TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

5 Fakta Cho Oyu, Gunung Tinggi dengan Fatality Rate Pendakian Terendah

Merupakan gunung tertinggi ke-6 di dunia

potret wajah sisi utara Gunung Cho Oyu (8.201 mdpl) yang merupakan gunung tertinggi ke-6 di dunia (commons.wikimedia.org/Mark Horrell)

Gunung Cho Oyu merupakan gunung tinggi dengan puncak berselimutkan es yang terletak di perbatasan negara China dengan Nepal, antara Daerah Otonomi Tibet (Tibet Autonomous Region) dan Provinsi Koshi di Nepal. Menjulang dengan ketinggian 8.201 di atas permukaan air laut (mdpl), Cho Oyu merupakan gunung tertinggi ke-6 di dunia. Bersama Gunung Everest (8.848 mdpl) dan 12 gunung lainnya yang memiliki ketinggian di atas 8.000 mdpl, Gunung Cho Oyu termasuk ke dalam kelompok gunung yang memiliki julukan legendaris: "The fourteen of eight thousanders" atau 14 gunung yang memiliki ketinggian di atas 8.000 mdpl yang tersebar di wilayah Pegunungan Himalaya dan Karakoram.

Menurut Cimbinghimalaya, dalam bahasa lokal Tibet, Cho Oyu memiliki arti "Dewi Pirus (Turquoise Goddess) atau dikenal pula sebagai "kepala dewa", karenanya Cho Oyu merupakan salah satu gunung yang dianggap sakral oleh masyarakat setempat.  Di kalangan para pendaki profesional puncak gunung Cho Oyu dikenal indah seperti sebuah karya pahatan, selain itu Cho Oyu merupakan anggota dari kelompok gunung dengan ketinggian di atas 8.000 mdpl yang memiliki tingkat kesuksesan pendakian yang tinggi serta tingkat kematian atau fatality rate paling rendah di antara gunung-gunung lainnya dalam kelompok tersebut.

Ingin tahu lebih lanjut mengenai gunung yang dalam bahasa lokal Tibet disebut sebagai "Dewi Pirus" ini? Simak lima fakta menariknya berikut ini, yuk!

1. Dipuncaki pertama kali pada tahun 1954

Menurut laman Guinnessworldrecords, Gunung Cho Oyu berhasil dipuncaki untuk pertama kalinya pada tahun 1954 melalui jalur north-west ridge (punggungan gunung sisi barat laut) oleh dua pendaki asal Austria yang bernama Josef Jöchler dan Herbert Tichy yang didampingi oleh pemandu Sherpa mereka yang bernama Pasang Dawa Lama. Sejumlah informasi menuliskan sebenarnya upaya memuncaki Cho Oyu pertama kali dilakukan pada tahun 1952 oleh ekspedisi yang diorganisir dan dibiayai oleh Joint Himalayan Committee of Great Britain sebagai bagian dari ekspedisi untuk mencapai puncak Everest di tahun setelahnya.

Ekspedisi di tahun 1952 tersebut dipimpin oleh Eric Shipton dan anggota timnya termasuk Edmund Hilary, manusia pertama yang berhasil mencapai puncak Everest di tahun 1953. Upaya mereka memuncaki Cho Oyu di tahun 1952 tersebut gagal karena adanya permasalahan teknis dan bahaya longsoran salju di ketinggian 6.650 mdpl. Selain itu, pada saat itu sedang ada masalah di wilayah perbatasan dengan China sehingga menyebabkan tim tidak melanjutkan pendakian. Cho Oyu merupakan gunung "eight thousanders" ke-5 yang berhasil dipuncaki setelah Gunung Annapurna (1950), Everest (1953), Nanga Parbat (1953) dan K2 (Juli 1954).

