Berjibaku di Keramaian Tanah Abang Jelang Lebaran Bersama Ayah

#CeritaRamadan

Jakarta, IDN Times - Ini menjadi salah satu cerita Ramadan berkesan dalam hidup saya. Sebagai seorang anak pedagang, saya dilatih memahami seluk-beluk bagaimana orangtua saya menjalankan usahanya.

Sudah menjadi rutinitas bagi saya, ketika libur sekolah menjelang Lebaran ikut ayah berbelanja di Pusat Grosir Tanah Abang.

Perjalanan kami menuju Pusat Grosir Tanah Abang dimulai, ditemani teriknya sinar matahari yang panasnya tak kenal ampun. Ditambah, keringnya mulut dan perut yang kosong karena puasa semakin menambah ujian.

Saat itu, saya masih duduk di bangku SMP, mengikuti langkah cepat ayah di tengah kerumunan orang yang padat di pusat perbelanjaan terbesar di Asia Tenggara itu. Terkadang, saya hampir kehilangan jejaknya karena kerumunan orang begitu ramai.

Di tengah-tengah deretan toko grosir, ada saja godaan melepas dahaga saat melihat seorang pegawai menikmati es teh manis di tengah siang bolong. Namun, ayah tak menghentikan langkahnya, menuntun saya melewati lorong-lorong toko yang bercabang.

Ramadan memang menjadi berkah tersendiri bagi kami. Sebab, semakin banyak orang yang berbondong-bondong ke pasar untuk membeli berbagai perlengkapan, termasuk pakaian baru. Alhasil, ayah menyetok banyak barang dari Tanah Abang untuk dijual kembali di pasar.

Sedikitnya, kami mendatangi beberapa grosir langganan ayah untuk mengumpulkan semua barang yang dibutuhkan, mulai dari pakaian dan produk tekstil lainnya. Saya membantu ayah memikul karung paling kecil yang tetap saja terasa berat buat tubuh saya. Kami pun segera bergegas ke parkiran motor.

Perjalanan pulang dilanjutkan ke pasar tradisional di Jakarta Timur, tempat di mana ayah dan ibu berjualan. Saya duduk di belakang motor, memangku karung kecil yang berisi beberapa lusin pakaian, di bawah teriknya matahari.

Sampai di pasar, tugas saya belum berakhir. Saya diminta membantu ibu melayani pelanggan di toko, hitung-hitung latihan berjualan. Sementara ayah sibuk menyusun barang dagangan yang baru saja dibeli di Tanah Abang.

Saat senja menjelang, kami menutup warung dan pulang ke rumah, berboncengan menggunakan motor bebek kesayangan ayah. Setibanya di rumah, ibu segera menyiapkan hidangan berbuka puasa.

Saya duduk bersama ayah dan ketiga kakak saya di meja makan, menikmati momen kebersamaan. Suara azan magrib dari televisi mengakhiri hari yang panjang, menandakan selesainya waktu berpuasa.

Baca Juga: Cerita Ramadan: Jadi Korban Perang Sarung

Baca Juga: Cerita Ramadan: Gara-gara Usil ke Anjing Puasa pun Batal

Baca Juga: Cerita Ramadan: Paling Semangat Bukber, padahal Gak Puasa

Topik:

  • Dheri Agriesta

Berita Terkini Lainnya