Rape Trauma Syndrome (RTS): Gejala, Tahapan, Penyebab, dan Perawatan

Korban kekerasan seksual sering kali mengalami trauma hebat

Rape trauma syndrome (RTS) atau sindrom trauma pemerkosaan termasuk sub-bagian dari bentuk gangguan stres pasca-trauma (PTSD). Bisa dibilang, wujud RTS menjadi versi yang lebih spesifik khususnya yang berkaitan dengan tindakan "penyerangan" secara seksual. Keadaan ini sering kali dihubungkan dengan praktik pemerkosaan.

Rape trauma syndrome oleh para ahli nampaknya dianggap sebagai manifestasi dari keadaan psikologis ketimbang fisik. Sedangkan trauma pemerkosaan yang hadir kemudian menjadi sindrom karena ada korelasi terhadap pikiran, perasaan, sekaligus perilaku yang menetap pada diri korban.

Istilah rape trauma syndrome dicetuskan oleh dua ahli bernama Anna Wolbert Burgess dan Lynda Lytle Holmstrom sekitar tahun 1970-an. Mereka berspekulasi bahwa para korban yang mengalami kondisi ini bisa saja menunjukkan satu, sebagian, atau bahkan keseluruhan gejala RTS. Sementara durasinya bisa memakan waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. 

1. Gejala

Rape Trauma Syndrome (RTS): Gejala, Tahapan, Penyebab, dan Perawatanilustrasi perempuan mengalami kesedihan mendalam (pexels.com/cottonbro studio)

Sudah disinggung sebelumnya bahwa RTS menjadi bagian dari PTSD terkait serangan seksual. Ditelisik lebih lanjut perkara gejala yang biasanya ditunjukkan oleh korban sangat beragam. Konteks ini bisa dikaitkan dengan persoalan emosional, kognitif, interpersonal, hingga mengarah pada masalah fisik.

Beberapa gejala rape trauma syndrome, mencakup:

  • Keputusan untuk menarik diri secara sosial.
  • Trauma yang dirasakan korban bisa membekas dalam ingatan sampai terbawa mimpi menjadi mimpi buruk secara berulang yang sifatnya sangat mengganggu.
  • Menunjukkan perilaku menghindar atas pikiran atau perasaan yang menjadi sumber trauma tersebut muncul.
  • Ada hubungannya dengan peningkatan gairah fisiologis yang ditandai dengan gangguan tidur, sulit berkonsentrasi, waspada berlebihan, hingga respons kaget berlebihan.

2. Tahapan

Rape Trauma Syndrome (RTS): Gejala, Tahapan, Penyebab, dan Perawatanilustrasi perempuan trauma (pexels.com/Alexey Demidov)

Penting untuk dipahami kalau pengalaman hidup setiap orang berbeda-beda, termasuk konotasinya dengan peristiwa traumatis. Dalam kasus rape trauma syndrome, para korban cenderung memproses trauma dalam berbagai fase atau tahapan. Berikut beberapa tahapan RTS yang sebaiknya dipahami untuk memudahkan proses identifikasi dan pemberian perawatan di kemudian hari.

Tahap akut

Tahap akut umumnya dirasakan korban saat kejadian penyerangan seksual terjadi. Bisa juga beberapa hari setelah kejadian tersebut berlalu. Dalam tahap akut, setidaknya ada tiga bentuk respons korban yang mungkin dirasakannya, seperti:

  • Terkejut: ditandai dengan keadaan syok yang membuat korban merasa bingung hingga sulit mengulang memori terkait peristiwa traumatis tersebut.
  • Terkendali: korban memberi respons dengan pembawaan yang tenang, acap kali mengaku baik-baik saja padahal kenyataannya tidak demikian.
  • Ekspresif: korban meluapkan perasaannya dengan cara yang intens seperti menangis atau agitasi.

Tahap outward adjustment

Penelitian yang termuat dalam American Journal of Psychiatry terbitan 1976 menunjukkan, hampir semua penyintas perkosaan mengembangkan mekanisme koping yang kurang sehat setelah penyerangan terjadi. Fakta ilmiah tersebut nampaknya sejalan dengan tahap outward adjustment. Hal ini karena korban RTS cenderung menekan pengalaman trauma mereka dengan berpura-pura bahwa semuanya telah kembali normal.

Tidak jarang pula, para korban menolak berdiskusi tentang kejadian traumatis yang menimpanya. Oleh karena itu, beberapa korban mungkin memutuskan melakukan transformasi secara signifikan dalam hidupnya. Ada yang mengubah gaya penampilan atau pindah ke tempat tinggal yang baru.

Tahap reorganisasi

Tahap reorganisasi ditandai dengan pemrosesan kembali perasaan trauma yang dialami pihak korban. Kendati fase ini sebenarnya bermanfaat untuk kelancaran proses penyembuhan, ini akan memantik kembali rasa tertekan korban.

Beberapa penyintas mengembangkan ketakutan intens dengan manifestasi yang beragam. Mulai dari fobia, paranoid, takut sentuhan fisik, takut keramaian, dan takut ditinggal sendirian.