2. Memiliki beberapa rute pendakian

potret sisi selatan Gunung Cho Oyu dilihat dari Desa Gokyo, sebuah desa di wilayah Nepal (commons.wikimedia.org/Uwe Gille)

Dilansir Discoveryworldtrekking, Gunung Cho Oyu memiliki tiga pilihan rute pendakian utama untuk mencapai puncaknya. Yang pertama adalah rute northwest (Tibet): rute ini adalah rute standar atau rute paling umum melalui north-west ridge (punggungan gunung sisi barat laut), rute inilah yang digunakan ketika dua orang pendaki asal Austria dan seorang Sherpa pertama kali mencapai puncaknya di tahun 1954. Rute north-west ridge merupakan rute yang paling aman.

Rute yang kedua adalah rute northeast (Tibet), rute ini adalah rute yang lebih pendek untuk mencapai puncak tetapi secara teknis lebih sulit karena medan pendakiannya. Di rute northeast ini para pendaki akan menemui berbagai medan pendakian campuran antara bebatuan, es dan salju. Para pendaki akan mulai mendaki dari sisi timur gunung dengan medan pendakian yang lebih curam. Rute yang ketiga adalah rute southwest face (Nepal) atau rute sisi barat daya gunung. Rute ini adalah rute yang sangat menantang dan rawan longsoran salju (avalanche) serta hanya diminati oleh para pendaki gunung elit yang menyukai tantangan. Rute southwest face menyediakan pemandangan spektakuler tetapi sangat beresiko.

3. Memiliki tingkat kesuksesan pendakian tinggi

panorama Gunung Cho Oyu dilihat dari wilayah Tingri, Tibet (commons.wikimedia.org/Robstar06)

Sedikit berbeda dengan cerita-cerita seram pendakian gunung-gunung dengan ketinggian di atas 8.000-an mdpl seperti Annapurna I, K2 atau pun Nanga Parbat, di kalangan para pendaki profesional Gunung Cho Oyu dikenal sebagai gunung yang cukup "bersahabat". Sebagai informasi ketinggian 8.000 mdpl merupakan ketinggian ekstrem dan bukan habitat manusia untuk bisa bertahan hidup tanpa alat bantu. Gunung Cho Oyu merupakan gunung "eight thousanders" yang memiliki tingkat kesuksesan pendakian yang tinggi, meskipun ancaman suhu rendah yang ekstrem dan longsoran salju selama pendakian tetap ada. Banyak pendaki mendaki Gunung Cho Oyu sebagai puncak latihan fisik dan aklimatisasi sebelum mencoba untuk mendaki ke Puncak Everest. Musim pendakian terbaik Cho Oyu ada di musim gugur antara bulan Agustus hingga Oktober.

Dengan tingkat kesuksesan pendakian yang tinggi, Gunung Cho Oyu juga dikenal sebagai gunung dalam kelompok 14 gunung dengan ketinggian di atas 8.000 mdpl yang memiliki tingkat kematian pendakian atau fatality rate yang paling rendah di antara gunung-gunung lainnya dalam kelompok tersebut. Menurut informasi yang diperoleh dari laman Statista, sejak pertama kali dipuncaki di tahun 1954 hingga tahun 2023 lalu peringkat fatality rate pendakian di Gunung Cho Oyu adalah yang terendah dengan angka sebesar 1,35 %. Fatality rate tertinggi ada di tiga buah gunung yaitu: Annapurna I (27,2%) , K2 (22,8 %), dan Nanga Parbat (20,75%). Gunung Everest sendiri sebagai puncak tertinggi di dunia menempati peringkat ke- 11dengan angka fatality rate sebesar: 3, 29%

4. Kaya akan budaya dan keanekaragaman hayati

salah satu medan pendakian Gunung Cho Oyu (commons.wikimedia.org)

Wilayah di sekitar kaki Gunung Cho Oyu kaya akan berbagai budaya dan keanekaragaman flora dan fauna. Menurut Luxury Holiday Nepal, dari sudut budaya, arti nama Cho Oyu yang memiliki arti Dewi Pirus (Turquoise Goddess) memperlihatkan bahwa gunung tersebut memiliki makna spiritual dan budaya yang mendalam bagi masyarakat lokal yang tinggal di sekitarnya, khususnya di Tibet dan Nepal. Cho Oyu terletak di jantung kawasan yang kaya akan berbagai warisan budaya ritual dan tradisi. Sejumlah festival budaya telah berlangsung selama berabad-abad untuk merayakan pentingnya gunung tersebut. Praktek kebudayaan tersebut melibatkan upacara doa dan persembahan untuk memohon kemakmuran, kesehatan yang baik dan juga perjalanan yang aman bagi para pendaki.

