TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kenapa Batik Parang Tidak Boleh Dipakai di Acara Pernikahan?

Bahkan ada aturan pemakaiannya

ilustrasi membatik (unsplash.com/Camille Bismonte)

Kaesang Pangarep, putra Presiden RI, hendak melangsungkan pernikahan pada Sabtu (10/12/2022). Acara tasyakuran menjelang hajat besar pun dilaksanakan di kawasan Puro Mangkunegaran, Surakarta. Uniknya, para tamu acara mendapat imbauan untuk tidak menggunakan batik parang. 

Kenapa batik parang tidak boleh dipakai di acara pernikahan? Bukan sekadar pantangan, menariknya, ada filosofi khusus yang menjadikan batik parang spesial dan tidak boleh digunakan pada semua acara. 

Baca Juga: Sejarah Candi Prambanan: Peninggalan Hindu dan Kisah Roro Jonggrang

Filosofi batik parang

ilustrasi batik parang (flickr.com/Prakoso Prakoso)

Parang merupakan salah satu motif batik yang populer dari keraton Jawa. Asli Indonesia, motif batik ini sudah ada sejak masa keraton Mataram Kartasura (Solo). Nama parang diambil dari kata 'pereng' yang artinya lereng. 

Sesuai namanya, batik parang sendiri digambarkan dengan garis menurun miring dari arah tinggi ke lebih rendah secara diagonal. Di antara garis tersebut, terdapat jalinan seperti huruf 'S' yang berkesinambungan. 

Garis diagonal lurus memiliki filosofi penghormatan dan cita-cita. Selain itu juga kesetiaan pada nilai yang dijunjung dengan benar. Adapun motif jalinan 'S' yang tidak terputus layaknya ombak samudra yang bermakna semangat tidak pernah padam, melansir RRI

Penggunaan batik ini menampilkan perjuangan kesejahteraan, memperbaiki diri, dan keeratan pertalian saudara. Lebih detail, motif yang konon diciptakan oleh Panembahan Senopati ini juga digambarkan sebagai hadiah yang mulia untuk anak-anaknya. 

Pada masa tahta Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939), terdapat aturan khusus penggunaan pakaian dengan batik motif parang. Aturan tersebut tertuang dalam Rijksblad van Djokjakarta tahun 1927, tentang "Pranatan Dalem Bab Jenenge Panganggo Keprabon Ing Keraton Nagari Yogyakarta". 

Batik ini hanya boleh dikenakan oleh keluarga keraton, termasuk raja, permaisuri, dan keturunannya, bangsawan, dan bupati. Ketentuan ini berlaku di keraton Solo maupun Yogyakarta. 

Aturan penggunaan batik parang

ilustrasi batik parang (flickr.com/dejahvoe)

Aturan penggunaan batik parang dibagi menjadi dua, yakni ketika dikenakan sebagai nyamping atau bebet dan untuk kampuh atau dodot. Masing-masing dikenakan oleh anggota kesultanan tertentu dengan kondisi khusus. Dilansir situs Kraton Jogja, ketentuan penggunaan batik parang yakni sebagai berikut:

Aturan nyamping/bebet:

  • Parang Rusak Barong dengan ukuran lebih dari 10 cm hanya boleh dikenakan oleh raja dan putra mahkota
  • Parang Barong ukuran 10 – 12 cm boleh dikenakan oleh putra mahkota, permaisuri, Kanjeng Panembahan dan istri utamanya, Kajeng Gusti Pangeran Adipati dan istri utamanya, putra sulung sultan dan istri utamanya, putra-putri sultan dari permaisuri, dan patih
  • Parang Gendreh ukuran 8 cm dikenakan oleh istri sultan (ampeyan dalem), istri putra mahkota, putra-putri dari putra mahkota, Pangeran Sentana, serta para pangeran dan istri utamanya
  • Parang Klithik ukuran 4 cm atau kurang boleh dipakai oleh putra ampeyan dalem, dan garwa ampeyan (selir putra mahkota), cucu, cicit dan buyut, canggah, hingga wareng.

Jika dikenakan sebagai kampuh atau dodot aturannya yakni:

  • Parang Barong boleh dikenakan oleh sultan, permaisuri dan istri utama, putra mahkota, putri sulung sultan, Kanjeng Panembahan, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati, putra sulung sultan, dan istri utamanya
  • Kampuh Gendreh dikenakan oleh istri (garwa ampeyan), putra-putri sultan dari permaisuri dan garwa ampeyan, putra-putri dari putra mahkota, Pangeran Sentono, istri utama para pangeran, dan patih
  • Bebet Prajuritan atau kain batik untuk kelengkapan busana keprajuritan, yang boleh mengenakan sama dengan ketentuan pemakaian kampuh gendreh
  • Kampuh Parang Rusak Klithik dipakai untuk istri dan garwa ampeyan putra mahkota.

Baca Juga: Kain Endek Bali: Sejarah, Pembuatan, dan Filosofinya

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya