Apakah Autisme Dapat Terjadi pada Hewan?
Ada sejumlah fakta menarik di balik pertanyaan ini
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Dalam dunia medis, autisme atau autism spectrum disorder (ASD) merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami kesulitan komunikasi serta perilaku yang berbeda dengan manusia pada umumnya, mengutip WHO. Pada manusia, kondisi tersebut disebabkan oleh gangguan perkembangan saraf manusia yang biasanya mulai timbul sejak masa anak-anak usia 2—3 tahun. Autisme sendiri bukanlah sebuah penyakit, hanya saja kinerja otak dari pengidapnya berbeda dari manusia pada umumnya.
Dilansir National Health Service, autisme dapat dialami manusia sejak lahir dan kondisi ini akan tetap terjadi sepanjang hidup. Akan tetapi, soal kapan seseorang terdeteksi mengidap autisme itu tergantung saat kapan ia memeriksanya. Meski banyak berita simpang siur soal penyebab autisme, sampai saat ini kita belum bisa tahu secara pasti soal penyebabnya. Yang jelas, autisme tak akan terjadi karena vaksinasi, pola makan, pola asuh anak yang buruk, atau bahkan ditularkan dari orang lain.
Pembahasan kali ini utamanya bukan tentang autisme pada manusia. Mengingat kondisi ini mempengaruhi saraf dan otak, lantas ada satu pertanyaan yang cukup menarik untuk dibahas. Apakah kondisi autisme juga bisa dialami oleh hewan yang juga memiliki saraf dan otak layaknya manusia? Untuk mengetahui jawabannya, yuk, simak ulasan lengkap di bawah ini!
1. Bagaimana cara mendeteksi autisme pada hewan?
Mendeteksi kondisi autisme pada manusia bisa dibilang cukup mudah dilakukan karena tanda-tandanya dapat diamati secara langsung. Sedangkan untuk mendeteksi autisme pada hewan, ada sejumlah tantangan yang harus dilewati hanya sekadar mengetahui keberadaannya. Misalnya saja, peneliti perlu mengetahui apa perilaku atau bentuk komunikasi yang umum dilakukan satu spesies hewan dan membandingkannya dengan individu yang diduga mengidap autisme, dilansir Adina ABA.
Pada manusia saja, kondisi autisme bisa muncul lewat berbagai tanda, yang dalam banyak kasus, berbeda-beda pada masing-masing individu. Hal ini semakin sulit lagi untuk mengetahui keberadaan kondisi autisme pada hewan-hewan yang jarang menunjukkan ekspresi, tak hidup secara berkelompok, ataupun hanya menggunakan sinyal-sinyal tertentu untuk berkomunikasi. Sejauh ini, belum ada cara untuk memeriksa keberadaan autisme secara biologis, sehingga pengamatan perilaku jadi satu-satunya langkah yang harus dilakukan untuk mengetahui keberadaan kondisi ini.
Lantas, apa saja yang akan dilakukan peneliti untuk melewati dinding tebal dalam penelusuran keberadaan autisme pada hewan? Ternyata jawabannya sama seperti mendeteksi autisme pada manusia, yakni lewat perilaku. Salah satunya seperti hasil penelitian Paul H. Patterson yang dirilis di National Center for Biotechnology Information yang berjudul, "Modeling Austistic Features in Animals".
Paul menyadari soal keterbatasan untuk meneliti keberadaan autisme pada hewan karena sejumlah tantangan sebagaimana yang disebutkan di atas. Maka dari itu, ia berfokus untuk meneliti hewan yang dapat mengakomodir tiga gejala inti yang timbul pada pengidap kondisi autisme pada manusia. Ketiganya adalah masalah interaksi sosial dengan sesamanya, masalah komunikasi, serta perilaku motorik yang repetitif atau berlebihan pada satu individu. Dalam penelitian Paul H. Patterson, tikus jadi hewan yang cocok untuk mewakili tiga gejala inti dari autisme tersebut.
Tentunya, penelitian lain dengan topik serupa dilaksanakan dengan cara yang sama seperti Paul H. Patterson. Tujuannya juga cukup beragam. Dengan memahami potensi keberadaan autisme pada hewan, kita bisa memperdalam hingga mengembangkan ilmu neurologi, psikologi, atau bahkan cara pandang kita terhadap hewan secara umumnya.
Baca Juga: 5 Hewan Paling Malas di Dunia, Ada Panda hingga Koala
IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.