Kawasan sekitar Gunung Cho Oyu juga terkenal sebagai rumah bagi beragam flora dan fauna termasuk spesies langka endemik Himalaya. Menurut laman Antropocene, sampai pada ketinggian tertentu kita masih bisa menemukan hutan yang telah berusia ribuan tahun. Pohon yang paling umum adalah cemara himalaya (Abies spectabilis), lalu terdapat berbagai spesies bunga rhododendron yang terkenal. Untuk faunanya, kawasan ekologi di sekitar Cho Oyu adalah rumah bagi sekitar 89 spesies mamalia, seperti musang, kambing gunung himalaya (tahr), kijang himalaya (muntjak), serta panda merah yang terancam punah yang dapat ditemukan di ketinggian 3.000 hingga 4.000 mdpl. Selain itu terdapat 200 spesies burung yang teridentifikasi dan 6 spesies diantaranya merupakan burung endemik, seperti diantaranya burung puyuh dada coklat, dan burung Derby’s parakeet.

5. Memainkan peran dalam pengamatan perubahan iklim

wilayah camp I Gunung Cho Oyu dilihat dari atas punggungan bukit (commons.wikimedia.org/Dirk Groeger)

Salah satu permasalahan global saat ini adalah masalah perubahan iklim dan sama seperti banyak gunung lain di Himalaya, Gunung Cho Oyu ini pun tak luput dari dampak perubahan iklim tersebut dengan semakin cepatnya gletser yang mencair serta perubahan pola cuaca. Saat ini Cho Oyu memainkan peranan penting dalam pengamatan perubahan iklim global tersebut. Reuters melansir, untuk memantau perubahan iklim tersebut pada Oktober 2023 silam, China telah mendirikan stasiun cuaca di Gunung Cho Oyu pada ketinggian 4.000 mdpl hingga puncaknya 8.201 mdpl yang dilengkapi dengan alat pengukur meteorologi untuk memantau dampak perubahan iklim terhadap wilayah Himalaya yang juga menjadi sumber air bagi sungai yang menjadi andalan ratusan juta orang.

Sample es dan salju di puncak Gunung Cho Oyu telah berhasil dikumpulkan dan penelitian awal mendapati fakta bahwa lapisan es Gunung Cho Oyu adalah yang paling tebal di antara gunung-gunung dengan ketinggian 8.000 mdpl lainnya. Pemantauan dampak pemanasan global menjadi sangat mendesak setelah salah satu musim panas terpanas terjadi di belahan bumi utara tahun 2023 lalu. Puncak tertinggi Eropa Barat, Gunung Mont Blanc kehilangan ketinggian lebih dari 2 m selama dua tahun karena menyusutnya lapisan salju. 

Meskipun ada sejumlah pendaki yang hanya mengejar popularitas dalam melakukan pendakian puncak-puncak gunung tertinggi di dunia tersebut namun terdapat pula sejumlah pendaki profesional yang melakukan pendakian bukan hanya sekedar sebagai perjalanan fisik biasa melainkan sebuah perjalanan spiritual di tengah keagungan dan kemegahan alam Himalaya yang memberikan inspirasi untuk mencintai lingkungan .

Apakah kamu berani dan tertarik untuk menjelajahi keindahan Gunung Cho Oyu ini?

Baca Juga: Pesona Gunung Sindoro, Mitos dan Fakta, Cocok Untuk Pendaki Pemula

Verified Writer

Dodi Wijoseno

Penyuka sejarah dan olah raga

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya