang dewasa), 64,7 persen laki-laki, dan 2,3 persen perempuan yang saat ini merokok tembakau.
  • 28,6 persen secara keseluruhan (58,8 juta orang dewasa), 55,5 persen laki-laki, dan 1,7 persen perempuan yang saat ini merokok rokok kretek.
  • 1,0 persen secara keseluruhan (2,1 juta orang dewasa), 0,9 pesen laki-laki, dan 1,1 persen perempuan saat ini menggunakan tembakau tanpa asap.
  • 0,1 persen secara keseluruhan (0,3 juta orang dewasa), 0,3 persen laki-laki, dan 0,0 persen perempuan saat ini menggunakan produk tembakau yang dipanaskan.
  • 3,0 persen secara keseluruhan (6,2 juta orang dewasa), 5,8 persen laki-laki, dan 0,3 pesen perempuan saat ini menggunakan rokok elektronik.

2. Upaya berhenti merokok 

  • 63,4 persen perokok saat ini berencana atau sedang memikirkan untuk
    berhenti merokok.
  • 38,9 persen perokok yang mengunjungi penyedia layanan kesehatan selama
    12 bulan terakhir disarankan untuk berhenti merokok.

3. Perokok pasif

  • 44,8 persen orang dewasa yang bekerja di dalam ruangan (20,3 juta orang dewasa)
    terpapar asap tembakau di area tertutup di tempat kerja.
  • 59,3 persen orang dewasa (121,6 juta orang dewasa) terpapar asap tembakau di dalam rumah mereka.
  • 74,2 persen orang dewasa (56,1 juta orang dewasa) terpapar asap tembakau saat mengunjungi restoran.

4. Ekonomi

  • Jumlah rata-rata yang dikeluarkan untuk 12 batang rokok kretek adalah Rp14.867,8.
  • Rata-rata pengeluaran bulanan untuk rokok kretek adalah Rp382.091,7.

5. Media

  • 43,0 persen orang dewasa memperhatikan informasi anti merokok di TV atau radio.
  • 45,9 persen orang dewasa memperhatikan iklan atau promosi rokok di toko tempat rokok dijual.
  • 75,3 persen orang dewasa melihat adanya iklan rokok, promosi, atau sponsor acara olahraga.

6. Pengetahuan, sikap, dan persepsi

  • 85,7 persen orang dewasa percaya bahwa merokok dapat menyebabkan penyakit serius.
  • 80 persen orang dewasa percaya bahwa menghirup asap rokok orang lain menyebabkan penyakit serius pada non perokok.

2. Jumlah perokok di Indonesia berdasarkan usia

Menguak Sulitnya Perokok untuk Berhenti, Antara Kemauan dan Tantanganilustrasi jumlah perokok di Indonesia berdasarkan usia (IDN Times/NRF)

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional yang dilakukan Badan Pusat Statistik mengelompokkan perokok menurut usia. 

Pada tahun 2022, kelompok usia antara 35–39 tahun menjadi kelompok perokok terbanyak dengan jumlah 34,81 persen, disusul oleh kelompok usia 40–44 tahun sebanyak 34,57 persen.

Kelompok perokok pemula di Indonesia, yaitu yang berusia 15–19 tahun, memiliki persentase sebesar 9,36 persen. Angka ini melonjak tajam pada kelompok di atasnya, yaitu kelompok usia 20–24 tahun, yang mencapai 25,99 persen.

Sementara itu, perokok lansia juga memiliki jumlah yang tak kalah banyak. Untuk kelompok 60–64 tahun jumlahnya 26,92 persen dan usia 65 tahun ke atas mencapai 21,29 persen.

3. Dukungan pemerintah untuk membantu masyarakat berhenti merokok

Menguak Sulitnya Perokok untuk Berhenti, Antara Kemauan dan Tantanganilustrasi Hotline (IDN Times/Aditya Pratama)

Untuk memfasilitasi orang-orang yang ingin berhenti merokok, pemerintah sudah menyediakan beberapa strategi. Ini termasuk menyediakan layanan berhenti merokok gratis bebas pulsa bernama Quitline.INA melalui nomor 0-800-177-6565

Layanan ini bisa diakses pada hari Senin sampai Jumat pukul 07.00–22.00 WIB dan hari Sabtu pukul 07.00–21.00 WIB. 

Orang yang melakukan konseling melalui telepon akan dilayani oleh tenaga kesehatan yang telah dilatih oleh dokter spesialis dan pakar Upaya Berhenti Merokok.

Dokter Nadia menyatakan bahwa petugas layanan berjumlah 13 orang yang terdiri dari satu orang supervisor, 10 orang yang melayani panggilan masuk, satu orang melayani panggilan keluar berupa konseling pendampingan, serta satu orang petugas quality control untuk menjaga mutu layanan.

4. Layanan berhenti merokok di RSUP Persahabatan

Selain hotline, layanan untuk berhenti merokok juga tersedia di RSUP Persahabatan melalui Klinik Berhenti Merokok. Klinik ini mulai aktif sejak November 2008 dan bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dalam mengurangi jumlah perokok. 

Program berhenti merokok di klinik ini dilaksanakan selama tiga bulan dengan empat kali pertemuan. Program ini terdiri dari konseling terapi, farmakologi (menggunakan obat), hipnoterapi, dan metode lainnya untuk mengatasi adiksi maupun putus nikotin (withdrawal).

5. Layanan berhenti merokok juga tersedia di puskesmas

Menguak Sulitnya Perokok untuk Berhenti, Antara Kemauan dan TantanganSejumlah warga memanfaatkan layanan BPJS Keliling untuk mengurus Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan di Puskesmas Bangetayu Semarang, Rabu (26/7/2023). (IDN Times/Dhana Kencana)

Layanan berhenti merokok merupakan salah satu strategi kebijakan pengendalian tembakau. Ini disebutkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, selain dari kebijakan pajak dan harga rokok, pembatasan iklan dan promosi terkait rokok, kawasan tanpa rokok (KTR), serta pendidikan atau kampanye bahaya merokok.

Berdasarkan data dari Sistem Informasi Sumber Daya Manusia Januari 2023, jumlah seluruh puskesmas di Indonesia adalah sebanyak 10.445.

Puskesmas dengan layanan upaya berhenti merokok (UBM) sebanyak 4.491. Kabupaten yang mempunyai layanan UBM sebanyak 433 kab/kota. Kabupaten dengan 40 persen puskesmas melayani UBM sebanyak 255 kab/kota dari target 275 kab/kota pada tahun 2023, menurut data dari Kemenkes per Oktober 2023.

Dengan layanan UBM, petugas akan melakukan pemeriksaan kesehatan terkait risiko kecanduan merokok, seperti tes fungsi paru, kadar nikotin dalam darah, serta tes lain yang terkait. Setelah itu, barulah dilakukan konseling secara berkala untuk menghentikan perilaku merokok.

Jangka waktu untuk klien agar berhenti merokok adalah selama tiga bulan. Jika tidak berhasil, maka terapi akan diulang dari awal.

Di setiap puskesmas pendekatannya mungkin bisa berbeda-beda.

6. Kurangnya kesadaran menjadi tantangan utama

Layanan berhenti merokok yang ada saat ini tampaknya belum cukup untuk mengurangi angka pengguna tembakau di Indonesia. Clinical leader Klinik Berhenti Merokok di RSUP Persahabatan, dr. Feni Fitriani Taufik, SpP(K), M.Pd.Ked, mengakui ada banyak tantangan dalam mengurangi angka perokok di Indonesia. 

Salah satu faktor utamanya adalah kurangnya kesadaran masyarakat untuk berhenti merokok. 

"Berbeda dengan penyakit-penyakit seperti diabetes, darah tinggi, orang-orang itu sadar akan penyakit seperti itu. Mereka ada kemauan untuk berobat secara mandiri, tapi kalau perokok ini kasusnya berbeda. Kemauan (untuk berhenti) itu belum banyak kesadarannya," jelas dr. Feni saat dihubungi oleh IDN Times.

Orang yang datang ke Klinik Berhenti Merokok, kata dr. Feni, hanya 1–2 orang setiap harinya. Selain kurangnya kesadaran, faktor biaya juga bisa menjadi penyebab.

"Orang Indonesia mindset-nya kebanyakan masih kuratif ya, bukan preventif. Kemudian, karena ini bayar sendiri, orang-orang yang kurang aware ini sering kali abai akan bahaya dari rokok."

