TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Gerakan Protes Media Sosial Terbesar dalam Sejarah

Hashtag viral yang memicu perubahan gerakan besar

ilustrasi demo di Hong Kong (unsplash.com/Joseph Chan)

Intinya Sih...

  • Media sosial memfasilitasi gerakan sosial yang menggoyang tatanan yang ada.
  • Gerakan Black Lives Matter dan Arab Spring menunjukkan kekuatan tagar dalam memicu perubahan politik dan sosial.
  • Protes Occupy Wall Street dan Hong Kong 2019-2020 menggunakan media sosial untuk mengubah narasi politik dan mencapai tujuan jangka pendek.

Media sosial telah mengubah cara masyarakat menyuarakan aspirasi. Dalam satu dekade terakhir, publik melihat bagaimana platform digital menjadi embrio lahirnya gerakan-gerakan sosial yang mampu menggoyang tatanan yang ada. Dari Twitter hingga TikTok, media sosial telah memfasilitasi mobilisasi massa dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Black Lives Matter di Amerika, Arab Spring di Timur Tengah, hingga gerakan Mahsa Amini di Iran, semuanya berakar dari kekuatan media sosial. Gerakan-gerakan ini menunjukkan bagaimana sebuah tagar bisa memicu revolusi dan mendorong perubahan nyata. Mari telusuri lima gerakan protes media sosial terbesar yang pernah terjadi di berbagai belahan dunia.

1. BLM di Amerika Serikat memperjuangkan keadilan rasial

protes BLM di AS. (unsplash.com/James Eades)

Gerakan Black Lives Matter (BLM) bermula dari sebuah tagar di media sosial pada 2013. Gerakan ini dipicu oleh pembebasan George Zimmerman atas penembakan Trayvon Martin. #BlackLivesMatter dengan cepat menjadi simbol perlawanan terhadap rasisme sistemik dan kekerasan polisi terhadap komunitas kulit hitam di Amerika Serikat. BLM yang memanfaatkan Twitter dan Facebook untuk mobilisasi dan organisasi berhasil menciptakan jaringan aktivis yang luas dan responsif.

Gerakan ini mencapai puncaknya pada 2020 setelah tragedi kematian George Floyd. Momen itu segera memicu protes massal di seluruh dunia. Dampaknya cukup signifikan ketika beberapa kota di Amerika Serikat mengimplementasikan kebijakan baru seperti pelatihan bias implisit untuk polisi dan penggunaan kamera tubuh. Namun, banyak aktivis merasa bahwa perubahan yang terjadi belum cukup mendasar untuk mengatasi akar masalah ketidakadilan rasial. 

Baca Juga: Mengapa Sinyal Seluler Menjadi Lemah dan Hilang di Keramaian?

2. Arab Spring picu revolusi di Timur Tengah

ilustrasi negara Timur Tengah. (unsplash.com/Marek Studzinski)

Arab Spring, yang berlangsung medio 2010 hingga 2012, menandai titik balik dalam penggunaan media sosial untuk revolusi politik. Melibatkan beberapa negara di Timur Tengah dan Afrika Utara, gerakan ini memanfaatkan Facebook, Twitter, dan YouTube untuk mengkoordinasi aksi protes dan menyebarkan informasi ke dunia luar. Platform-platform ini memungkinkan aktivis untuk menghindari sensor pemerintah dan menarik perhatian internasional dengan cepat.

Dampak Arab Spring sangat signifikan. Ia adalah embrio dari penggulingan beberapa pemimpin otoriter sekaligus mendorong reformasi politik. Namun, hasilnya beragam di berbagai negara. Tunisia dianggap sebagai contoh keberhasilan. Mereka berhasil melakukan transisi menuju demokrasi. Sementara itu, negara-negara seperti Suriah dan Libya justru terjerumus ke dalam konflik berkepanjangan. Arab Spring berhasil membuktikan kekuatan media sosial dalam memicu perubahan politik.

3. Occupy Wall Street melawan ketimpangan ekonomi

ilustrasi Wall Street. (unsplash.com/Chris Li)

Gerakan Occupy Wall Street dimulai pada September 2011 di Kota New York, Amerika Serikat, dengan slogan "We are the 99%". Memanfaatkan media sosial, gerakan ini menyoroti isu ketimpangan ekonomi dan pengaruh berlebihan korporasi dalam politik Amerika. Tagar #WeAreThe99Percent menjadi viral untuk menginspirasi protes serupa di seluruh dunia. Media sosial menjadi sarana untuk berbagi cerita pribadi tentang kesulitan ekonomi serta menciptakan narasi kolektif yang kuat.

Occupy Wall Street berhasil mengubah narasi politik AS tentang ketimpangan ekonomi. Istilah "99 persen" dan "1 persen" menjadi bagian dari wacana publik yang memaksa politisi dan media untuk membahas isu-isu ini secara lebih serius. Meski berhasil mengubah wacana, gerakan ini kurang berhasil dalam mendorong perubahan kebijakan konkret. Sebagian kritikus berpendapat bahwa kurangnya struktur kepemimpinan yang jelas dan tuntutan spesifik membatasi efektivitas gerakan dalam mencapai reformasi sistemik.

4. Protes di Hong Kong untuk memperjuangkan demokrasi

ilustrasi unjuk rasa di Hong Kong. (unsplash.com/Joseph Chan)

Protes Hong Kong 2019--2020 menandai era baru dalam penggunaan teknologi untuk gerakan pro-demokrasi. Dipicu oleh RUU ekstradisi yang kontroversial, demonstran memanfaatkan platform lokal LIHKG dan Telegram untuk mengorganisir aksi mereka. Taktik "Be Water" yang fleksibel jadi mungkin berkat koordinasi real time melalui media sosial. Taktik ini memungkinkan demonstran untuk dengan cepat berkumpul, menyebar, dan berkumpul kembali di lokasi berbeda.

Protes ini berhasil mencapai tujuan jangka pendek dengan penarikan RUU ekstradisi yang kontroversial. Namun, pemerintah merespons dengan kampanye disinformasi masif di media sosial bertujuan memengaruhi opini publik global. Implikasi jangka panjang protes ini masih belum pasti, terutama dengan penerapan Undang-Undang Keamanan Nasional yang baru.

Verified Writer

Leo Manik

...

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya