Apakah Autisme Dapat Terjadi pada Hewan?

Ada sejumlah fakta menarik di balik pertanyaan ini

Dalam dunia medis, autisme atau autism spectrum disorder (ASD) merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami kesulitan komunikasi serta perilaku yang berbeda dengan manusia pada umumnya, mengutip WHO. Pada manusia, kondisi tersebut disebabkan oleh gangguan perkembangan saraf manusia yang biasanya mulai timbul sejak masa anak-anak usia 2—3 tahun. Autisme sendiri bukanlah sebuah penyakit, hanya saja kinerja otak dari pengidapnya berbeda dari manusia pada umumnya.

Dilansir National Health Service, autisme dapat dialami manusia sejak lahir dan kondisi ini akan tetap terjadi sepanjang hidup. Akan tetapi, soal kapan seseorang terdeteksi mengidap autisme itu tergantung saat kapan ia memeriksanya. Meski banyak berita simpang siur soal penyebab autisme, sampai saat ini kita belum bisa tahu secara pasti soal penyebabnya. Yang jelas, autisme tak akan terjadi karena vaksinasi, pola makan, pola asuh anak yang buruk, atau bahkan ditularkan dari orang lain.

Pembahasan kali ini utamanya bukan tentang autisme pada manusia. Mengingat kondisi ini mempengaruhi saraf dan otak, lantas ada satu pertanyaan yang cukup menarik untuk dibahas. Apakah kondisi autisme juga bisa dialami oleh hewan yang juga memiliki saraf dan otak layaknya manusia? Untuk mengetahui jawabannya, yuk, simak ulasan lengkap di bawah ini!

1. Bagaimana cara mendeteksi autisme pada hewan?

Apakah Autisme Dapat Terjadi pada Hewan?potret tikus lab yang umum dijadikan objek penelitian (commons.wikimedia.org/Rama)

Mendeteksi kondisi autisme pada manusia bisa dibilang cukup mudah dilakukan karena tanda-tandanya dapat diamati secara langsung. Sedangkan untuk mendeteksi autisme pada hewan, ada sejumlah tantangan yang harus dilewati hanya sekadar mengetahui keberadaannya. Misalnya saja, peneliti perlu mengetahui apa perilaku atau bentuk komunikasi yang umum dilakukan satu spesies hewan dan membandingkannya dengan individu yang diduga mengidap autisme, dilansir Adina ABA.

Pada manusia saja, kondisi autisme bisa muncul lewat berbagai tanda, yang dalam banyak kasus, berbeda-beda pada masing-masing individu. Hal ini semakin sulit lagi untuk mengetahui keberadaan kondisi autisme pada hewan-hewan yang jarang menunjukkan ekspresi, tak hidup secara berkelompok, ataupun hanya menggunakan sinyal-sinyal tertentu untuk berkomunikasi. Sejauh ini, belum ada cara untuk memeriksa keberadaan autisme secara biologis, sehingga pengamatan perilaku jadi satu-satunya langkah yang harus dilakukan untuk mengetahui keberadaan kondisi ini.

Lantas, apa saja yang akan dilakukan peneliti untuk melewati dinding tebal dalam penelusuran keberadaan autisme pada hewan? Ternyata jawabannya sama seperti mendeteksi autisme pada manusia, yakni lewat perilaku. Salah satunya seperti hasil penelitian Paul H. Patterson yang dirilis di National Center for Biotechnology Information yang berjudul, "Modeling Austistic Features in Animals". 

Paul menyadari soal keterbatasan untuk meneliti keberadaan autisme pada hewan karena sejumlah tantangan sebagaimana yang disebutkan di atas. Maka dari itu, ia berfokus untuk meneliti hewan yang dapat mengakomodir tiga gejala inti yang timbul pada pengidap kondisi autisme pada manusia. Ketiganya adalah masalah interaksi sosial dengan sesamanya, masalah komunikasi, serta perilaku motorik yang repetitif atau berlebihan pada satu individu. Dalam penelitian Paul H. Patterson, tikus jadi hewan yang cocok untuk mewakili tiga gejala inti dari autisme tersebut.

Tentunya, penelitian lain dengan topik serupa dilaksanakan dengan cara yang sama seperti Paul H. Patterson. Tujuannya juga cukup beragam. Dengan memahami potensi keberadaan autisme pada hewan, kita bisa memperdalam hingga mengembangkan ilmu neurologi, psikologi, atau bahkan cara pandang kita terhadap hewan secara umumnya. 

Baca Juga: 5 Hewan Paling Malas di Dunia, Ada Panda hingga Koala

2. Apakah penelitian sejauh ini sudah menjawab kemungkinan kondisi autisme pada hewan?

Apakah Autisme Dapat Terjadi pada Hewan?Anjing jenis bull terrier diketahui sebagai salah satu jenis anjing domestik yang dapat mengidap autisme. (commons.wikimedia.org/Goldmull)

Dari sejumlah penelitian yang dilakukan pada sejumlah objek, ternyata memang benar kalau kondisi autisme bisa ditemukan pada hewan. Meski objek penelitian masih didominasi oleh mamalia, secara umum peneliti masih membuka kemungkinan tentang keberadaan kondisi autisme pada spesies hewan lainnya. Yang jelas, kondisi ini sudah diteliti dan terbukti ditemukan pada tikus, beberapa jenis anjing domestik, serta primata.

Untuk objek berupa tikus, penelitian yang dilakukan Paul H. Patterson bisa menjadi acuan dalam pembuktiannya. Dilansir PubMed Central, tiga gejala utama autisme yang jadi fokus pada penelitian ini ternyata terbukti ditemukan pada tikus-tikus yang diteliti. Menariknya, Paul menuliskan kalau faktor genetik dan lingkungan saat masa kehamilan tikus berpengaruh terhadap gejala autisme yang ditunjukkan oleh mereka. 

Kemudian, contoh autisme pada anjing domestik dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan oleh Profesor Emeritus Nicholas Dodman dan Alice Moon-Fanelli. Dalam jurnal "Characteristics of Compulsive Tail Chasing and Associated Risk Factors in Bull Terriers" terbitan Journal of the American Veterinary Medical Association, Dodman dan Alice meneliti sekitar 333 anjing berjenis bull terrier untuk mengamati persamaan perilaku mereka secara umum. Ternyata, hasilnya bisa dibilang cukup mengejutkan.

Sekitar 85 persen anjing yang jadi objek penelitian menunjukkan perilaku repetitif berupa mengejar-ngejar ekornya dengan berbagai cara. Menurut Dodman dalam Tufts Now, kalau gejala autisme pada manusia ditandai dengan kesulitan berbicara dan interaksi sosial, maka mengejar-ngejar ekor secara repetitif pada anjing bisa dibilang sebagai hal yang sama. Selain tanda tersebut, anjing yang diduga memiliki kondisi autisme juga mengalami lonjakan emosi secara tiba-tiba serta kejang-kejang secara mendadak.

Pada primata, makaka jadi spesies yang diketahui mengidap gejala autisme berdasarkan pengujian perilaku, genetik, dan neurobiologisnya, dilansir Above & Beyond Therapy. Penelitian yang dipimpin oleh Kyoko Yoshida dan tim yang berjudul, "Single-neuron and Genetic Correlates of Autistic Behavior in Macaque" menyebut bahwa makaka jepang secara spesifik terbukti dapat mengalami gejala autisme. Hal ini utamanya terlihat dari perilaku sosial individu yang mengidap autisme kepada kelompoknya.

Sebagai hewan yang hidup berkelompok, punya banyak bentuk komunikasi dan ekspresi wajah, serta perilaku yang unik, makaka jepang serta jenis primata lainnya bisa dibilang merupakan hewan yang tepat untuk meneliti seputar autisme. Sebab, kemiripannya pada manusia bisa jadi kunci bagi kita untuk mempelajari lebih jauh soal mekanisme saraf yang mempengaruhi munculnya autisme pada manusia.

Selain ketiga contoh di atas, masih banyak mamalia lain yang diduga dapat mengalami kondisi autisme. Kuda, kucing, ataupun peliharaan manusia lain bisa saja mengalami hal-hal yang serupa seperti tiga hewan di atas. Akan tetapi, sejauh tulisan ini dibuat, belum ditemukan bukti keberadaan autisme pada reptil, burung, maupun ikan. 

3. Apa manfaat dari mempelajari keberadaan autisme pada hewan?

Apakah Autisme Dapat Terjadi pada Hewan?Makaka jepang jadi salah satu primata yang pernah diteliti dan terbukti mengidap gejala autisme. (commons.wikimedia.org/Alfonsopazphoto)

Kita sudah mengetahui kalau ternyata ada spesies hewan—yang didominasi mamalia—yang dapat mengidap kondisi autisme. Seperti yang sudah dijelaskan, gejala autisme pada hewan dapat berupa tindakan repetitif pada aktivitas tertentu, kejang-kejang berlebih, emosi yang tak stabil, sulit dalam berinteraksi dengan kelompoknya, sampai ekspresi wajah tertentu. Dari informasi tersebut, sebenarnya apa, sih, manfaatnya bagi kita sebagai manusia?

Bagi hewan itu sendiri, mempelajari sistem saraf dan potensi gejala autisme pada mereka dapat membantu kita memahami soal apa yang sebenarnya mereka butuhkan. Dilansir Adina ABA, memenuhi kebutuhan unik hewan dengan memahami gejala autisme pada mereka dapat meningkatkan kesejahteraan hidup si hewan. Kesejahteraan ini dapat meliputi kesehatan, mental yang stabil, serta kepuasan pada kondisi hidup hewan yang memadai dan sesuai.

Sedangkan dari segi medis untuk kepentingan manusia, mempelajari autisme pada hewan dapat berarti kita belajar tentang sistem saraf pada sesama mamalia. Selain itu, kita juga bisa mencari tahu apakah penelitian tentang autisme pada hewan memiliki relevansi dengan autisme pada manusia sehingga hasil temuan yang bersifat positif dapat diaplikasikan pula pada manusia. Kita juga dapat mengembangkan ilmu medis terkait dengan neurologi, psikologi, serta hal lain yang terkait dengan gejala autisme.

Diluar itu semua, penelitian tentang autisme pada hewan ini bisa dikatakan sebagai salah satu bukti soal betapa laparnya kita terhadap pengetahuan. Baik itu penelitian yang relevan pada kehidupan kita atau tidak, mungkin terjadi secara nyata atau tidak, hingga apakah ada manfaat yang bisa dipetik di baliknya atau tidak, bukanlah jadi penghalang bagi kita untuk terus meneliti. 

Baca Juga: 10 Hewan Langka di Indonesia yang Terancam Punah, Dilindungi!

Anjar Triananda Ramadhani Photo Verified Writer Anjar Triananda Ramadhani

Penulis artikel dengan tema sains, alam, dan teknologi | Email: anjar.triananda85@gmail.com

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Izza Namira

Berita Terkini Lainnya