Puasa Intermiten Tingkatkan Risiko Kematian Kardiovaskular

Hati-hati dengan batasan waktu makan kurang dari 8 jam

Puasa intermiten, yaitu pola diet yang melibatkan periode puasa dan makan secara bergantian, telah diketahui membantu menurunkan tekanan darah dan membantu menurunkan berat badan pada beberapa orang.

Namun, sebuah analisis menantang anggapan bahwa puasa intermiten baik untuk kesehatan jantung. Temuan ini dipresentasikan dalam American Heart Association’s Epidemiology and Prevention │Lifestyle and Cardiometabolic Scientific Sessions 2024 pada 18–21 Maret 2024 di Chicago, Amerika Serikat, 

Para peneliti dari Shanghai Jiao Tong University School of Medicine di China menemukan bahwa orang yang membatasi konsumsi makanan kurang dari 8 jam per hari memiliki risiko 91 persen lebih tinggi meninggal akibat penyakit kardiovaskular dalam jangka waktu rata-rata 8 tahun, dibandingkan dengan orang yang makan selama 12 hingga 16 jam.

Baca Juga: Studi: Puasa Intermiten Berikan Perubahan Dinamis pada Otak dan Usus

Orang yang mengikuti rencana makan dalam waktu kurang dari 8 jam per hari memiliki risiko kematian 91 persen lebih tinggi akibat penyakit kardiovaskular

Puasa Intermiten Tingkatkan Risiko Kematian Kardiovaskularilustrasi makan telur (pexels.com/Saad Meliani)

Pola makan yang dibatasi oleh waktu atau time-restricted eating (sejenis puasa intermiten) melibatkan pembatasan jam makan hingga jumlah jam tertentu setiap hari, yang dapat berkisar antara 4 hingga 12 jam dalam 24 jam.

Banyak orang yang mengikuti pembatasan waktu makan ini mengikuti jadwal makan 16:8—boleh makan dalam jangka waktu 8 jam dan berpuasa selama sisa 16 jam setiap hari.

Penelitian sebelumnya menemukan bahwa pola makan yang dibatasi oleh waktu ini meningkatkan beberapa ukuran kesehatan kardiometabolik, seperti tekanan darah, glukosa darah, dan kadar kolesterol.

“Membatasi waktu makan sehari-hari dalam waktu singkat, seperti 8 jam per hari, telah mendapatkan popularitas dalam beberapa tahun terakhir sebagai cara untuk menurunkan berat badan dan meningkatkan kesehatan jantung,” kata penulis studi senior Victor Wenze Zhong, Ph.D., profesor dan ketua departemen epidemiologi dan biostatistik di Shanghai Jiao Tong University School of Medicine, China.

“Namun, dampak kesehatan jangka panjang dari pembatasan waktu makan, termasuk risiko kematian akibat penyebab apa pun, atau penyakit kardiovaskular, masih belum diketahui,” lanjutnya

Dalam studi ini, para peneliti menyelidiki potensi dampak kesehatan jangka panjang dari mengikuti rencana makan dengan batasan waktu selama 8 jam.

Mereka meninjau informasi tentang pola makan peserta National Health and Nutrition Examination Surveys (NHANES) tahunan tahun 2003–2018 dibandingkan dengan data tentang orang yang meninggal di AS dari tahun 2003 hingga Desember 2019, dari basis data National Death Index milik Centers for Disease Control and Prevention.

Temuan analisis tersebut adalah:

  • Orang yang mengikuti rencana makan dalam waktu kurang dari 8 jam per hari memiliki risiko kematian 91 persen lebih tinggi akibat penyakit kardiovaskular.
  • Peningkatan risiko kematian kardiovaskular juga terlihat pada orang yang menderita penyakit jantung atau kanker.
  • Di antara orang-orang dengan penyakit kardiovaskular, durasi makan tidak kurang dari 8 jam namun kurang dari 10 jam per hari juga dikaitkan dengan risiko kematian akibat penyakit jantung atau stroke sebesar 66 persen lebih tinggi.
  • Makan dengan batasan waktu tidak mengurangi risiko kematian secara keseluruhan karena penyebab apa pun.
  • Durasi makan lebih dari 16 jam per hari dikaitkan dengan rendahnya risiko kematian akibat kanker pada pasien kanker.

“Orang yang mengikuti jadwal makan 8 jam lebih besar kemungkinannya meninggal karena penyakit kardiovaskular. Meskipun jenis diet ini populer karena potensi manfaat jangka pendeknya, tetapi penelitian kami menunjukkan bahwa dibanding rentang waktu makan pada umumnya, yaitu 12–16 jam per hari, durasi makan yang lebih pendek tidak berhubungan dengan umur yang lebih panjang," kata Zhong.

Juga, penting terutama bagi yang mengidap penyakit jantung atau kanker untuk menyadari hubungan antara jendela makan 8 jam dan peningkatan risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular.

Temuan studi ini mendorong pendekatan yang lebih hati-hati dan personal terhadap rekomendasi pola makan, memastikan rekomendasi tersebut harus selaras dengan status kesehatan individu dan bukti ilmiah terbaru.

Meskipun penelitian ini mengidentifikasi hubungan antara jendela makan 8 jam dan kematian akibat penyakit kardiovaskular, tetapi ini tidak berarti bahwa pembatasan waktu makan menyebabkan kematian akibat penyakit kardiovaskular.

Namun, menurut pengamatan Zhong, orang yang membatasi makannya kurang dari 8 jam per hari memiliki massa otot lebih sedikit dibanding mereka yang makan selama 12 hingga 16 jam. Massa otot yang rendah telah dikaitkan dengan risiko kematian kardiovaskular yang lebih tinggi.

Teori lainnya, pembatasan waktu makan dapat meningkatkan hormon stres seperti kortisol dan adrenalin, karena tubuh tidak tahu kapan harus menunggu makanan berikutnya dan masuk ke mode bertahan hidup.

Tambahan stres tersebut bisa meningkatkan risiko jangka pendek masalah jantung di kalangan kelompok rentan, khususnya lansia atau orang-orang dengan kondisi kesehatan kronis.

Studi ini punya beberapa kekurangan karena tidak menunjukkan hubungan sebab akibat antara puasa intermiten dan kematian akibat penyakit kardiovaskular—hanya sebuah korelasi.

Artinya, meskipun terdapat hubungan statistik antara pembatasan waktu makan dan kematian, tetapi penelitian ini tidak disusun sedemikian rupa sehingga kamu bisa mengatakan secara pasti bahwa tidak ada faktor ketiga yang sebenarnya menyebabkan kematian tersebut.

Studi ini juga tidak mengontrol faktor mendasar lainnya, seperti apa yang dimakan (yang mengandalkan informasi yang dilaporkan sendiri oleh partisipan) atau kondisi kesehatan yang diderita partisipan.

Baca Juga: Apa Itu Penyakit Kardiovaskular? Ternyata Jenisnya Banyak

Topik:

  • Nurulia R F

Berita Terkini Lainnya