Baca Juga: 7 Efek Negatif Rokok pada Sistem Pencernaan, Ngeri!

7. Sulitnya akses obat untuk membantu berhenti merokok

Menguak Sulitnya Perokok untuk Berhenti, Antara Kemauan dan Tantanganilustrasi berhenti merokok (vecteezy.com/Yevhen Roshchyn)

Memang ada banyak cerita sukses berhenti merokok. Namun, untuk beberapa orang ini bisa sangat sulit. Kadang, berhenti merokok tak cukup hanya bermodalkan niat, butuh dukungan lain misalnya obat. Salah satu obat yang direkomendasikan oleh WHO adalah varenicline untuk menghentikan kecanduan nikotin.

Dari uji coba yang dilakukan oleh dr. Feni, varenicline dinilai sebagai obat yang paling efektif untuk membantu berhenti merokok. 

"Kita juga udah melakukan penelitian ya, tingkat keberhasilannya terbilang tinggi, sekitar 48 persen. Disertai dengan kemauan yang kuat, ini akan sangat membantu," jelas dr. Feni. 

Sayangnya, akses obat varenicline di Indonesia sulit didapatkan. Ini menjadi salah satu penghambat keberhasilan untuk bisa berhenti merokok. 

"Jadi dulu (varenicline) pernah masuk. Kita pakai itu sejak 2009 sampai 2014, dibawa oleh Pfizer. Pasien juga banyak terbantu pakai obat itu. Tapi kemudian dari situ, diminta BPOM untuk diajukan ulang, sejak saat itu tidak maju-maju approval-nya," ungkap dr. Feni. "Saya kurang tahu kenapa."

8. Peringatan pada bungkus rokok saja tidak cukup

Ketua Komnas Pengendalian Tembakau, Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH., Dr.PH, turut memberikan wawasan terkait tantangan pengendalian tembakau di Indonesia. 

Menurutnya, pemerintah harus bisa memberikan kontrol dan upaya pencegahan yang lebih "garang" secara masif. 

"Memang pemerintah kurang memfasilitasi, ya. Cuma peringatan pada bungkus rokok saja itu tidak cukup. Harapannya kita bisa memberikan regulasi yang lebih ketat," ucap Prof. Hasbullah saat dihubungi IDN Times

"Salah satu contohnya memberikan akses obat-obatan untuk berhenti merokok, regulasi iklan (rokok) juga harus lebih ketat," tambahnya. 

Selain itu, faktor lain yang berkontribusi menghambat penurunan angka perokok di Indonesia adalah penjual rokok eceran. Dengan adanya rokok yang dijual secara satuan, ini memberikan akses yang lebih mudah untuk mendapatkan rokok. 

"Dengan adanya penjual rokok eceran ini, semua lapisan masyarakat jadi sangat mudah buat beli rokok. Ini juga yang harus kita kontrol," jelas Prof. Hasbullah. 

9. Faktor lingkungan jadi penghambat berhenti merokok

Menguak Sulitnya Perokok untuk Berhenti, Antara Kemauan dan Tantanganilustrasi berhenti merokok (flickr.com/Marco Verch Professional Photographer)

Galih (25) berhasil berhenti merokok sudah sekitar 2 tahun. Dengan alasan kesehatan, ia berhasil membulatkan tekadnya untuk tidak lagi menggunakan produk tembakau. 

"Alasan utama pastinya kesehatan. Dulu itu sering 'doping' ya, kalau ada tugas, lembur, temannya rokok. Sekarang sudah lebih sadar kalau kesehatan itu lebih penting," kata Galih kepada IDN Times

Menurut Galih, tantangan utama yang dihadapi untuk berhenti merokok adalah faktor lingkungan dan keinginan merokok dari dalam. 

"Kalau lagi nongkrong, lagi minum, itu kalau gak ngerokok ada yang kurang rasanya," ucap Galih. 

"Lingkungan sekitar juga berpengaruh. Kalau dikelilingi perokok, kitanya jadi ikutan pengen gitu," tambahnya.

10. Faktor kesehatan jadi motivasi terbesar

Kisah sukses berhenti merokok lainnya datang dari Dwifantya (36). Ia bercerita bahwa faktor kesehatan adalah alasan utama ia berhenti merokok. Masalah kesehatan, seperti hipertensi dan gangguan hormonal, menjadi "wake up call" baginya. 

"Nah, yang jadi titik baliknya waktu itu setelah sebulan (mengalami hipertensi), timbul masalah hormonal. Setelah cek ke dokter ternyata salah satu yang wajib dilakukan adalah berhenti merokok dan harus memperbaiki gaya hidup," ia bercerita.

Walaupun tidak langsung berhenti saat itu juga, tetapi Dwifantya memiliki keinginan kuat untuk berhenti merokok sekitar dua minggu setelahnya. Ia memilih untuk berhenti seketika, yang menurutnya paling efektif untuknya.

"Apalagi aku terbiasa merokok sehari itu bisa sampai dua bungkus. Sekitar dua minggu kemudian barulah yakin stop total. Kenapa memilih berhenti seketika bukan bertahap? Karena kalau bertahap itu godaan untuk kembali merokoknya tinggi sih menurutku."

Setelah berhenti merokok, ia mengungkapkan bahwa efek yang dirasakan sangat besar. Dari mudah tidur dan terhindar dari insomnia.

"Bangun tidur kepala lebih enteng. Napas gak berat dan dada gak sesak." kata Dwifantya.

11. Berhenti merokok dengan memanfaatkan Quitline.INA

Menguak Sulitnya Perokok untuk Berhenti, Antara Kemauan dan Tantanganilustrasi menelepon (unsplash.com/Hassan OUAJBIR)

Untuk membuktikan upaya pemerintah dalam memfasilitasi orang yang ingin berhenti merokok, IDN Times mencoba menghubungi Quitline.INA. Saat menelepon hotline ini, panggilan kamu akan dijawab dengan petugas yang akan menanyakan keluhan kamu.

Layanan konsultasi meliputi skrining awal, pengumpulan informasi demografi, dan riwayat merokok penelepon. Tak hanya itu, diadakan konseling lebih lanjut untuk beberapa penelepon dengan cara memberikan informasi praktis cara berhenti merokok, keterampilan membangun kepercayaan diri dan peningkatan motivasi, serta dukungan sosial.

Program berhenti merokok dari Quitline.INA tidak melibatkan obat-obatan. Jika mengikuti program ini, akan ada tujuh kali sesi pendampingan yang diberikan. Petugas akan menjadwalkan sesi pendampingan sesuai dengan kebutuhan kamu.

Ada tiga cara utama yang diberikan untuk berhenti merokok, yaitu:

  • Berhenti merokok dengan seketika. 
  • Berhenti merokok secara perlahan dengan mengurangi frekuensi merokok. 
  • Berhenti merokok secara bertahap dengan mengurangi jumlah rokok.

Untuk yang ingin berhenti merokok secara bertahap, kamu bisa menunda mengisap rokok pertama, 2 jam setiap hari dari hari sebelumnya. Jumlah rokok yang diisap tidak dihitung.

Misalnya, kebiasaan mengisap rokok pertama rata-rata jam 7 pagi. Berhenti merokok direncanakan dalam 7 hari. Maka rokok pertama ditunda waktunya yaitu:

  • Hari ke-1: Jam 09.00
  • Hari ke-2: Jam 11.00
  • Hari ke-3: Jam 13.00
  • Hari ke-4: Jam 15.00
  • Hari ke-5: Jam 17.00
  • Hari ke-6: Jam 19.00
  • Hari ke-7: Jam 21.00 - terakhir

Hotline Quitline.INA bisa kamu manfaatkan jika kamu berkeinginan untuk berhenti merokok atau bahkan sekadar menjadi "teman curhat" terkait masalah merokok kamu. 

Upaya menekan angka perokok di Indonesia memiliki beragam tantangan, mulai dari perlunya perluasan dan penguatan layanan berhenti merokok, akses obat untuk berhenti merokok, hingga tantangan inidividu. Meningkatkan kesadaran akan bahaya rokok dan regulasi kontrol yang lebih ketat diharapkan bisa membantu menekan angka perokok di Indonesia dari segala usia.

Baca Juga: Benarkah Rokok Elektrik Lebih Aman dari Rokok Konvensional?

Topik:

  • Nurulia R F

Berita Terkini Lainnya