Kritik Sosial dalam "Fight Club": Apa yang Ingin Disampaikan Film ini?

Pesan apa yang ingin disampaikan dari film perkelahian ini?

Intinya Sih...

  • "Fight Club" adalah refleksi mendalam tentang kapitalisme, konsumerisme, krisis eksistensial, dan maskulinitas dalam masyarakat modern.
  • Film ini mengkritik budaya konsumerisme yang menilai identitas dari barang-barang material, serta mengeksplorasi krisis eksistensial manusia dalam mencari makna hidupnya sendiri.
  • Fincher juga menyoroti ironi terapi modern dan bagaimana kekerasan digunakan sebagai alat untuk mengembalikan maskulinitas yang hilang di era kapitalisme dan konsumerisme.

Film "Fight Club" (1999) karya David Fincher, yang diadaptasi dari novel Chuck Palahniuk, adalah sebuah refleksi mendalam tentang masyarakat modern. Melalui narasi yang penuh kritik tajam, Fincher mengeksplorasi isu-isu kapitalisme, konsumerisme, krisis eksistensial, dan maskulinitas. Berikut adalah penjabaran tentang bagaimana Fincher mengangkat tema-tema tersebut secara provokatif dan filosofis dalam film ikonik ini.

Kritik terhadap kapitalisme dan konsumerisme

Kritik Sosial dalam Fight Club: Apa yang Ingin Disampaikan Film ini?Fight Club 1995 (dok. 20th Century Fox/Fight Club)

"Fight Club" menggambarkan dunia yang dikendalikan oleh kapitalisme, di mana identitas seseorang sering kali dibentuk oleh barang-barang yang mereka miliki. Karakter utama yang diperankan oleh Edward Norton terjebak dalam rutinitas pekerjaan yang tidak bermakna dan ketergantungan pada barang-barang mewah seperti katalog IKEA. Obsesi ini merefleksikan masyarakat yang terlalu fokus pada konsumsi dan materi, bukan pada nilai-nilai atau hubungan yang mendalam.

Tyler Durden (diperankan oleh Brad Pitt), alter ego sang narator, memberikan kritik keras terhadap pola pikir ini. Ia menyatakan, "Kau bukan pekerjaanmu. Kau bukan berapa banyak uang yang kau miliki. Kau bukan mobil yang kau kendarai. Kau bukan isi dompetmu." Ucapannya ini merupakan penolakan terhadap budaya konsumerisme, di mana barang-barang material dijadikan tolok ukur kebahagiaan dan identitas.

Menurut Roger Ebert, Fight Club adalah “serangan penuh semangat terhadap konsumerisme”. Film ini menyindir generasi pria yang terjebak dalam pekerjaan tanpa makna, kehilangan rasa maskulinitas tradisional, dan mendambakan sesuatu yang lebih dari kehidupan modern yang terjebak dalam lingkaran kapitalisme.     

Eksistensialisme dan pencarian makna

Kritik Sosial dalam Fight Club: Apa yang Ingin Disampaikan Film ini?Fight Club (dok. 20th Century Fox/Fight Club)

Krisis eksistensial menjadi tema sentral dalam "Fight Club". Narator mengalami kehampaan dalam hidupnya yang serba mapan namun tanpa tujuan. Ini mencerminkan pemikiran eksistensialisme, di mana manusia sering merasa hidup mereka tidak memiliki makna, meskipun secara materi mereka dianggap sukses.

Mengacu pada filosofi Jean-Paul Sartre, manusia harus menciptakan makna hidupnya sendiri melalui tindakan. Dalam film ini, Fight Club dan Project Mayhem menjadi cara bagi karakter utama untuk keluar dari kehampaan hidupnya. Namun, perjalanan ini bukan sekadar mencari makna, tetapi juga berakhir dengan mempertanyakan identitas dirinya dan realitas yang dihadapi.

