TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengulik Eksistensi Pemain Zainichi, Keturunan Korea di J1 League

Zainichi, sebutan untuk diaspora Korea di Jepang

Tadanari Lee saat berseragam Kyoto Sanga F.C. (instagram.com/tadanarilee_official)

Pernah punya sejarah yang bertautan, keberadaan diaspora Korea di Jepang pun bukan hal yang aneh, termasuk dalam sepak bola. Sayangnya, eksistensi mereka tersamarkan karena pergantian nama yang sengaja dilakukan untuk menyembunyikan identitas asli mereka sebagai zainichi, yakni orang Korea yang lahir dan besar di Jepang.

Berdasarkan riset yang ditulis Tomoaki Morikawa dalam Review of Asian and Pacific Studies yang berjudul "The Colonial History Goes Cyber: The Rise of Anti-Zainichi
Korean Sentiments in Twenty-First Century Japanese Society", diskriminasi terhadap diaspora Korea di Jepang masih bisa ditemukan pada abad ke-21, apalagi dengan adanya ruang virtual bernama media sosial.

Lantas, bagaimana dampaknya pada zainichi yang mengarungi karier di bidang sepak bola? Bisakah sepak bola jadi media bagi mereka guna mendapatkan pengakuan dan setidaknya kesetaraan status?

1. Asal mula zainichi dan keterlibatan mereka dalam sepak bola Jepang 

Takahiro Kunimoto (instagram.com/jeonbuk1994)

Eksistensi zainichi didorong oleh okupasi Jepang atas Korea pada 1910-an. Saat itu, banyak orang Korea yang merantau ke kota-kota industri Jepang untuk menjadi pekerja migran. Melansir tulisan John Lie dalam Asian Intercultural Contacts yang berjudul "Zainichi: The Korean Diaspora in Japan", setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, para pekerja migran ini memilih untuk menetap.

Meski sering jadi objek diskriminasi dan eksploitasi (dibayar dengan upah rendah), kebanyakan dari mereka sudah beranak pinak dan tak memiliki rumah ataupun keluarga yang tersisa di Korea. Jepang sempat melakukan repatriasi (pemulangan zainichi ke Semenanjung Korea) pada 1960-an. Namun, upaya tersebut gagal karena kondisi ekonomi Korea Utara dan Selatan yang memprihatinkan.

Jepang juga menerapkan berbagai kebijakan untuk mengasimilasi diaspora Korea di negara mereka, salah satunya dengan mendorong naturalisasi kewarganegaraan. Syaratnya adalah mengubah nama mereka. Hal ini dianggap beberapa pihak sebagai bentuk pengekangan dan pencerabutan atas identitas. Apalagi, meski sudah berganti nama, diskriminasi masih bisa terjadi, termasuk saat mereka memasuki dunia kerja.

Ini pula yang mendorong banyak zainichi memilih jalur-jalur wirausaha. Selain membuka bisnis, tak sedikit yang mengambil jalan menjadi seniman dan atlet. Lewat itu, mereka mulai mendapatkan penerimaan dan penghargaan yang setara dengan orang beretnik Jepang.

2. Zainichi paling dikenal sepanjang sejarah sepak bola Jepang 

Tadanari Lee di antara skuad Timnas Jepang. (instagram.com/tadanarilee_official)

Ada beberapa pemain berlatar belakang zainichi yang bisa kita lihat jelas sepanjang sejarah J1 League. Misalnya saja Tadanari Lee yang disertakan dalam skuad Jepang pada putaran final Piala Asia 2011. Ia bernama asli Lee Chung Sung yang dikenal sebagai legenda Kashiwa Reysol dan Urawa Reds. Lee juga pernah bermain di Southampton selama beberapa musim.

Nama lainnya adalah An Byong Jun. Mantan pemain Kawasaki Frontale ini lahir, besar, dan menghabiskan sebagian besar masa aktifnya sebagai atlet di Jepang, tetapi memilih mempertahankan kewarganegaraan Korea Utara. Menariknya, ia melanjutkan karier di Korea Selatan bersama klub Suwon FC dan Suwon Bluewings. Takahiro Kunimoto yang pernah jadi bintang K-League (liga utama Korea Selatan) dan saat ini membela Casa Pia juga punya latar belakang zainichi dari sang kakek.

Meski tak ada perilaku diskriminatif yang langsung menyasar ketiga pemain di atas, diskriminasi terhadap pemain sepak bola dengan latar belakang Korea pernah ditemukan Morikawa dalam studinya pada 2018. Ia menemukan tindak cyberbullying yang menyasar seorang atlet sepak bola Nihon University. Kata-kata yang mengindikasikan kecurigaan bahwa sang pemain bukan orang Jepang asli dan secara spesifik menyebutnya sebagai zainichi bertebaran di media sosial.

Baca Juga: Potensi Atlet Diaspora Indonesia Belum Tergali Maksimal

Verified Writer

Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya