Penyalahgunaan Antibiotik Bakal Menjadi Bom Waktu Kesehatan

Antibiotik masih diresepkan secara sembrono

Intinya Sih...

  • Resistansi antimikroba menjadi ancaman kesehatan masyarakat global, menewaskan sedikitnya 1,27 juta orang di seluruh dunia dan menyebabkan hampir 5 juta kematian pada 2019.
  • Infeksi yang resistan terhadap antimikroba dapat menyebabkan efek samping serius, seperti kegagalan organ dan memperpanjang perawatan serta pemulihan, terkadang hingga berbulan-bulan.
  • Jika antibiotik dan antijamur kehilangan efektivitasnya, maka akan hilang kemampuan untuk mengobati infeksi dan mengendalikan penyakit yang mengancam kesehatan masyarakat.
  • Pandemi resistansi antimikroba sudah terjadi di Indonesia dan berlangsung lama.

Antibiotik kerap secara keliru dianggap sebagai obat mujarab untuk menyembuhkan segala penyakit. Dalam beberapa kasus, obat ini bisa didapatkan dengan mudah di toko obat tanpa resep dokter.

Penggunaan antibiotik sembarangan akan menyebabkan resistansi, yang mana antibiotik tidak lagi mampu bekerja untuk melawan infeksi di kemudian hari. Ini menjadi masalah yang cukup serius yang bisa menjadi bom waktu dan mengancam jiwa.

Akibatnya, infeksi akan lebih sulit diobati, lebih mudah menyebar, dan lebih besar kemungkinannya menyebabkan penyakit parah hingga bisa berujung kematian. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dan berlebihan berkontribusi terhadap perkembangan resistansi antimikroba.

Baca Juga: Apakah Infeksi Saluran Kemih Bisa Sembuh Tanpa Antibiotik?

Bagaimana bisa terjadi?

Resistansi antimikroba terjadi ketika kuman seperti bakteri dan jamur mengembangkan kemampuan untuk mengalahkan antibiotik yang dirancang untuk membunuh mereka. Artinya, kuman tidak terbunuh dan terus berkembang. Infeksi yang sudah menjadi kuat bisa sulit dan terkadang tidak bisa diobati.

Resistansi antimikroba menjadi ancaman kesehatan masyarakat global, menewaskan sedikitnya 1,27 juta orang di seluruh dunia dan menyebabkan hampir 5 juta kematian pada 2019.

Infeksi yang resistan terhadap antimikroba dapat menyebabkan efek samping yang serius, seperti kegagalan organ dan memperpanjang perawatan serta pemulihan, terkadang hingga berbulan-bulan.

Jika antibiotik dan antijamur kehilangan efektivitasnya, maka dunia kesehatan akan kehilangan kemampuan untuk mengobati infeksi dan mengendalikan penyakit yang mengancam kesehatan masyarakat.

Sudah diprediksi sejak 1945

Penyalahgunaan Antibiotik Bakal Menjadi Bom Waktu Kesehatanilustrasi obat-obatan (IDN Times/Novaya Siantita)

Sebelumnya, tren penyalahgunaan antibiotik telah diprediksi. Pada awal 1945, Alexander Fleming memberikan peringatan mengenai penggunaan antibiotik yang berlebihan. Saat itu, dia mengatakan bahwa orang-orang akan meminta obat tersebut dan akan dimulai sebuah era penyalahgunaan antibiotik.

Penggunaan antibiotik yang berlebihan mendorong terjadinya resistansi. Studi epidemiologi telah menunjukkan hubungan langsung antara konsumsi antibiotik serta penyebaran strain bakteri yang resistan atau kebal.

Pada bakteri, gen dapat diwariskan dari kerabat atau dapat diperoleh dari non kerabat melalui elemen genetik bergerak seperti plasmid. Horizontal gene transfer (HGT) ini memungkinkan terjadinya perpindahan resistansi di antara spesies bakteri yang berbeda.

Meskipun sudah ada peringatan mengenai penggunaan berlebihan, tetapi antibiotik masih diresepkan secara sembrono di dunia. Kurangnya regulasi mengakibatkan antibiotik mudah didapat, berlimpah dengan harga yang murah, sehingga mendorong penggunaan berlebihan.

Kemampuan untuk membeli produk-produk tersebut secara online juga membuat antibiotik bisa dengan mudah diakses oleh masyarakat.

Penggunaan antibiotik pada ternak

Penyalahgunaan Antibiotik Bakal Menjadi Bom Waktu Kesehatanilustrasi hewan ternak ayam (pexels.com/Alexas Fotos)

Hewan secara historis diberi antibiotik dalam pakannya sebagai tindakan pencegahan untuk meningkatkan kesehatan ternak. Ada tiga situasi antibiotik dapat diberikan pada ternak, yaitu:

  • Penggunaan terapeutik untuk pengobatan khusus pada hewan yang sakit.
  • Kontrol atau metafilaksis—perlakuan terhadap sekelompok hewan setelah diagnosis penyakit. Tujuannya adalah untuk mengobati hewan yang sakit secara klinis dan mengendalikan penyebaran penyakit ke orang lain yang melakukan kontak dekat, yang mungkin sudah terinfeksi.
  • Pencegahan atau profilaksis—pengobatan terhadap hewan atau sekelompok hewan sebelum gejala klinis penyakit muncul. Tujuannya adalah untuk mencegah timbulnya penyakit atau infeksi.

Sekitar 73 persen antimikroba yang dijual secara global pada tahun 2017 ditujukan untuk hewan yang digunakan dalam produksi pangan.

World Animal Action telah menyerukan tindakan untuk mengurangi penggunaan antibiotik dan memitigasi perkembangan resistansi melalui penggunaan antimikroba yang berlebihan pada populasi hewan.

Bakteri dan residu antibiotik dari produk hewani yang dikonsumsi manusia tersebar luas di lingkungan, terutama melalui kotoran hewan. Dengan demikian, lingkungan dan fauna liar dapat menjadi sumber resistansi dan sumber masuknya kembali bakteri kebal ke dalam sumber makanan, hewan, dan manusia.

Terdapat bukti yang jelas mengenai dampak buruknya terhadap kesehatan manusia. Konsekuensi ini mencakup infeksi, peningkatan frekuensi kegagalan pengobatan (dalam beberapa kasus terjadi kematian) dan peningkatan keparahan infeksi, seperti infeksi Salmonella pada manusia yang kebal terhadap fluoroquinolone.

Jumlah dan pola penggunaan antimikroba di luar manusia berdampak pada munculnya bakteri resistan pada hewan dan komoditas pangan, sehingga manusia terpapar bakteri resistan tersebut. Makanan merupakan jalur penularan utama dan gen resistansi dari hewan yang dimakan ke manusia.

Faktor penyebab

Resistansi antimikroba akan membuat pengobatan lebih mahal dan intensif, memengaruhi produktivitas pasien atau perawat karena rawat inap yang berkepanjangan di rumah sakit, dan merugikan produktivitas pertanian serta peternakan.

Kondisi ini merupakan masalah bagi semua negara di seluruh tingkat pendapatan. Faktor penyebabnya, termasuk:

  • Kurangnya akses terhadap air bersih.
  • Sanitasi dan kebersihan, baik bagi manusia maupun hewan.
  • Buruknya infeksi dan pencegahan serta pengendalian penyakit di rumah, fasilitas kesehatan, dan peternakan.
  • Rendahnya akses terhadap vaksin, diagnostik, dan obat-obatan yang berkualitas serta terjangkau.
  • Kurangnya kesadaran dan pengetahuan.
  • Kurangnya penegakan regulasi yang relevan.

Masyarakat yang tinggal di wilayah dengan sumber daya terbatas dan populasi rentan merupakan kelompok yang paling terkena dampak.

Pandemi resistansi antimikroba di Indonesia

Pandemi resistansi antimikroba, menurut Prof. Dr. apt Ika Puspitasari, S.Si, M,Si, sebenarnya sudah terjadi di Indonesia dan berlangsung lama.

Untuk polanya sendiri, ulkus diabetikum (kondisi ketika kaki mengalami luka disertai dengan keluarnya cairan nanah yang berbau tidak sedap) sudah di atas 80 persen yang termasuk gram-negatif (mikroorganisme penyebab tersering yang dapat membentuk biofilm sehingga sering menyebabkan resistansi antibiotik), sama seperti India. Padahal, di negara Asia lainnya, ini masih termasuk gram-positif.

"Jadi kita ini sekarang kesulitan sekali, ya. Yang jamur pun juga sama, banyak yang sudah mulai resistan," ujar Prof. Ika kepada IDN Times.

Apabila seseorang sudah mengalami resistansi antibiotik pada level yang sulit diatasi, maka akan didatangkan antibiotik dari negara lain.

Misalnya, ketika ada individu yang sudah tidak bisa menggunakan antijamur fluconazole, maka harus didatangkan dari Singapura dengan akses khusus. Indonesia sendiri tidak memilikinya.

"Kita harus datangkan (antibiotik) yang sudah kelas berat dari negara lain. Jadi sebenarnya sudah mulai merasakan pandemi resistansi mikroba. Harganya sekitar Rp 1 juta per injeksi. Sehari bisa 3 kali, minimal 7 sampai 14 hari. Jadi mahal banget kalau itu mau dijalankan," jelasnya.

Jadi, bisa dikatakan pandemi yang satu ini punya beban biaya yang mahal, sulit dicari, membahayakan jiwa, ditambah gen resistan yang bisa ditularkan ke orang-orang di sekitar.

Bahkan, menurutnya pandemi di Tanah Air bukan hanya bakteri yang kebal, tetapi banyak juga jamur yang sudah mulai resistan. Peneliti lain menemukan bahwa jamur dengan bakteri telah membuat pertahanan yang sulit ditembus.

Dia menemukan data tanah dan air dari peternakan juga mengandung residu tersebut, sehingga tata kelola antibiotik harus dilakukan multistakeholder. Pasalnya, hewan juga diberikan obat tersebut, yang mana residunya bisa terkontaminasi dengan makanan yang dikonsumsi manusia.

Prof. Ika kemudian menjelaskan bahwa residu antibiotik yang ditemukan pada telur maupun daging serta ikan, meski sudah dimasak, tidak akan hilang. Jadi, ada individu yang tanpa sadar sudah mengonsumsi antibiotik dengan dosis rendah, kemudian menjadi resistan pada tubuh.

"Sehingga harus multisektor, bukan kita nyalahin sektor yang lain, tetapi mestinya sama-sama sebagai konsep 'One Health' seperti yang dicanangkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)," papar Prof. Ika.

Layaknya bom waktu

Penyalahgunaan Antibiotik Bakal Menjadi Bom Waktu Kesehatanilustrasi membeli obat (IDN Times/Novaya Siantita)

Pada tahun 2050, semua negara di dunia diperkirakan akan mengalami pandemi resistansi antimikroba. Angka kematiannya kemungkinan di nomor 2 atau 3 melebihi human immunodeficiency viruses (HIV).

Prof. Ika mengatakan bahwa edukasi terkait antibiotik harus dilakukan secara menyeluruh, baik pada masyarakat maupun komunitas.

Untuk rumah sakit, peresepan sudah dilakukan seketat mungkin, tetapi seperti yang kita tahu bahwa sumbernya bukan hanya dari sana.

"Yang urusin antibiotik pada manusia itu Kementerian Kesehatan (Kemenkes), yang jadi regulasinya Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM). Tetapi untuk hewan, kan, Kementerian Pertanian (Kementan), sementara ikan ada di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Ya, itu, mau nggak bareng-bareng?" imbuhnya.

Dia juga menemukan bahwa Yogyakarta menjadi kota yang bisa memenuhi hingga di atas 90 persen tentang penggunaan antibiotik yang menggunakan resep dokter.

Oleh sebab itu, Prof. Ika berharap pemerintah lebih tegas lagi terhadap masalah ini, yang dapat menjadi bom waktu pada kemudian hari.

Aturan BPOM

Sementara itu, Eka Rosmalasari, Humas BPOM, menjelaskan bahwa antibiotik atau antimikroba termasuk obat keras yang tidak bisa sembarangan didapatkan.

Peraturan BPOM Nomor 24 Tahun 2021 tentang Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian mengatur pembelian obat keras (termasuk antimikroba) pada sarana resmi berizin seperti apotek, rumah sakit, klinik, serta penyerahan obat keras (termasuk antimikroba) dengan berdasarkan resep dokter.

Jika ditemukan pelanggaran, maka akan dikenai sanksi administratif berupa:

  • Peringatan tertulis.
  • Penghentian sementara kegiatan.
  • Pencabutan izin.

Dibentuknya satgas KPRA

Penyalahgunaan Antibiotik Bakal Menjadi Bom Waktu Kesehatanilustrasi obat antibiotik (pixabay.com/Jan)

Juru bicara Kemenkes, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, menjelaskan bahwa ada satuan tugas khusus yang menangani kasus ini, disebut sebagai Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA).

Komite yang dibentuk oleh Kemenkes pada 2015 ini bertugas untuk mengendalikan penggunaan antimikroba secara luas, baik di fasilitas pelayanan kesehatan dan pada masyarakat.

Peraturan Menteri ini digunakan sebagai acuan bagi rumah sakit dalam upaya pengendalian agar program pengendalian resistansi antimikroba di rumah sakit (PPRA) berlangsung secara baku, terukur, dan terpadu.

Adapun strategi dari program ini dilakukan dengan cara:

  • Mengendalikan berkembangnya mikroba resistan akibat tekanan seleksi oleh antibiotik, melalui penggunaan antibiotik secara bijak.
  • Mencegah penyebaran mikroba resistan melalui peningkatan ketaatan terhadap prinsip pencegahan dan pengendalian infeksi.

Pelanggaran akan dikenai sanksi administratif, berupa teguran lisan dan tertulis.

Regulasi peresepan antibiotik harus tegas, tidak hanya berbasis kesadaran, tetapi juga harus disertai dengan hukuman yang menjerat pelaku, kata Prof. Ika.

Saat ini, KPRA memang baru menyasar rumah sakit. Namun, ke depannya Prof. Ika berharap satgas ini juga bisa menjaga klinik dan puskesmas.

Tentu saja, program ini tidak mudah dan membutuhkan pemberian edukasi secara terus-menerus serta dukungan dari berbagai pihak.

Baca Juga: Apakah Antibiotik Bisa Dibeli Tanpa Resep Dokter?

Referensi

Kementerian Kesehatan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan. Diakses pada Mei 2024. Kenapa Bisa Resistensi Antibiotik?
Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat Dinas Kesehatan. Diakses pada Mei 2024. Gunakan Obat Antibiotik dengan Bijak, Cegah Resistensi.
Kementerian Kesehatan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan. Diakses pada Mei 2024. Bahaya Resistensi Antibiotik.
Centers for Disease Control and Prevention. Diakses pada Mei 2024. About Antimicrobial Resistance..
World Health Organization. Diakses pada Mei 2024. Antimicrobial resistance.
Ventola, C. Lee. “The antibiotic resistance crisis: part 1: causes and threats.” PubMed 40, no. 4 (April 1, 2015): 277–83.
The Voice of British Farming. Diakses pada Juni 2024. Livestock sectors make positive progress on antibiotic use.
National Library of Medicine. Diakses pada Juni 2024. Improving Food Safety Through a One Health Approach: Workshop Summary.

Topik:

  • Nurulia R F

Berita Terkini Lainnya