TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

David Raya dan Kecenderungan Toksik Menilai Performa Kiper 

Posisi paling mudah untuk disalahkan atau diromantisasi

David Raya (instagram.com/d.raya1)

Intinya Sih...

  • David Raya mendapat pujian karena performa impresif dan penyelamatan krusial, sementara kiper lain jadi sasaran hinaan dan meme.
  • Keeper menghadapi tekanan tinggi untuk tampil sempurna, ditambah penggemar sepak bola yang relatif toksik dan media sosial yang memperparahnya.
  • Penilaian terhadap kiper seringkali tidak objektif, sehingga diperlukan sistem penilaian yang lebih holistik seperti Expected goals on target (xGOT).

David Raya banjir sanjungan setelah berhasil melakukan dua penyelamatan krusial saat timnya, Arsenal bertemu Atalanta pada matchday pertama UEFA Champions League (UCL) 2024/2025. Di liga domestik, Raya menciptakan impresi positif yang sama dengan mencatatkan 14 penyelamatan dan hanya kebobolan 1 gol dalam 4 laga yang sudah dilakoninya, berdasar data yang dihimpun Opta Analyst. 

Di sisi lain, ada kiper-kiper lain yang harus menerima cacian dan jadi bahan meme karena performa mereka dicap buruk. Salah satunya Arijanet Muric, kiper Burnley yang jadi bulan-bulanan media dan suporter pada April 2024 lalu karena kesalahannya yang dianggap fatal. Begitu pula dengan Andre Onana, penjaga gawang Manchester United yang jadi langganan meme.

Memang tak ada pemain dan pelatih sepak bola yang bebas kritik. Tapi, kiper bisa dibilang sebagai salah satu posisi yang cukup rawan kena hujat. Namun, pada waktu lain bisa diromantisasi dengan begitu heroik. Bagaimana kecenderungan toksik ini bisa tercipta? Ada beberapa temuan menarik soal psikologi kiper dan suporter yang bisa jadi wawasan baru. 

1. Kiper adalah posisi yang unik sekaligus rawan dalam sepak bola

Andre Onana (instagram.com/manchesterunited)

Spielmann, dkk. dalam riset berjudul 'Searching for the Perfect Goalkeeping Personality. Myth or Reality?' dalam jurnal Frontiers in Psychology berargumen bahwa kiper harus menghadapi tantangan yang beda dan tidak biasa. Mereka sering dinilai dengan dikotomi ekstrem berdasarkan penyelamatan dan kesalahan yang dilakukan tiap pertandingan. Satu penyelamatan bisa membuat mereka diglorifikasi sebagai pahlawan, tetapi satu kesalahan pula bisa membuat mereka dihujat habis.

Kecenderungan ini yang mendorong terciptanya tekanan lebih terhadap kiper untuk bisa tampil prima dan tidak menciptakan satu kesalahan pun. Tingkat persaingan untuk meraih posisi kiper utama juga lebih tinggi karena tim hanya akan menurunkan satu kiper per laga. Apalagi, penjaga gawang adalah posisi yang paling jarang dapat giliran rotasi kecuali kiper andalan mengalami cedera atau dapat sanksi/akumulasi kartu. 

Baca Juga: 4 Kiper Arsenal yang Pernah Menepis Sepakan Penalti di UCL

2. Media sosial dan video pendek mendorong penonton semena-mena menilai pemain

Arijanet Muric (instagram.com/ipswichtown)

Kondisi itu masih diperparah basis penggemar sepak bola yang relatif toksik, seperti menormalisasi hujatan dan pujian berlebih. Sifat toksik ini makin menjadi-jadi pada era media sosial. Kini, penggemar sepak bola bisa beropini apa saja di media sosial, termasuk membuat candaan-candaan kasar. Belum lagi tren video pendek yang makin menjamur dan memikat mata.

Warganet dengan akun anonim atau fandom bisa membuat kompilasi penampilan terburuk seorang pemain dan dengan cepat menggiring opini. Singkatnya, disrupsi media sosial perlahan menghapus proses editorial seperti riset, cek fakta dan netralitas. Fenomena ini membuat penikmat sepak bola makin susah membedakan mana yang bisa dipercaya dan mana yang dibuat untuk gurauan dan sensasi belaka.

Ada sebuah tulisan menarik dari Nikki Thomas dari University of Southern California, berjudul 'On Parasocial Relationships with Professional Athletes'. Menurutnya, sejak media sosial hadir di hidup para penikmat olahraga, relasi atau koneksi yang tercipta tidak lagi tertuju kepada tim, tetapi fokus ke para pemain. Istilahnya parasosial, yakni kesan semu bahwa kita punya relasi dan akses langsung ke publik figur. Adanya kecenderungan ini lebih mudah membuat penilaian dan opini seolah kita tahu keadaan nyatanya, padahal sebenarnya tidak. 

Verified Writer

Dwi Ayu Silawati

Penulis, netizen, pembaca

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya