Sering Makan Seafood Tingkatkan Risiko Terpapar PFAS

PFAS dijuluki "forever chemical"

Intinya Sih...

  • Studi menunjukkan konsumsi seafood meningkatkan risiko terpapar per-and polyfluoroalkyl substances (PFAS).
  • Penelitian di New Hampshire, Amerika Serikat, menemukan kadar PFAS tertinggi dalam lobster dan udang.
  • PFAS digunakan luas dalam produk sehari-hari dan dapat menyebabkan berbagai dampak buruk pada kesehatan manusia serta lingkungan.

Orang yang sering makan seafood atau makanan laut mungkin memiliki peningkatan risiko terpapar per-and polyfluoroalkyl substances (PFAS) atau bahan kimia punya nama metafora "forever chemical" alias bahan kimia abadi, menurut sebuah studi.

PFAS bisa terdapat dalam air minum, tersebar di tanah, air, dan udara, serta bisa terkandung dalam seafood.

Baca Juga: Air Minum Kemasan Mengandung Ratusan Ribu Nanoplastik

PFAS tertinggi terkandung dalam lobster dan udang

Studi yang diterbitkan dalam jurnal Exposure and Health pada 12 April 2024 ini menggunakan survei kebiasaan makan di negara bagian New Hampshire, Amerika Serikat (AS), dan mengombinasikannya dengan analasis konsentrasi PFAS dalam seafood segar.

Sebagai catatan, New Hampshire, bersama dengan wilayah New England lainnya, adalah konsumen seafood terbesar di AS, menjadikannya ideal untuk studi ini.

Untuk penelitian ini, para peneliti mencari kadar 26 PFAS berbeda pada jenis makanan laut paling populer: cod, haddock, lobster, salmon, simping, udang, dan tuna.

Udang dan lobster menempati urutan tertinggi, masing-masing dengan 1,74 dan 3,30 nanogram per gram daging. Ikan dan makanan laut lain yang diuji umumnya berukuran kurang dari 1 nanogram per gram.

Meskipun para peneliti tidak begitu yakin bagaimana kehidupan laut bisa terpapar bahan kimia PFAS, tetapi mereka menduga bahwa hewan, seperti lobster dan udang, yang makan di dasar laut, berukuran lebih kecil dan tinggal lebih dekat ke pantai bisa lebih rentan dibandingkan ikan yang lebih besar, seperti tuna, yang berenang di lautan terbuka.

Namun, ikan yang lebih besar tidak kebal, kemungkinan karena mereka memakan ikan yang lebih kecil yang mungkin mengandung PFAS dalam konsentrasi yang lebih tinggi.

Dari orang-orang yang diikutsertakan dalam survei, lebih dari 95 persen mengatakan mereka makan makanan laut dalam setahun terakhir, sementara lebih dari dua pertiganya mengatakan mereka makan ikan atau kerang dalam seminggu terakhir.

Udang, haddock, dan salmon dikonsumsi oleh lebih dari 70 persen orang dewasa yang mengatakan bahwa mereka mengonsumsi makanan laut dalam sebulan terakhir. Konsumsi udang juga umum pada anak-anak.

Meskipun ada pedoman untuk konsumsi makanan laut yang aman terkait kontaminan seperti merkuri, tetapi tidak ada pedoman seperti itu untuk PFAS.

“Spesies predator utama seperti tuna dan hiu diketahui mengandung konsentrasi merkuri yang tinggi, sehingga kita dapat menggunakan pengetahuan tersebut untuk membatasi paparannya. Namun, hal ini kurang jelas untuk PFAS,” jelas Celia Chen, rekan penulis dan profesor riset di Departemen Ilmu Biologi di Dartmouth, dalam sebuah rilis.

Para peneliti berharap penelitian mereka akan mendorong penetapan pedoman keselamatan bagi kelompok rentan. Namun, mereka menekankan bahwa temuan ini tidak berarti semua orang harus berhenti makan seafood sama sekali, karena pada dasarnya seafood menawarkan nutrisi penting.

Orang yang menerapkan pola makan seimbang dengan seafood dalam jumlah sedang seharusnya dapat menikmati manfaat kesehatan tanpa risiko paparan PFAS yang berlebihan.

Apa itu PFAS dan apa bahayanya?

Sering Makan Seafood Tingkatkan Risiko Terpapar PFASilustrasi paparan PFAS pada manusia (consumernotice.org)

Per-and polyfluoroalkyl substances (PFAS) adalah kelas besar zat sintetis yang mencakup:

  • PFAS non polimer (yaitu asam perfluoroalkil karboksilat, perfluorokarbon, asam sulfonat perfluoroalkana, dan zat tersubstitusi trifluorometil).
  • PFAS polimer (fluoropolimer, perfluoropolieter, dan rantai polimer berfluorinasi).

PFAS tersebar luas di lingkungan global karena kelarutannya yang tinggi dalam air dan penyerapan rendah namun kelarutannya ke tanah dan sedimen sedang, serta memiliki karakteristik ketahanan tinggi terhadap degradasi biologis dan kimia.

Sifat-sifat PFAS membuatnya digunakan secara luas sebagai surfaktan tahan air dan minyak serta bahan aktif permukaan dalam produk.

Selain penggunaan untuk impregnasi tekstil, pengemasan makanan, peralatan masak anti lengket, busa pemadam kebakaran, dan pelapisan listrik, PFAS juga digunakan dalam amunisi, tali panjat, senar gitar, rumput buatan, dan untuk remediasi tanah.

Semua PFAS mengandung ikatan kimia yang sangat kuat antara atom karbon (C) dan fluor (F). Ikatan ini memberikan stabilitas tinggi pada molekul PFAS yang membuat mereka dijuluki forever chemical.

Tiga anggota kelas ini yang banyak digunakan adalah perfluorooctane sulfonate (PFOS), perfluorooctanoic acid (PFOA), dan perfluorohexanesulfonic acid (PFHxS).

Karena ketiga zat tersebut disoroti berbagai tekanan regulasi, industri telah beralih ke bahan kimia PFAS lainnya dengan sifat serupa.

Sebaliknya, kelompok PFAS non polimer (yaitu PFOS, PFOA, PFHxA, PFHxS, GenX), fluoropolimer (seperti PTFE yang diperdagangkan sebagai "Teflon") dipahami sebagai polimer dengan perhatian rendah hingga saat ini.

Kesimpulan tersebut berasal dari karakteristik yang tidak lengkap, yang tidak mencakup masalah yang terjadi selama semua fase produksi fluoropolimer dan pembuangan produk mengandung kimia ini pada akhir masa pakainya.

Penilaian siklus hidup yang lengkap mencakup fase produksi, penggunaan, dan pembuangan fluoropolimer dengan emisi PFAS non polimerik yang serius serta pajanan terhadap manusia.

Pendekatan kelas untuk menghentikan semua penggunaan PFAS yang tidak penting adalah satu-satunya aksi yang memadai untuk mencegah pencemaran dan dampak buruk PFAS lebih lanjut pada kesehatan manusia dan lingkungan.

Bahaya PFAS

Sumber umum paparan manusia terhadap PFAS adalah makanan, air, udara, dan debu. PFAS mengikat protein dan bertahan di dalam tubuh, terutama terdeteksi dalam darah, hati, ASI, dan ginjal.

Evaluasi yang dilakukan oleh Komite Peninjau POPs Konvensi Stockholm (POPRC) menunjukkan bahwa PFOA dan PFOS dapat menyebabkan gangguan reproduksi dan perkembangan, hati dan ginjal, serta efek imunologis pada hewan laboratorium.

Kedua bahan kimia tersebut menyebabkan tumor pada hewan yang diteliti bersamaan dengan berbagai efek lain pada berat badan lahir bayi, pertumbuhan, kemampuan belajar, perilaku bayi, kehamilan, sistem endokrin, peningkatan kolesterol, dan fungsi tiroid.

Pada 2017, POPRC mencatat kaitan antara PFOA dan penyakit serius pada manusia, termasuk kolesterol tinggi yang didiagnosis, kolitis ulseratif, penyakit tiroid, kanker testis, kanker ginjal, dan hipertensi akibat kehamilan.

Berbagai penelitian telah menunjukkan bukti yang relatif konsisten dari hubungan positif PFAS dengan profil lipid (kolesterol dan trigliserida) dan kurang cocok dengan penyakit metabolik (diabetes, obesitas, penyakit jantung).

Sebuah penelitian terhadap anak-anak berusia 5 dan 7 tahun dari Kepulauan Faroe di Atlantik menunjukkan bahwa paparan umum terhadap PFOS, PFOA, PFHxS, PFNA, dan PFDA yang diukur dalam serum darah dikaitkan dengan respons antibodi yang lebih rendah terhadap imunisasi masa anak-anak dan peningkatan risiko konsentrasi antibodi di bawah batas yang diperlukan untuk memberikan perlindungan jangka panjang terhadap difteri dan tetanus.

Studi lain menemukan, peningkatan konsentrasi PFOA, PFNA, PFHxS, dan PFOS dalam darah ibu terkait dengan penurunan kadar antibodi terhadap vaksin rubella pada anak-anak pada usia 3 tahun.

Selain itu, peningkatan kadar PFOA dan PFHxS dikaitkan dengan peningkatan jumlah episode flu biasa dan gastroenteritis.

Studi tahun 2016 mengungkapkan, secara in vitro, PFAS memiliki aktivitas estrogenik dan campuran teknis tersebut menunjukkan aktivitas estrogenik, tetapi tidak berlaku pada PFCA rantai pendek.

Penelitian lain menunjukkan bahwa masyarakat yang terpapar PFOA dari pabrik kimia terdekat berkorelasi dengan kejadian kanker, terutama yang berhubungan positif dengan kanker ginjal dan testis.

Studi telah mengaitkan berbagai zat PFAS dengan berbagai efek terhadap kesehatan manusia:

  • Penyakit kardiovaskular.
  • Gejala asma.
  • Merusak kualitas sperma.
  • Ketidakcukupan fungsi ovarium.
  • Perubahan metabolisme glukosa.
  • Kadar testosteron yang lebih rendah pada remaja laki-laki.
  • Hubungan dengan panjang lahir lebih pendek pada anak perempuan.
  • Tekanan darah tinggi.
  • Menstruasi yang tidak normal.
  • Berat badan lahir rendah pada bayi.
  • Kemungkinan peningkatan risiko infertilitas perempuan karena endometriosis.
  • Penurunan fungsi paru-paru pada anak dengan asma.

Studi Pemerintah AS lainnya menunjukkan bahwa PFOA adalah bahan kimia yang bersifat imunotoksin akibat pajanan terhadap kulit.

Paparan PFAS menimbulkan risiko kesehatan tidak hanya untuk manusia, tetapi juga untuk satwa liar. PFAS telah terdeteksi pada biota perairan di seluruh dunia termasuk di Arktik.

Keberadaan PFAS di mana-mana berpotensi memperburuk efek dari dampak antropogenik (bencana yang disebabkan oleh tindakan atau kelalaian manusia) lainnya, seperti perubahan iklim dan hilangnya habitat yang dialami oleh spesies satwa liar serta berpotensi memicu krisis keanekaragaman hayati.

Baca Juga: 6 Bahan Berbahaya dalam Sabun, Cek Daftar Bahan Produk!

Referensi

Exposure and Health, April 2024. Patterns of Seafood Consumption Among New Hampshire Residents Suggest Potential Exposure to Per- and Polyfluoroalkyl Substances.
American Association for the Advancement of Science (AAAS)/EurekAlert! Diakses pada April 2024. PFAS exposure from high seafood diets may be underestimated.
Laporan dari Nexus for Environmental, Health and Development Foundation dan IPEN. PFAS dalam Beberapa Produk di Indonesia, Mei 2023.

Topik:

  • Nurulia R F

Berita Terkini Lainnya