Dalam pandangan Dr. Lynn M. Ta, film ini menggambarkan krisis maskulinitas sebagai produk dari kapitalisme yang menghancurkan peran tradisional pria, membuat mereka merasa terputus dari identitas mereka sendiri.

Baca Juga: 5 Cara Pertahankan Pemikiran Kritis di Tengah Opini Populer

Kritik terhadap masyarakat terapeutik

Kritik Sosial dalam Fight Club: Apa yang Ingin Disampaikan Film ini?Momen ketika Fincher sedang menyutradarai film Fight Club. (x.com/metrograph)

Fincher juga menyoroti ironi budaya terapi modern, di mana orang mencari pelarian emosional melalui grup dukungan untuk penyakit yang tidak mereka derita. Karakter utama bergabung dengan berbagai kelompok terapi untuk mendapatkan rasa simpati dan koneksi, mencerminkan bagaimana masyarakat mencoba menyelesaikan masalah emosional tanpa menghadapi masalah mendasar.

Slavoj Žižek dalam bukunya The Ticklish Subject melihat hal ini sebagai kritik terhadap masyarakat yang menawarkan solusi terapi palsu, tanpa menyelesaikan masalah struktural yang lebih dalam.

Maskulinitas dan kekerasan

Kritik Sosial dalam Fight Club: Apa yang Ingin Disampaikan Film ini?Fight Club 1995 (dok. 20th Century Fox/Fight Club)

Film ini mengeksplorasi bagaimana kekerasan digunakan sebagai alat untuk mengembalikan maskulinitas yang hilang. Fight Club sendiri berfungsi sebagai tempat bagi para pria untuk melepaskan frustrasi mereka dan merasa kuat di dunia yang tampaknya tidak lagi menghargai peran tradisional mereka. Tyler Durden menawarkan ide bahwa kekerasan dan anarki adalah jalan keluar dari kehidupan yang terjebak dalam kapitalisme dan konsumerisme.

Menurut Todd McGowan, film ini menunjukkan bagaimana kekerasan dapat menjadi cara bagi pria untuk menemukan kembali identitas mereka di masyarakat yang telah berubah dan tidak lagi menghargai nilai-nilai tradisional.

Selain itu, Fincher juga mengkritik bagaimana media dan budaya populer mempengaruhi cara masyarakat berpikir dan bertindak. Media, dalam pandangan film ini, menciptakan ilusi kehidupan yang sempurna dan menjebak individu dalam siklus konsumsi tanpa akhir. Sebagai simbol pemberontakan, Tyler Durden menghancurkan toko Starbucks, mencerminkan frustrasi terhadap dominasi merek dan kapitalisme global yang merajalela.

Pada akhirnya, "Fight Club" adalah lebih dari sekadar film tentang perkelahian atau pemberontakan terhadap tatanan sosial. Melalui narasi yang menggugah, David Fincher menyajikan kritik mendalam terhadap kapitalisme, konsumerisme, krisis eksistensial, serta maskulinitas di era modern. Fincher tidak hanya menggambarkan karakter-karakter yang terjebak dalam rutinitas hidup, tetapi juga mengajak penonton untuk merenungkan kembali makna hidup, hubungan dengan materi, dan identitas diri dalam dunia yang kian terus berubah.

Dengan visual yang mengguncang dan dialog yang provokatif, Fight Club sukses menjadi salah satu film paling berpengaruh yang mengangkat isu-isu sosial dan filosofis. Fincher berhasil memadukan narasi yang kompleks dengan visual yang mencolok, menjadikannya pengalaman sinematik yang tak terlupakan dan penuh dengan pesan-pesan filosofis yang mendalam.

Baca Juga: Penjelasan Ending Film Speak No Evil, Beda dari Versi Originalnya!

Shidiq Wahyudin Photo Writer Shidiq Wahyudin

Power of words.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Siantita Novaya

Berita Terkini Lainnya