TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Menakar Peluang Tim Sepak Bola Asia Tenggara Tembus Piala Dunia 

Ada faktor eksternal dan internal

Pemain Timnas Indonesia, Ivar Jenner, menghampiri suporter di tribun penonton. (instagram.com/afcasiancup)

Indonesia jadi satu-satunya tim Asia Tenggara yang tersisa pada ronde ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026. Meski dianggap kabar baik untuk Indonesia, pencapaian itu bukan hal baru untuk Asia Tenggara. Ronde ketiga adalah prestasi terbaik tim-tim Asia Tenggara pada fase kualifikasi Piala Dunia.

Lebih jauh, itu memperjelas betapa sulitnya tim sepak bola Asia Tenggara menembus turnamen sepak bola terbesar di dunia. Sepanjang sejarah, Asia Tenggara baru pernah sekali mengirim perwakilannya ke Piala Dunia. Itu pun saat Indonesia masih berstatus negara jajahan Belanda dengan nama Hindia Belanda.

Lantas, seperti apa prospek Asia Tenggara di putaran final Piala Dunia 2026? Apakah penambahan peserta dari 32 menjadi 48 pada edisi 2026 akan meningkatkan peluang satu-satunya perwakilan mereka? Mari menakar kemungkinannya.

1. Kemelut politik hambat pengembangan sepak bola negara-negara Asia Tenggara

Pemain Timnas Thailand memberi tribut ke penggemar setelah gagal lolos ke ronde ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026. (instagram.com/changsuek)

Alasan yang paling sering disebut saat bicara pengembangan sepak bola di Asia Tenggara adalah konstelasi politik yang belum ajek dan sarat korupsi. Secara umum, Asia Tenggara adalah kumpulan negara-negara terkorup di dunia berdasar data Transparency International pada 2023. Sembilan dari sebelas negara di Asia Tenggara berada di peringkat 50 ke bawah dari 180 negara (6 dari 9 bahkan berada di posisi 100 ke bawah). Hanya Singapura yang bercokol di peringkat lima dunia dan tak ada data tersedia untuk Brunei Darussalam. 

Tak aneh bila FIFA beberapa kali melayangkan sanksi pada pegiat sepak bola Asia Tenggara. Sanksi karena kesalahan administrasi yang disengaja dan kecurangan pernah diterima Timor Leste, Laos, serta Kamboja. Indonesia pernah diboikot FIFA dari berbagai turnamen karena intervensi politik dalam sepak bola yang terlalu besar. Liga-liga domestik di region ini juga sarat kepentingan politik, bisa dilihat dari fakta bahwa banyak klub sepak bola mereka yang punya afiliasi dengan pemerintah, oligarki, dan aparat. 

Jangan lupakan pula fakta bahwa negara-negara Asia Tenggara harus mengalami pergolakan politik hebat pada 1960--1970-an. Gerakan antikomunis bermuara kepada perang sipil sebagai dampak dari Perang Dingin. Tak seperti negara-negara Eropa dan Amerika yang sudah relatif damai saat itu, pengembangan sepak bola dan olahraga otomatis mandek atau terhambat karena konflik. Salah satu contohnya Kamboja yang mengalami masa keemasan pada 1960-an, tetapi semua yang sudah mereka bangun hancur begitu saja saat perang saudara pecah pada 1967--1975. 

Baca Juga: 3 Alasan Israel Bisa Kebal Sanksi FIFA 

2. Proses profesionalisasi yang setengah-setengah

Timnas Singapura pada ronde kedua Kualifikasi Piala Dunia 2026. (instagram.com/fasingapore)

Alasan lain yang menjelaskan buruknya prestasi tim sepak bola Asia Tenggara adalah minimnya komitmen untuk melakukan profesionalisasi. Tidak seperti Jepang dan Korsel yang berbenah pada 1980--1990-an, tak ada proses signifikan di Asia Tenggara. Profesionalisasi lewat pendirian liga profesional baru dimulai pada 2000-an. Namun, tak semua berjalan mulus.

Indonesia saja beberapa kali berganti format liga, bahkan sempat terjadi dualisme kompetisi pada 2010-an. Dualisme klub juga masih jadi momok buat atlet dan staf klub karena ketidakterdugaannya. Liga sepak bola perempuan Indonesia yang pernah eksis terpaksa mandek akibat pandemik COVID-19 dan belum bergeliat lagi hingga 2024. Ketika profesionalisasi tak berjalan, jangan heran bila sepak bola dan olahraga secara umum tidak dilihat sebagai pekerjaan yang mapan. Alih-alih melihat olahraga sebagai industri, kita masih terjebak pada dogma kalau olahraga hanya sebatas aktivitas pengisi waktu luang.

Singapura saja yang mapan secara ekonomi dan politiknya stabil (meski tak bisa digolongkan demokrasi) kesulitan melakukan scouting karena minimnya minat anak-anak untuk bermain sepak bola. Dilansir Channel News Asia, intensitas aktivitas fisik anak-anak dan remaja di Singapura tergolong buruk dan dianggap salah satu faktor yang menjelaskan buruknya prestasi tim sepak bola mereka. Sebagai gantinya, tak sedikit tim sepak bola Asia Tenggara yang skuad utamanya diisi pemain diaspora dan naturalisasi dengan latar belakang pendidikan sepak bola luar negeri. Meski bukan sesuatu yang salah secara etika, ini menjelaskan betapa buruknya program pengembangan sepak bola dalam negeri Asia Tenggara.

Verified Writer

Dwi Ayu Silawati

Penulis, netizen, pembaca

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya