Neonikotinoid, Zat Berbahaya yang Terkandung dalam Insektisida

Menyebar lewat masifnya industri agrikultur

Penggunaan zat kimia dalam industri agrikultur memang dilegalkan oleh pemerintah dan badan berwenang, tak terkecuali pestisida atau insektisida. Salah satu tipe kandungan zat yang paling populer dipakai sebagai insektisida adalah neonikotinoid

Merujuk jurnal yang ditulis Frank dan Tooker dengan judul "Neonicotinoids Pose Undocumented Threats to Food Webs", neonikotinoid mulai diperkenalkan ke pasar pada tahun 1990-an. Sejak awal 2000-an pemakaiannya meluas ke berbagai lahan pertanian di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Meski dianggap menguntungkan terutama bagi pegiat agrikultur, neonikotinoid juga memiliki sejumlah efek samping yang perlu diperhatikan.

1. Apa itu neonikotinoid?

Neonikotinoid, Zat Berbahaya yang Terkandung dalam Insektisidabunga canola (Pexels.com/Annica Sörén)

Sebelum meluncur ke efek samping, ada baiknya kita mengenal dulu apa yang disebut sebagai neonikotinoid. Melansir tulisan Putri, Yusmur, dan Yamamuro dalam jurnal Heliyon yang berjudul "Neonicotinoid Contamination in Tropical Estuarine Waters of Indonesia", neonikotinoid merupakan zat yang memiliki kemiripan dengan nikotin, yaitu bisa menyerang sistem saraf. Dalam hal ini yang disasar adalah sistem saraf serangga yang dianggap mengganggu tumbuh kembang tanaman. 

Merujuk sumber yang sama, neonikotinoid ini berupa zat clothianidin, imidacloprid, acetamiprid, dinotefuran, nitenpyram, thiacloprid, dan thiamethoxam. Mereka memiliki sifat mudah larut dalam air, tidak bereaksi saat terpapar air, tidak mudah menyerap dalam tanah, dan memiliki masa aktif yang cukup lama. 

2. Cara kerja neonikotinoid 

Neonikotinoid, Zat Berbahaya yang Terkandung dalam Insektisidafoto jarak jauh ladang pertanian (Pexels.com/Altaf Shah)

Merujuk Frank dan Tooker, neonikotinoid banyak dipilih karena memiliki risiko toksisitas yang rendah terhadap mamalia. Ia biasanya diaplikasikan langsung pada daun atau bunga dan nantinya akan otomatis menyerap ke berbagai organ lain termasuk akar, batang, hingga jaringan. 

Dalam perkembangannya, ditemukan pula praktik seed coating. Praktik ini dilakukan dengan melapisi bibit dengan neonikotinoid dengan tujuan kadar zat toksik tanaman akan berkurang ketika nanti sampai ke tangan manusia untuk dikonsumsi. Namun, ketika ini dilakukan nektar dan honeydew (madu yang tersimpan dalam batang tanaman) akan turut mengandung senyawa toksik berbahaya dan bisa melumpuhkan serangga.

Baca Juga: Perempuan di Ponorogo Tewas Usai Tenggak Insektisida

3. Terbukti mendisrupsi rantai makanan dan keseimbangan ekosistem 

Neonikotinoid, Zat Berbahaya yang Terkandung dalam Insektisidalebah yang hinggap di atas bunga (Pexels.com/Myriams Fotos)

Sifat mudah larut membuat neonikotinoid dengan mudah menyebar lewat aliran air. Ini yang membuatnya bisa menciptakan disrupsi rantai makanan. Hladik, dkk dalam penelitiannya yang berjudul "Environmental Risks and Challenges Associated with Neonicotinoid Insecticides" menemukan bahwa neonikotinoid tidak hanya membunuh serangga atau hama, tetapi juga beberapa organisme lain di alam. 

Menurut mereka ada tiga tipe organisme yang terdampak secara langsung ataupun tidak langsung oleh neonikotinoid, yaitu polinator, unggas, dan organisme air. Polinator atau hewan yang membantu penyerbukan seperti lebah dan kelelawar terbukti terkena dampak langsung berupa reduksi kemampuan navigasi dan reproduksi. 

Burung herbivora yang terpapar karena mengonsumsi biji atau bibit yang terkontaminasi serta burung pemakan serangga yang kehilangan mangsa atau sumber pangan utama mereka. Perlahan populasi burung memang terbukti berkurang seiring dengan perluasan lahan pertanian.

Sementara organisme air, terutama intervetebrata, mengalami perubahan nafsu makan menjadi lebih suka makan daging ketimbang tumbuhan setelah habitat mereka terkontaminasi salah satu zat neonikotinoid. Kecenderungan menjadi karnivora akan berpotensi menyebabkan kondisi hipoksi dan berbagai disrupsi dalam keseimbangan ekosistem lainnya.

National Geographic juga merilis data yang menunjukkan bahwa semenjak neonikotinoid diperkenalkan pada 1990-an di Jepang dan dipakai di persawahan, populasi zooplankton di perairan mereka berkurang secara signifikan. Secara tidak langsung, berkurangnya jumlahnya plankton berdampak pada berkurangnya jumlah ikan karena terbatasnya ketersediaan makanan.

4. Berpotensi memicu gangguan kesehatan pada manusia

Neonikotinoid, Zat Berbahaya yang Terkandung dalam Insektisidalahan pertanian (Pexels.com/Mehmet Turgut Kirkgoz)

Meski diklaim memiliki dampak yang sangat kecil untuk mamalia dan manusia, bukan berarti neonikotinoid tidak memiliki potensi mengganggu kesehatan. Zhang dan Lu mengulas beberapa studi tentang dampak neonikotinoid yang dilakukan sejumlah ilmuwan dengan judul "Human Exposure to Neonicotinoids and the Associated Health Risks: A Review" dalam jurnal Environment International

Mereka merangkum beberapa temuan yang menyebutkan bahwa neonikotinoid yang diberikan pada manusia sehat bisa mengganggu kinerja insulin, mengurangi progresivitas pergerakan sperma, meningkatkan kadar kolesterol, menaikkan kadar hormin steroid, dan meningkatkan risiko stres oksidatif pada organ urinal. Namun, harus diakui bahwa studi terhadap manusia memang masih sangat terbatas. Ini terjadi karena sejumlah pertimbangan etika.

5. Standar etiknya masih jadi perdebatan sengit 

Neonikotinoid, Zat Berbahaya yang Terkandung dalam Insektisidailustrasi proses panen modern (Pexels.com/Alex Rusin)

Etika penggunaan neonikotinoid masih jadi perdebatan. Frank dan Tooker percaya bahwa secara umum neonikotinoid tidak memiliki efek besar terhadap peningkatan produktivitas lahan pertanian.

Peningkatan produktivitas hanya ditemukan pada lahan kedelai bila melansir tulisan Hladik, dkk. Ia juga menambahkan bahwa setelah Uni Eropa melarang penggunaan beberapa zat neonikotinoid (clothianidin, imidacloprid, dan thiamethoxam) tidak terjadi pengurangan produktivitas yang signifikan pada lahan jagung, bunga matahari, dan canola.

 

Neonikotinoid sebagai insektisida masih dipergunakan hingga sekarang, terlepas dari berbagai kekhawatiran dan potensinya merusak keseimbangan alam. Isu kebutuhan pangan selalu jadi alasan para pegiat agribisnis untuk terus menggunakan bahan-bahan kimia tersebut. Masalahnya tak hanya untuk dikonsumsi langsung oleh manusia, tanaman-tanaman lukratif seperti sawit, kedelai, dan jagung juga banyak dipakai sebagai pakan hewan ternak.

Baca Juga: Mengenal Gas Rumah Kaca, Zat yang Membuat Bumi Makin Panas

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Atqo

Berita Terkini Lainnya