Tahap renormalisasi

Pada tahap ini, ada korelasi dengan bantuan para profesional kesehatan mental dan sistem pendukung lain yang relevan. Tahap renormalisasi ditandai dengan kemampuan para penyintas pemerkosaan untuk dapat mengatasi trauma mereka.

Dengan kata lain, para korban telah menerima dan belajar mekanisme menghalau trauma dengan cara yang positif. Hal ini dilakukan demi menciptakan kesejahteraan dalam hidup mereka.

Baca Juga: 6 Bentuk Kekerasan Seksual yang Masih Kerap Dianggap Sepele

3. Penyebab

Rape Trauma Syndrome (RTS): Gejala, Tahapan, Penyebab, dan Perawatanilustrasi kekerasan (pexels.com/MART PRODUCTION)

Kalau menyinggung soal rape trauma syndrome, secara sederhana, hal ini erat kaitannya dengan praktik kekerasan seksual. Korban bisa mengalami RTS ketika pelaku menyerang secara seksual terlebih sampai mengarah ke tindakan penetrasi.

Melansir laman Rape, Abuse & Incest National Network (RAINN), dijelaskan ada beberapa bentuk penyerangan seksual sebagai faktor penyebab RTS, yakni:

  • Tindakan percobaan pemerkosaan.
  • Kontak seksual yang dipaksakan oleh pelaku.
  • Tindakan seks yang dipaksakan oleh pelaku.

Penting untuk digarisbawahi kalau rape trauma syndrome bisa terjadi baik pelakunya orang yang dikenal atau tidak dikenal. Selain itu, praktik penyerangan seksual yang menjadi penyebab RTS juga bisa melibatkan beberapa setting tempat, mulai dari rumah atau tempat umum.

4. Bagaimana mengenali RTS?

Rape Trauma Syndrome (RTS): Gejala, Tahapan, Penyebab, dan Perawatanilustrasi perempuan berempati (pexels.com/Liza Summer)

Ketika seseorang pernah menjadi korban pemerkosaan, ada probabilitas dirinya mengalami rape trauma syndrome. Apabila kejadian tersebut terjadi di masa lalu, tidak menutup kemungkinan juga individu yang bersangkutan bisa mengalami RTS. Hanya saja, banyak korban RTS yang denial atau menyangkal akan kondisi tersebut.

Manifestasi gejala rape trauma syndrome sudah dipaparkan pada poin gejala di atas. Kendati demikian, setiap individu yang mengalaminya bisa memperlihatkan gejala dengan cara yang beragam. Hal ini karena ada kaitannya dengan faktor kinerja otak yang bekerja dengan cara berbeda pada setiap orang. 

5. Perawatan

Rape Trauma Syndrome (RTS): Gejala, Tahapan, Penyebab, dan Perawatanilustrasi sesi konseling (pexels.com/SHVETS production)

Kasus pemerkosaan menjadi isu yang sangat memprihatinkan. Dampak dari kejadian tersebut pun bisa menyebabkan korban merasa "kehilangan" hidupnya.

Poin yang hendak disampaikan di sini adalah bahwa tidak ada mekanisme khusus untuk menghapus memori kelam tersebut dari pikiran. Namun, ada beberapa upaya yang bisa dimaksimalkan untuk mengatasi dampak dari rape trauma syndrome, meliputi:

  • Tidak merasa sendirian: pahami bahwa orang-orang tercinta akan dengan senang hati mengulurkan bantuan, misalnya membantu mencarikan konselor untuk menangani masalah trauma.
  • Memanfaatkan dukungan dari suatu komunitas: hal ini identik dengan keberadaan kelompok pendukung yang bisa menawarkan serangkaian program dukungan untuk penyintas kekerasan seksual.
  • Menempuh jalur terapi: perawatan dengan melibatkan seorang ahli kesehatan mental bisa dilakukan untuk meminimalkan dampak dari trauma. Ahli akan memberi masukan, dukungan, serta rekomendasi perawatan yang dinilai terbaik.

Akar dari rape trauma syndrome ialah praktik kekerasan seksual. Kendati perempuan sering kali menjadi korban, kita tidak dapat menutup mata bahwa laki-laki juga bisa menjadi incaran pelaku yang tidak bertanggung jawab.

Banyaknya mitos yang bertebaran di masyarakat menjadi faktor penghambat para korban kesulitan keluar dari jerat trauma. Mereka takut disalahkan atau mirisnya lagi dianggap berbohong. Alhasil, banyak korban memutuskan membungkam mulut dan tidak mencari pertolongan secara medis.

Pemulihan dari trauma yang disebabkan oleh kekerasan seksual bisa berlangsung cukup lama dan kompleks. Namun, bukan berarti keadaan ini tidak bisa diatasi. Bagi para korban, jangan ragu untuk bersuara dan yang terpenting mengasihi diri sendiri. Bagaimanapun juga, kamu tetap manusia yang berharga.

Baca Juga: Komnas Perempuan Dorong Dunia Pendidikan Bebas Kekerasan Seksual

Indriyani Photo Verified Writer Indriyani

Full-time learner, part-time writer and reader. (Insta @ani412_)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Izza Namira

Berita Terkini Lainnya