11 Sutradara yang Karya Klasiknya Wajib Ditonton Sekali Seumur Hidup

Sedang jengah dengan film-film baru yang muncul di linimasamu? Mungkin ini saatnya mundur ke belakang dan nonton rilisan-rilisan lawas. Jangan pula berhenti di film-film Hollywood, coba melipir nonton film-film berbahasa non-Inggris.
Seperti Martin Scorsese yang merilis 39 rekomendasi film berbahasa asing favoritnya, kamu juga bisa mencoba menyelami lebih banyak jenis karya sinematik memukau dari berbagai belahan dunia. Caranya, coba dahulu karya-karya sebelas sutradara film klasik berikut. Wajib tonton setidaknya sekali seumur hidup.
1. Abbas Kiarostami, si sutradara minimalis asal Iran

Abbas Kiarostami memang telah berpulang, tetapi film-film peninggalannya masih fenomenal dan nyaman ditonton sampai sekarang. Saat aktif, Kiarostami sering mengambil latar pedesaan yang membuat filmnya sarat elemen etnografi. Salah satunya saat ia menggarap beberapa film yang berlatarkan satu desa yang sama dengan segala adat istiadatnya yang khas, kemudian dikenal dengan nama Koker Trilogy.
Tak hanya itu, pesan moral yang ia selipkan juga sukses bikin siapa pun terenyuh. Belum pernah dengar karya-karyanya? Coba tonton beberapa judul filmnya yang paling tersohor, macam Taste of Cherry (1999), Where is the Friend's House? (1987), dan Through the Olive Trees (1994).
2. Francois Truffaut untuk mengenal sinema klasik Prancis

Beberapa film Francois Truffaut juga disebut dalam 39 daftar film berbahasa asing favorit Martin Scorsese. Truffaut pertama dikenal saat merilis film fenomenal The 400 Blows pada 1959. Sejak itu, ia sering bekerja sama dengan aktor Jean-Pierre Léaud yang melanjutkan perannya di film pertama mereka, seperti Stolen Kisses (1968), Bed and Board (1970), Two English Girls (1971), Love on the Run (1979), dan lain sebagainya.
Truffaut adalah sutradara prolifik dan dekoratif. Ia juga dikenal luas lewat film Jules and Jim (1962), Small Change (1976), dan Day for Night (1973) yang sukses secara internasional. Gaya sinematik Truffaut sangat khas, yakni film hitam putih yang estetik dan penuh perhitungan. Ditambah kesetiaannya mengangkat kisah cinta modern dan kehidupan perkotaan yang keras.
3. Aki Kaurismaki yang gemar menulis cerita dari perspektif kelas pekerja

Masih aktif hingga kini, Aki Kaurismaki adalah maestro film minimalis yang sudah merilis puluhan film brilian. Ia punya kekhasan yang sulit ditiru sineas lain, yakni setia mendapuk lakon kelas pekerja dan kaum marginal. Satu lagi, ia tak pernah menggunakan latar waktu dan era yang jelas.
Menonton film Kaurismaki seperti berada di semesta lain, tetapi dalam satu waktu membuat penonton terkesiap karena relevansi masalah para karakternya dengan kegelisahan banyak orang saat ini. Kaurismaki paling dikenal lewat film Shadows in Paradise (1986), I Hired a Contract Killer (1990), The Match Factory Girl (1990), Drifting Clouds (1996). Terbaru, ia merilis Fallen Leaves (2023) yang tak kalah populernya di kalangan kritikus.
4. Andrei Tarkovsky untuk menikmati film yang hemat dialog, tetapi kaya filosofi

Andrei Tarkovsky bukan tipe sutradara yang sering mengusung tema eksistensialisme. Ia tak banyak menggunakan dialog untuk bercerita dan lebih memilih menempatkan kamera di satu titik dalam waktu lama tanpa ada aktivitas yang jelas. Tak heran kalau film-filmnya berdurasi panjang dan terkadang terkesan absurd.
Namun, Tarkovsky selalu menyelipkan filsafat-filsafat menarik dalam karyanya. Slow cinema yang jadi gaya khasnya seolah mengajak penonton untuk ikut merenung dan berpikir. Bila tertarik coba beberapa film terbaiknya, seperti Ivan’s Childhood (1962), Mirror (1975), dan The Sacrifice (1986).
5. Tonton film-filmnya Akira Kurosawa untuk belajar teknik sinematografi yang inovatif

Akira Kurosawa menempati posisi penting dalam karier banyak sutradara Hollywood, termasuk Martin Scorsese. Beberapa filmnya dicantumkan dalam daftar favorit sang sutradara. Sineas asal Jepang ini punya gaya sinematik yang amat khas. Ia bahkan memastikan dirinya terlibat dalam segala aspek pembuatan film, bukan hanya directing, tetapi juga pengambilan gambar, editing, dan penulisan naskah.
Bertolakbelakang dengan Tarkovsky, frame gambar dalam film Kurosawa cukup dinamis. Ini yang kemudian dipercaya orang menginspirasi teknik pengambilan gambar film-film Hollywood. Kurosawa bakal memperkenalkanmu pada budaya dan tatanan masyarakat Jepang yang unik dan berbeda. Coba saja tonton beberapa judul terbaiknya, seperti Seven Samurai (1954), I Live in Fear (1955), dan Stray Dog (1949).
6. Agnes Varda, salah satu pelopor film klasik dengan pesan feminisme

Agnes Varda adalah salah satu sutradara perempuan Prancis yang memperkenalkan nilai-nilai feminisme dalam karyanya. Aktif sejak 1950-an, Varda dengan strategis mendapuk protagonis perempuan untuk membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan diskriminasi gender dan misogini. Ia juga terkadang melontarkan kritiknya lewat analisa hubungan asmara yang terlihat normal, tetapi ternyata mengindikasikan ketidaksetaraan.
Varda paling dikenal lewat film Vagabond (1985), La Pointe Courte (1955), dan Cleo from 5 to 7 (1962). Tak hanya jago di sektor film fitur, ia juga sering membuat film dokumenter yang menggugah seperti Black Panthers (1960) dan The Gleaners and I (2000). Sudah tutup usia pada 2019 lalu, pesan dalam film-filmnya tak lekang oleh waktu.
7. Karya sinematik Wong Kar Wai wajib ditonton pegiat fotografi

Wong Kar Wai juga salah satu sutradara film klasik yang sayang kalau kamu abaikan. Estetika filmnya sampai sekarang menginspirasi banyak film lain, pun teknik pengambilan gambarnya benar-benar inovatif. Wong Kar Wai paling banyak dikenal lewat film trilogi romantisnya yang berjudul Chungking Express (1994), Fallen Angels (1995), dan In the Mood for Love (2000).
Tenang, durasi film-filmnya Wai tak seberapa panjang. Ceritanya juga menarik dan keputusannya meramu plot secara nonlinier bikin pengalamanmu nonton karyanya jadi lebih seru. Buat pegiat fotografi, Wong Kar Wai pun bisa jadi referensi ideal untuk belajar banyak teknik dan mengekstrak ide-ide baru.
8. Pelopor genre neorealisme dari Italia, Vittorio De Sica

Vittorio de Sica sering disebut pelopor film neorealisme. Bukannya mengajak kita kabur dari kenyataan ala penganut escapism, ia memilih memotret kesulitan hidup rakyat biasa yang realistis. Salah satu filmnya yang paling fenomenal dan wajib ditonton sekali seumur hidup adalah Bicycle Thieves (1948).
Dirilis beberapa tahun setelah Perang Dunia II, dengan piawai de Sica mengekspos kehidupan orang-orang Italia yang terjerembab dalam kemiskinan dan kelaparan. Ia juga dikenal lewat sinema lain berjudul Umberto D. (1952) dan Shoeshine (1946). Salah satu signatur dalam karya-karya de Sica adalah akhir yang tragis dan pahit.
9. Kegelisahan perempuan dipotret akurat oleh Chantal Akerman

Sama dengan Varda, Chantal Akerman menawarkan potret perjuangan perempuan lewat karyanya. Ia dikenal luas lewat film Jeanne Dielman, 23 quai du Commerce, 1080 Bruxelles (1975). Disusul dokumenter berisi surat personalnya untuk sang ibu berjudul News from Home (1977).
Chantal Akerman sebenarnya banyak mengangkat tema kehidupan sehari-hari. Namun, dengan twist yang bikin penonton tercengang. Menariknya, semua dilakukan aktor dan aktris dalam filmnya dengan wajah relatif datar.
10. Michael Haneke, sineas spesialis cerita provokatif

Michael Haneke tak boleh kamu lewatkan bila mengaku fans film horor dan suspense. Ia bakal membawamu ke zona ketidaknyamanan sejak awal filmnya, tetapi di satu sisi membuatmu ingin tetap menatap layar dan menyibak cerita sampai habis. Tak berlebihan bila menyebutnya spesialis cerita provokatif.
Beberapa film suspense terbaik Haneke antara lain Funny Games (1997), The Piano Teacher (2001), The White Ribbon (2009), dan Cache (2005). Siapkah kamu naik roller coaster bersama sang sutradara? Bila tidak, coba Amour (2012), satu-satunya film Haneke yang bergenre drama romantis dan merengkuh nominasi Oscar.
11. Ousmane Sembene hadirkan perspektif langka dari Afrika

Sembene adalah sosok penting dalam industri film Afrika, terutama Senegal. Lewat tangan ajaibnya, kamu bisa berkenalan dengan tatanan masyarakat Afrika beserta budaya dan isu sosial politik yang sedang mereka hadapi. Setidaknya pada tahun 1950-1960-an, beberapa tahun setelah mereka merdeka dari penjajah Eropa.
Beberapa film Ousmane Sembene yang sayang bila tak ditonton adalah Mandabi (1958) dan Black Girl (1966). Bila masih ada waktu luang coba juga Ceddo (1977), Guelwaar (1992) dan Faat Kiné (2000) yang lebih kontemporer. Sembene cukup versatile soal genre, ia bisa bikin film komedi sampai drama yang suram.
Terkadang saat merasa terjebak, kamu disarankan untuk mundur sejenak. Itu pun berlaku saat suntuk melihat rekomendasi film terkini yang rasanya tak menggugah keinginanmu untuk nonton. Dengan menengok katalog film lawas, kamu mungkin menemukan inspirasi.



















