TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Ilmuwan Perempuan dengan Penemuan Penting di Abad 20

Salah satunya adalah penemu reaksi fisi nuklir

ilustrasi ilmuwan perempuan (unsplash.com/National Cancer Institute)

Jika diminta menyebutkan nama ilmuwan perempuan sepanjang sejarah perkembangan dunia sains, barangkali kita hanya terpikir satu nama yaitu Marie Curie. Penelitiannya di bidang unsur radioaktif sangat berperan penting dalam dunia kedokteran khususnya radiologi dan metode kemoterapi.

Marie Curie tentu saja bukan satu-satunya ilmuwan perempuan dengan penemuan penting. Nama ilmuwan perempuan lainnya seperti Dorothy Hodgkin, Nettie Stevens, Ida Noddack, Cecilia Payne-Gaposchkin, dan Marguerite Perey, juga memiliki kontribusi besar dalam perkembangan sains modern.

Artikel ini akan mengulas kelima ilmuwan perempuan  tersebut beserta penemuan penting yang berhasil diraihnya. Yuk berkenalan lebih dekat dengan para ilmuwan perempuan hebat ini!

1. Dorothy Hodgkin (1910—1994)

Dorothy Hodgkin (commons.m.wikimedia.org/University of Bristol)

Telah menaruh minat pada studi mengenai kristal sejak kecil, Dorothy mengambil jurusan kimia di Somerville College, University of Oxford. Di sinilah Dorothy mulai mempelajari struktur senyawa organik melalui metode kristalografi X-ray. 

Saat menempuh jenjang doktor di University of Cambridge, Dorothy mulai mempelajari struktur biomolekul seperti sterol dan pepsin. Tak lama setelah mendirikan laboratorium X-ray, pada tahun 1939 Dorothy diminta oleh Howard Florey yang merupakan seorang ahli patologi, untuk meneliti struktur penisilin. 

Enam tahun setelahnya, Dorothy berhasil memecahkan struktur atom penisilin dalam bentuk tiga dimensi. Keberhasilan Dorothy dalam menguraikan struktur penisilin berkontribusi besar dalam pemanfaatan penisilin sebagai antibiotik. 

Selain penisilin, Dorothy juga berhasil menguraikan struktur vitamin B12. Atas dua penemuannya tersebut, Dorothy meraih Nobel Prize di tahun 1964, dilansir dari Britannica.

2. Marguerite Perey (1909—1975)

foto Marguerite Perey (youtube.com/@UncoverScience)

Marguerite Perey adalah ahli fisika berkebangsaan Prancis dan sekaligus murid dari Marie Curie. Meskipun namanya tak sepopuler Marie Curie, Marguerite Perey juga menjadi salah satu tokoh penting di bidang fisika radioaktif. 

Marguerite Perey memulai karirnya di tahun 1929 sebagai teknisi kimia di Curie's Radium Institute. Di sinilah Perey mempelajari metode isolasi dan pemurnian unsur radioaktif, khususnya aktinium. 

Risetnya dengan unsur aktinium terus berlanjut hingga pada tahun 1935, Perey menemukan unsur baru yang berasal dari aktivitas radiasi aktinium. Unsur tersebut dinamainya fransium, merujuk pada negara asalnya. 

Sayangnya, fransium merupakan unsur radioaktif dengan sifat karsinogenik. Perey mengidap kanker tulang dan meninggal di usia 65 tahun. Meskipun begitu, Perey akan selalu dikenal sebagai salah satu ahli radiokimia dengan standar keamanan tinggi, dikutip dari Scientific Women.

Baca Juga: 5 Fakta Fritz Haber, Ilmuwan Jenius dengan Warisan Kontroversial

3. Nettie Stevens (1861—1912)

Nettie Stevens (commons.m.wikimedia.org/Carnegie Institution of Washington)

Ungkapan "better late than never" rasanya sangat sesuai untuk menggambarkan kehidupan karir Nettie Stevens sebagai peneliti. Stevens memulai karir penelitinya di usia 39 tahun setelah beberapa tahun sebelumnya bekerja sebagai guru agar bisa menyisihkan uang untuk masuk universitas. 

Stevens mempelajari biologi di Leland Stanford University dan melanjutkan studi pascasarjana di Bryn Mawr College. Dia sangat tertarik dengan proses penentuan jenis kelamin pada makhluk hidup. 

Saat mempelajari tentang mealworm, Stevens menemukan bahwa individu jantan memiliki kromosom seks X dan Y, sementara  pada individu betina hanya ditemukan kromosom seks X. Dari hasil penelitiannya ini, Stevens menyimpulkan bahwa penentuan jenis kelamin ditentukan oleh kromosom seks yang dibawa oleh sel reproduktif jantan. 

Karir Stevens sebagai peneliti memang tidak lama karena dia meninggal di usia 51 tahun setelah mengidap kanker payudara. Walaupun hanya 12 tahun menekuni karir peneliti, penemuan kromosom seks oleh Nettie Stevens berperan besar dalam perkembangan ilmu genetika, dikutip dari Nature.

4. Cecilia Payne-Gaposchkin (1900—1979)

Cecilia Payne-Gaposchkin (Wikimedia Commons/Smithsonian Institution)

Meski menamatkan jurusan fisika di Cambridge University, Cecilia Payne-Gaposchkin menghabiskan sebagian besar karir penelitiannya di Amerika Serikat. Dia mendapatkan penawaran graduate fellowship dari Harlow Shapley yang menjabat sebagai direktur Harvard College Observatory.

Payne yang sebelumnya memiliki dasar pengetahuan fisika kuantum, tertarik untuk mendalami studi mengenai stellar spectra dan menjadikannya sebagai topik disertasi doktoral-nya. Stellar spectra merupakan garis-garis spektrum yang dapat mendeskripsikan kepadatan, temperatur, juga ukuran dari suatu bintang. Pada saat itu, stellar spectra digunakan untuk mengelompokkan bintang berdasarkan temperatur permukaannya.

Payne berhasil membuktikan bahwa perbedaan stellar spectra sebenarnya disebabkan karena keadaan ionisasi atom yang berbeda untuk setiap bintang, bukan karena perbedaan unsur penyusunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan Payne, semua bintang di alam semesta, termasuk matahari, hanya tersusun dari dua jenis unsur yaitu hidrogen dan helium.

Penemuan Payne sempat diragukan saat itu mengingat hidrogen dan helium merupakan dua unsur dengan massa teringan. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian penemuannya telah diakui kebenarannya, dikutip dari American Museum of Natural History.

Verified Writer

Nisa Istiqomah

menulis sebagian dari hobi

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya