Jersey Tandang Pink Jerman Laris Manis, Sempat Tuai Kontroversi

Dipakai juga pada fase grup Euro 2024 #EURO2024

Federasi Sepak Bola Jerman (DFB) mengumumkan lewat The Athletic kalau jersey  Timnas Jerman yang berwarna pink memecahkan rekor sebagai jersey tandang terlaris mereka dalam sejarah. Adidas, seperti dilansir MarketScreener, pun mengonfirmasi permintaan atas jersey pink tersebut tiga kali lebih tinggi dari yang diperkirakan. Mereka bahkan habis terjual di berbagai tempat.

Padahal desain itu sempat menuai kontroversi pada awal perilisannya Maret 2024 lalu. Sebagian menganggapnya sebagai keputusan ganjil karena tak mewakili warna bendera Jerman sama sekali. Ada juga yang mengaitkannya dengan woke agenda. Lantas, apa yang bikin jersey itu akhirnya populer? Strategi pemasaran macam apa yang bergerak dalam kasus ini?

1. Didesain untuk mewakili generasi baru Jerman yang beragam dan progresif

Jersey Tandang Pink Jerman Laris Manis, Sempat Tuai KontroversiTimnas Jerman mengenakan jersey away saat laga lawan Hungaria di Euro 2024. (instagram.com/dfb_team)

Selama beberapa dekade Timnas Jerman identik dengan warna hitam putih yang mereka ambil referensinya dari bendera Prussia. Hanya ada beberapa variasi yang pernah mereka adopsi, seperti warna merah marun dan hijau. Namun, baru tahun ini warna pink keunguan diadopsi jadi jersey tandang Timnas Jerman. Sontak, perilisan warna yang nonkonvensional itu menuai kontroversi. 

Dengan tujuan merepresentasikan generasi baru fans sepak bola Jerman yang beragam dan progresif, tak heran kalau sebagian menganggap ini adalah bagian dari woke agenda. Sebagai konteks, woke agenda adalah terma yang kini dipakai untuk mengidentifikasi nilai-nilai progresif seperti toleransi, persamaan hak, inklusivitas, dan kesetaraan gender. Namun, banyak pula yang menyederhanakan woke agenda sebagai gerakan pro-LGBTQ+ dan melekatkan stigma negatif terhadapnya. 

Walau menuai kritik, keputusan ini sebenarnya tidak aneh. Jerman masuk salah satu negara paling "woke" di dunia. Dilansir NPR, Jerman mulai melakukan modifikasi dalam tata bahasa mereka yang seperti bahasa-bahasa turunan Latin lain bergender (maskulin dan feminin). Instansi pemerintah dan entitas bisnis mulai mempromosikan penggunaan bahasa yang gender-neutral dan mengurangi penggunaan istilah "nyonya" dan "tuan" dalam berbagai momen formal.

Pemerintah Federal Jerman juga mewajibkan semua instansi untuk melengkapi formulir identitas dengan tiga pilihan gender, yaitu perempuan, laki-laki, dan lainnya. Namun, penduduk tak wajib mengisinya bila tak merasa nyaman untuk melakukan identifikasi gender. Sejak 1960-an, Jerman jadi negara tujuan utama para penerima pekerja migran dan pencari suaka. Ini yang kemudian menciptakan generasi baru Jerman yang beragam secara etnisitas. 

 

Baca Juga: Rapor Seluruh Pemain Debutan yang Dibawa Jerman pada Euro 2024

2. Gimmick marketing sampai faktor kelangkaan bisa jadi alasan larisnya jersey pink Jerman

Jersey Tandang Pink Jerman Laris Manis, Sempat Tuai KontroversiAndre Schnura, musisi Jerman yang tuai popularitas sepanjang Euro 2024. (instagram.com/germanfootball_dfb)

Namun, sepertinya kontroversi ini yang justru mendorong eksposur tinggi terhadap jersey pink Jerman. Rasa penasaran yang tinggi ternyata berhasil termanifestasi jadi keputusan untuk membeli. Apalagi banyak pesohor yang secara tak langsung ikut mempromosikan jersey pink Jerman. Toni Kroos salah satunya. Setelah mengumumkan rencana pensiunnya setelah Euro 2024, banyak penggemar yang memburu jersey Timnas Jerman dengan namanya, termasuk yang berwarna pink. 

Musisi Andre Schnura yang viral lewat videonya bermain saksofon di fanzone Euro 2024 juga tampak mengenakan jersey pink tersebut pada beberapa kesempatan. Alasan lain bisa jadi karena faktor kelangkaan dan nostalgia. Itu mengingat desain jersey Jerman di Euro 2024 ini bakal menandai kerja sama terakhir mereka dengan Adidas yang sudah jadi outfitters Timnas Jerman sejak 1980-an. 

3. Stigma terhadap warna pink merupakan produk dari konstruksi sosial yang patriarkis

Jersey Tandang Pink Jerman Laris Manis, Sempat Tuai KontroversiJersey away Timnas Jerman di Euro 2024. (instagram.com/germanfootball_dfb)

Perdebatan soal warna pink merupakan bagian dari konstruksi sosial patriarkis. Selalu diidentikan dengan femininitas dan perempuan, sebenarnya afiliasi tersebut baru muncul setelah Perang Dunia II. Ini dipicu penggunaan warna pink oleh beberapa figur publik perempuan pada masa itu seperti aktris Marilyn Monroe dan ibu negara AS Mamie Eisenhower. Sejak itu, pink identik dengan kelembutan, kompromi, dan karakter submisif lainnya. Di Jerman, segitiga berwarna pink pernah dipakai oleh Nazi dan otoritas setempat setelah Perang Dunia II (1945—1970-an) untuk mengidentifikasi penjara khusus komunitas gay dan transpuan yang saat itu dianggap sebagai sebuah kejahatan.

Tak pelak pink jadi warna yang tabu dalam olahraga, terutama yang didominasi pria. Namun, beberapa tahun belakangan, pink justru mengalami resurjensi alias kebangkitan di sepak bola. Inter Miami FC memeloporinya dan tak tanggung-tanggung langsung menggaet Lionel Messi sebagai ikon dari jersey pink pastel mereka. Beberapa klub sepak bola low-profile seperti Virginia Dream FC dan Vancouver FC juga mengadopsi warna ini dalam desain jersey utama mereka. 

Sempat jadi bulan-bulanan, jersey pink Jerman justru punya nilai jual tinggi. Sesuai target pasar mereka yakni anak-anak muda Jerman yang progresif dan beragam, warna pink keunguan sepertinya dilihat sebagai inovasi yang segar, unik, dan berani.

Baca Juga: 3 Kemenangan Slovakia di Euro, Rutin Membuat Kejutan

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Penulis, netizen, pembaca

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Gagah N. Putra

Berita Terkini Lainnya