Sering Tertukar, Kenali Gangguan Identitas Disosiatif dan Komorbidnya
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Gangguan identitas disosiatif (dissociative identity disorder) adalah penyakit kejiwaan di mana seseorang mempunyai dua identitas atau lebih. Gangguan ini disebabkan trauma berat yang dialami semasa kecil.
Pembentukan identitas yang berbeda-beda dilakukan sebagai cara untuk bertahan dan merupakan mekanisme pertahanan alam bawah sadar saat sedang stres.
Proses diagnosis gangguan identitas disosiatif perlu waktu dan pengamatan teliti. Ini karena gejalanya mirip skizofrenia. Selain itu, seseorang dengan gangguan ini juga bisa memiliki gangguan kejiwaan yang lain (komorbid). Nah, untuk tahu lebih jelasnya, simak pembahasan di bawah ini.
1. Gejala gangguan identitas disosiatif
Gangguan identitas disosiatif tidak sama dengan gangguan kepribadian ambang (borderline personality disorder). Gangguan identitas disosiatif merupakan subkategori dari gangguan disosiatif (dissociative disorder). Mengutip National Alliance on Mental Illness (NAMI), ciri-ciri gangguan disosiatif secara umum antara lain:
- Kurang memiliki identitas diri
- Tidak memiliki perasaan atau emosi
- Memiliki masalah kesehatan mental seperti depresi, cemas, dan memiliki pikiran untuk bunuh diri
- Mengalami situasi di mana pasien merasa sedang melihat diri sendiri dari jauh (out-of-body experiences)
- Mengalami hilang ingatan tentang suatu peristiwa, dengan orang tertentu, dan pada waktu tertentu
Selain menunjukkan gejala disosiatif umum, dilansir Psychiatry, orang dengan gangguan identitas disosiatif juga menunjukkan:
- Memiliki dua identitas atau lebih
- Pergantian identitas terjadi secara tiba-tiba dan tidak dikehendaki
- Setiap identitas biasanya memiliki nama, suara yang berbeda, dan tingkah laku yang berbeda. Biasanya perubahan identitas ini terlihat atau dapat diamati oleh orang sekitar
- Mengalami hilang ingatan dan atau jeda memori tentang suatu peristiwa, dengan orang tertentu
- Gejala mengakibatkan aktivitas sehari-hari dan relasi dengan sesama terganggu
- Gangguan identitas tidak berkaitan dengan aktivitas yang berhubungan dengan kebudayaan dan adat istiadat setempat
- Gangguan identitas tidak disebabkan oleh penggunaan obat terlarang dan minuman beralkohol
Diagnosis ini sering diberikan untuk pasien perempuan. Sementara untuk pasien laki-laki, mereka cenderung menyangkal gejala dan riwayat trauma. Kemudian, pasien laki-laki umumnya menunjukkan perilaku kekerasan.
2. Memiliki kemiripan dengan gejala skizofrenia
Dilansir Psychiatry, gangguan identitas disosiatif rawan tertukar dengan skizofrenia karena beberapa sebab, yaitu:
- Saat pasien merasa dirinya memiliki identitas yang berbeda, hal ini dapat dianggap sikap mengkhayal atau delusi
- Saat pasien mengalami atau merasa mendengar suara-suara dari identitas mereka yang lain, hal ini dianggap sebagai halusinasi pendengaran (auditory hallucination)
- Suasana hati atau emosi pasien terlihat datar
Baca Juga: Miris, 7 Penyakit Kejiwaan Ini Sering Kita Kira Cuma Kebiasaan Buruk
Editor’s picks
3. Memiliki komorbid penyakit kejiwaan yang lain
Dilansir Mind dan MedicineNet, pasien yang mengalami gangguan identitas disosiatif juga dapat mempunyai kondisi ini:
- Gangguan kepribadian ambang
- Depresi
- Kecemasan dan serangan panik
- Gangguan stres pascatrauma (PTSD)
4. Pencegahan
Dilansir MedicineNet, untuk mencegah gejala gangguan identitas disosiatif muncul pada pasien, sebisa mungkin pasien harus dijauhkan dari hal-hal yang berkaitan dengan trauma. Namun, ini juga perlu dilakukan bersamaan dengan psikoterapi agar pasien bisa mengatasi trauma dengan sehat.
American Association for Marriage and Family Therapy (AAMFT) juga menyarankan untuk segera memberikan intervensi dini dan psikoterapi pada anak-anak dan orang dewasa yang memiliki riwayat trauma berat seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual, dan kekerasan fisik. Melalui intervensi dini, diharapkan pasien tidak mengalami gejala identitas disosiatif.
5. Penanganan
Psikoterapi, terapi keluarga (family therapy), terapi kelompok (group therapy), obat-obatan, dan hipnoterapi klinis adalah beberapa cara yang digunakan oleh psikiater dan psikolog untuk menangani pasien dengan gangguan identitas disosiatif. Contoh program psikoterapi di antaranya terapi perilaku kognitif dan terapi perilaku dialektika.
Menurut AAMFT, tidak ada obat khusus untuk mengatasi gangguan identitas disosiatif. Obat yang diberikan umumnya berupa obat antidepresan dan ansiolotik.
Stres, penggunaan obat-obatan terlarang, dan amarah dapat memperburuk dan atau membuat kondisi pasien yang tadinya sudah membaik menjadi buruk.
Itulah informasi mengenai gangguan identitas disosiatif berkut dengan komorbid dan penanganannya. Gejalanya pun dapat tertukar dengan gejala skizofrenia. Oleh sebab itu, dibutuhkan pengamatan yang khusus dan daftar pertanyaan spesifik. Hal utama yang dapat dilakukan untuk mencegah seseorang mengembangkan gangguan identitas disosiatif adalah lewat intervensi dini, terutama bila orang tersebut mengalami trauma yang berat.
Baca Juga: 8 Cara Sederhana untuk Menjaga Kesehatan Mental Saat Pandemi
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.