9 Mitos tentang Olimpiade, Banyak Kesalahpahaman 

Estafet obor Olimpiade diciptakan Nazi Jerman #Olimpiade2024

Olimpiade menjadi ajang kompetisi olahraga yang diimpikan bagi banyak atlet. Tak hanya itu, Olimpiade juga ditunggu bagi banyak pencinta olahraga. Euforianya bahkan terasa hingga ke ujung dunia, seperti yang saat ini sedang bergema yakni Olimpiade Paris 2024. Banyak momen indah, kontroversi, hingga skandal yang menjadi kisah unik di Olimpiade Paris 2024 ini.

Di sisi lain, Olimpiade sendiri menjadi acara monumental di mana semua bangsa di dunia berkumpul untuk pesta besar dengan mengikuti dan menyaksikan berbagai cabang olahraga menarik. Pertandingan tersebut disambut dengan sorak-sorai dari setiap sudut dunia.

Namun, setiap tradisi selalu diwarnai dengan mitos dan kesalahpahaman umum. Nah, inilah yang juga dialami Olimpiade. Yuk, kita cari tahu kebenarannya!

1. Mitos—medali emas sepenuhnya adalah emas

9 Mitos tentang Olimpiade, Banyak Kesalahpahaman Zhan Beleniuk memenangkan medali emas Olimpiade di Tokyo 2020 (commons.wikimedia.org/Власність Міністерства молоді та спорту України)

Kamu pasti menganggap kalau medali emas di Olimpiade adalah emas sepenuhnya. Tapi sebenarnya tidak, lho. Ternyata medali emas hanya dibungkus dengan emas, tetapi dalamnya tidak. Kira-kira emasnya hanya enam gram. Bagian dalamnya diisi dengan 93 persen perak dan 6 persen tembaga.

Namun pada Olimpiade 1912, medali emas sepenuhnya emas murni, tidak dicampur dengan perak atau tembaga.

2. Mitos—suatu kota akan merasa terhormat menjadi tuan rumah Olimpiade

9 Mitos tentang Olimpiade, Banyak Kesalahpahaman tanda papan pencalonan Rio de Janeiro untuk Olimpiade 2016 (commons.wikimedia.org/Rodrigo Soldon)

Menjadi tuan rumah Olimpiade memang merupakan hak istimewa. Bagaimana tidak, kota yang akan dijadikan tempat perhelatan Olimpiade ini punya kesempatan untuk dilirik dunia. Selain itu, tuan rumah akan menjadi bagian dari sejarah dunia.

Namun, menjadi tuan rumah Olimpiade tidak selalu menguntungkan. Penyelenggara Olimpiade sering kali terlilit utang demi terciptanya Olimpiade tersebut. Selain itu, kemacetan lalu lintas juga menjadi masalah utama. Hal ini pernah menimpa kota Boston.

Dilansir Boston.com, kota Boston hampir saja menjadi tuan rumah Olimpiade 2024. Sayangnya, warga Boston tidak mendukung perhelatan itu dengan melakukan demonstrasi. Akibatnya, pemerintah Amerika Serikat membatalkannya. Olimpiade 2024 pun akhirnya dipindahkan ke Paris, Prancis, yang saat ini sedang berlangsung hingga Minggu, (11/08/2024).

Warga Boston khawatir terkait dampak ekonomi yang ditimbulkan dari perhelatan Olimpiade. Pasalnya, masalah ini pernah menimpa kota Rio de Janeiro, Brasil. Dikutip The Independent, ekonomi Brasil hancur setelah Rio de Janeiro menjadi tuan rumah Olimpiade pada 2016, yang kemungkinan diperburuk oleh Olimpiade. Oleh sebab itu, banyak kota yang akhirnya tidak berminat menjadi tuan rumah Olimpiade. 

3. Mitos—semua atlet Olimpiade itu profesional

9 Mitos tentang Olimpiade, Banyak Kesalahpahaman potret atlet Jim Thorpe (commons.wikimedia.org/Harris and Ewing Collection)

Biasanya, dalam Olimpiade modern, semua atlet dari berbagai negara bersatu dengan sportivitas yang tinggi. Selain itu, Olimpiade kontemporer diwarnai dengan banyaknya iklan dan logo perusahaan. Semua peserta Olimpiade juga kebanyakan adalah atlet profesional.

Nah, sebelum pertengahan abad ke-20, atlet Olimpiade justru tidak boleh menjadi atlet profesional, lho. Atlet harus tetap menjadi atlet "amatir" dan tidak boleh menerima hadiah dalam bentuk apapun untuk prestasi mereka. Sebenarnya, makna dibalik ini juga mulia, agar perhelatan Olimpiade tidak terjebak dalam keserakahan dan tetap setia pada cita-cita awalnya.

Aturan ini dipegang teguh dengan sangat ketat. Atlet Olimpiade Jim Thorpe, bahkan pernah dilucuti medali emasnya saat diketahui bahwa ia menerima uang tunai untuk bermain bisbol semi-pro. Namun, kebijakan ini berubah dengan munculnya televisi, di mana banyak perusahaan mulai mengiklankan produknya di televisi. Atlet profesional pun muncul untuk mengiklankan produk-produk tersebut demi mencari keuntungan.

4. Mitos—Olimpiade merupakan tradisi sejak Yunani kuno

9 Mitos tentang Olimpiade, Banyak Kesalahpahaman ilustrasi lempar cakram di Olimpiade Yunani kuno (commons.wikimedia.org/Édouard Joseph Dantan)

Banyak yang mengira bahwa Olimpiade adalah tradisi Yunani kuno. Namun, History menunjukkan bahwa terakhir kali orang Yunani kuno mengadakan pesta Olimpiade mereka itu sekitar tahun 393 Masehi. Setelah itu, mereka berhenti. Tradisi tersebut baru bangkit kembali pada 1612 dengan diadakannya pertandingan "Olimpick" di Chipping Campden, Inggris. Kemudian diikuti oleh pertandingan nasional lainnya di Inggris.

Meski begitu, awal mula Olimpiade internasional yang kita rayakan saat ini dimulai pada 6 April 1896. Tahun itu, pertandingan diadakan di Athena, Yunani. Sebanyak 14 negara ikut serta, seperti Amerika Serikat, Prancis, dan Jerman. Sejak saat itu, Olimpiade terus berjalan dengan baik, kecuali beberapa kali terhenti karena perang dan faktor lainnya.

5. Mitos—lambang cincin Olimpiade mewakili benua tertentu

9 Mitos tentang Olimpiade, Banyak Kesalahpahaman lambang Olimpiade di Rio de Janeiro (commons.wikimedia.org/Jonas de Carvalho)

Cincin Olimpiade adalah simbol yang bisa kamu temukan dalam perhelatan Olimpiade. Konon, setiap cincinnya mewakili benua di dunia. Banyak yang percaya bahwa cincin merah melambangkan Amerika Utara dan Selatan, cincin hitam melambangkan Afrika, cincin kuning melambangkan Asia, cincin biru melambangkan Eropa, dan cincin hijau melambangkan Oseania.

Namun, ini tidak sepenuhnya benar, ya. Seperti yang dijelaskan oleh Reader's Digest, logo tersebut dirancang pada awal 1900-an oleh seorang bangsawan Prancis bernama Pierre de Coubertin. Meskipun kelima cincin tersebut mewakili lima benua, tapi lambang cincin-cincin itu tidak mewakili benua tertentu. Warna merah, hitam, kuning, biru, dan hijau, dipilih karena warna-warna ini dapat ditemukan di setiap bendera suatu negara yang ada di dunia pada saat itu. Singkatnya, cincin Olimpiade ini melambangkan inklusivitas, harmoni, dan perdamaian di seluruh dunia.

Baca Juga: 14 Negara yang Royal Beri Bonus Atlet Olimpiade 2024, RI Nomor Berapa?

6. Mitos—semua juri dan wasit di Olimpiade selalu adil

9 Mitos tentang Olimpiade, Banyak Kesalahpahaman juri dalam cabang olahraga senam artistik di Olimpiade Musim Panas Remaja 2010 di Bishan Sports Hall, Singapura (commons.wikimedia.org/Jackle)

Banyak yang mungkin berpendapat bahwa perhelatan Olimpiade diselenggarakan dengan baik tanpa adanya skandal. Nah, persepsi ini sepenuhnya salah. Salah satu contohnya terjadi selama pertandungan tinju di Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Ketika itu, korupsi sangat menggila hingga ke-36 juri dan wasit tinju diskors, sebagaimana yang diungkapkan The Washington Post.

Pada 2018, NPR menerbitkan sebuah artikel yang mengkaji bentuk ketidakadilan dalam proses seleksi untuk pesaing seluncur indah di Olimpiade. Penulis Christine Brennan berpendapat bahwa beberapa atlet seluncur indah dipilih secara tidak adil.

7. Mitos—estafet obor sudah ada sejak Yunani kuno

9 Mitos tentang Olimpiade, Banyak Kesalahpahaman Fritz Schilgen dari Jerman berlari membawa obor Olimpiade ke Stadion Olimpiade di Berlin pada upacara pembukaan Olimpiade Musim Panas 1936. (commons.wikimedia.org/Anonymous)

Beberapa orang menganggap kalau estafet obor Olimpiade merupakan tradisi yang sudah ada sejak Yunani kuno, tetapi seperti yang ditunjukkan USA Today, estafet obor sebenarnya diciptakan oleh Nazi. Pasalnya, Jerman menjadi tuan rumah Olimpiade pada 1936. Di sisi lain, Adolf Hitler memanfaatkan Olimpiade ini sebagai bentuk propaganda Nazi.

Konsep estafet obor sendiri diciptakan oleh administrator olahraga Jerman bernama Carl Diem. Jadi, pertama kali estafet obor dilakukan pada 1936, para penonton diminta untuk bersorak "Heil Hitler" atau yang berarti, "Salam Hitler." Sayangnya, upaya Hitler untuk menjadikan Olimpiade sebagai pertunjukan Nazi gagal total, lantaran Jesse Owens, seorang atlet Afrika-Amerika, memenangkan empat medali emas sekaligus.

Setelah Perang Dunia II meletus, Olimpiade ditiadakan selama 12 tahun lamanya. Namun, saat Olimpiade kembali digelar, estafet obor menjadi tradisi yang akhirnya dipraktikan hingga saat ini.

Meskipun diciptakan Nazi, banyak pengamat yang berpendapat bahwa estafet obor harus diingat bukan karena hal buruknya, tetapi karena banyaknya pengalaman bermakna yang tercipta berkat kehadiran estafet obor. Misalnya, ada momen ikonik tahun 1996 ketika Muhammad Ali, yang saat itu menderita penyakit Parkinson, menyalakan api Olimpiade di Atlanta.

8. Mitos—atlet Olimpiade Yunani kuno adalah budak

9 Mitos tentang Olimpiade, Banyak Kesalahpahaman ilustrasi simbol perbudakan (unsplash.com/Tasha Jolley)

Banyak yang menganggap kalau atlet di Olimpiade Yunani kuno adalah seorang budak yang dipaksa untuk berkompetisi demi hiburan tuan mereka yang kaya. Bisa dibilang, mirip seperti pertandingan gladiator di Romawi kuno. Sayangnya, hal ini salah. Olimpiade di Yunani kuno justru melarang budak untuk berpartisipasi dalam pertandingan.

Seperti yang dijelaskan Forbes, sebagian besar atlet Olimpiade Yunani kuno berasal dari latar belakang yang istimewa. Mereka terlahir dari keluarga kaya. Pasalnya, menjadi seorang atlet Olimpiade tidaklah mudah. Butuh privilege seperti waktu luang dan biaya yang mahal untuk ikut pelatihan selama 11 bulan.

9. Mitos—kesejahteraan hidup pemenang medali Olimpiade akan terjamin

9 Mitos tentang Olimpiade, Banyak Kesalahpahaman Vincent Hancock menjadi penembak senapan pertama yang memenangkan medali emas Olimpiade berturut-turut dalam nomor skeet putra di Royal Artillery Barracks. (commons.wikimedia.org/The U.S. Army)

Memenangkan medali emas bukan sebuah happy ending, terutama bagi atlet-atlet Amerika Serikat. Pasalnya, pemenang medali Olimpiade harus membayar pajak atas kemenangan tersebut dan mereka juga harus membayar pajak atas nilai medali itu sendiri. Tak hanya itu, AS adalah salah satu dari sedikit negara yang tidak memberi anggaran untuk atlet Olimpiadenya sehingga banyak atlet terbaik di negara itu yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Kebanyakan atlet Olimpiade AS harus bekerja paruh waktu atau membuka usaha kecil-kecilan, yang tentunya sangat menyita waktu latihan mereka. Jadi ya, pajak atas kemenangan mereka sebenarnya tidak sepadan dengan apa yang mereka dapatkan di Olimpiade. 

Mitos atau kesalahpahaman selalu mewarnai sejarah dunia. Nah, dalam perhelatan Olimpiade Paris 2024 ini, semoga kamu tidak lagi meyakini mitos-mitos yang telah kita bahas di atas, ya!

 

Baca Juga: 8 Atlet Palestina di Olimpiade 2024, Tampil di Enam Cabor

Amelia Solekha Photo Verified Writer Amelia Solekha

Write to communicate

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Febrianti Diah Kusumaningrum

Berita Terkini Lainnya