[OPINI] Guru Besar Abal-Abal Hanya Akan Hasilkan Sarjana Imitasi

Universitas Tanpa Integritas, Sarjana Tanpa Kualitas

Intinya Sih...

  • Universitas dengan dosen tidak berkualitas merugikan reputasi institusi
  • Kerjasama internasional terhambat akibat ketidakpercayaan pada kredibilitas institusi
  • Guru besar yang tidak kompeten menghasilkan lulusan tidak siap kerja dan devaluasi gelar

Dalam dunia pendidikan tinggi, kualitas institusi tidak hanya ditentukan oleh fasilitas fisik atau jumlah mahasiswa yang diterima, tetapi juga oleh kualitas tenaga pengajarnya. Guru besar atau dosen dengan kualifikasi dan reputasi yang baik adalah tulang punggung dari sebuah universitas yang berkualitas. Namun, bagaimana jika seorang guru besar yang seharusnya menjadi mercusuar pengetahuan justru adalah individu dengan kualifikasi yang dipertanyakan? Fenomena ini sangat mungkin terjadi dan dampaknya bisa sangat merugikan, menghasilkan sarjana-sarjana yang tidak kompeten atau bahkan "imitasi."

Guru besar abal-abal, yang mungkin mendapatkan gelar melalui cara-cara tidak etis seperti plagiarisme atau pembelian gelar, secara langsung merusak kredibilitas institusi tersebut. Menurut sebuah studi oleh Times Higher Education, institusi yang ketahuan memiliki staf pengajar dengan kredensial yang dipertanyakan mengalami penurunan drastis dalam reputasi dan kepercayaan publik. Universitas dengan reputasi yang buruk akan sulit menarik minat mahasiswa berkualitas, dan bahkan jika mereka berhasil menarik minat, mereka mungkin hanya mendapatkan mahasiswa yang tidak terlalu peduli dengan kualitas pendidikan yang mereka terima (Times Higher Education, 2022).

Selain itu, universitas yang memiliki staf pengajar dengan kualifikasi yang meragukan juga akan mengalami penurunan dalam kerjasama dengan institusi akademis dan industri lainnya. Kolaborasi internasional dan penelitian bersama, yang sangat penting untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan terhambat. Hal ini disebabkan oleh ketidakpercayaan pihak luar terhadap kredibilitas institusi yang mempekerjakan guru besar abal-abal.

Kualitas pendidikan di universitas sangat tergantung pada kemampuan dosen dalam menyampaikan materi dan membimbing mahasiswa. Guru besar yang tidak kompeten tidak akan mampu memberikan pemahaman yang mendalam tentang materi yang diajarkan. Penelitian oleh Journal of Educational Psychology menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara kompetensi dosen dengan hasil belajar mahasiswa. Mahasiswa yang dibimbing oleh dosen yang tidak memiliki kualifikasi memadai akan kekurangan pengetahuan yang seharusnya mereka dapatkan, sehingga kemampuan mereka saat lulus nanti tidak akan optimal (Journal of Educational Psychology, 2020).

Selain itu, mutu pendidikan yang rendah juga akan berdampak pada kurikulum yang tidak berkembang. Guru besar yang tidak kompeten cenderung tidak mengikuti perkembangan terbaru dalam bidangnya, sehingga materi yang diajarkan menjadi usang dan tidak relevan dengan kebutuhan industri saat ini. Hal ini akan membuat lulusan tidak siap menghadapi tantangan dunia kerja yang semakin dinamis dan kompetitif.

Sarjana yang lulus dari universitas dengan dosen abal-abal akan kesulitan bersaing di pasar kerja. Mereka mungkin memiliki ijazah, tetapi tanpa pengetahuan dan keterampilan yang memadai, mereka tidak akan mampu memenuhi tuntutan pekerjaan yang sebenarnya. Menurut World Economic Forum, kualitas pendidikan yang rendah secara langsung berdampak pada employability atau kemampuan lulusan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Hal ini tidak hanya merugikan mahasiswa itu sendiri, tetapi juga mencoreng nama baik universitas mereka di mata para pemberi kerja (World Economic Forum, 2023).

Lebih jauh lagi, lulusan yang tidak kompeten akan menghadapi kesulitan dalam karier mereka di masa depan. Mereka mungkin akan menghadapi kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan, mendapatkan promosi, atau bahkan berpindah ke industri lain. Dampak ini bukan hanya merugikan individu, tetapi juga mengurangi produktivitas dan inovasi dalam ekonomi secara keseluruhan.

Apabila praktek ini terjadi secara luas, gelar akademik dari institusi tersebut akan mengalami devaluasi. Gelar yang seharusnya menjadi simbol keahlian dan pengetahuan akan kehilangan maknanya. Sebuah laporan oleh International Journal of Educational Development menyatakan bahwa devaluasi gelar dapat mengakibatkan penurunan keseluruhan kepercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan tinggi. Masyarakat akan mulai meragukan kemampuan lulusan dari universitas tersebut, dan secara keseluruhan, kepercayaan terhadap sistem pendidikan tinggi akan menurun (International Journal of Educational Development, 2019).

Devaluasi gelar juga berdampak pada pengakuan internasional terhadap lulusan. Universitas yang dikenal mempekerjakan guru besar abal-abal akan kesulitan mendapatkan akreditasi internasional, yang berdampak pada mobilitas akademik dan profesional lulusannya. Lulusan dari universitas tersebut mungkin akan menghadapi kesulitan dalam melanjutkan studi atau bekerja di luar negeri.

Keberadaan guru besar abal-abal juga mencerminkan masalah etika dan moral dalam dunia akademis. Seorang pendidik seharusnya menjadi teladan dalam hal integritas dan dedikasi terhadap ilmu pengetahuan. Jika mereka sendiri tidak berpegang pada standar etika yang tinggi, bagaimana mereka bisa mengajarkan nilai-nilai tersebut kepada mahasiswa? Sebuah artikel di Ethics in Education and Research menekankan bahwa pelanggaran etika oleh pendidik dapat mengakibatkan dampak jangka panjang yang merusak pada budaya akademis dan integritas institusi (Ethics in Education and Research, 2021).

Selain itu, praktik tidak etis ini akan menciptakan budaya akademis yang korup dan tidak transparan. Mahasiswa yang melihat dosen mereka tidak mematuhi standar etika akan cenderung meniru perilaku tersebut, yang pada akhirnya akan menciptakan siklus ketidakjujuran dan penurunan moralitas dalam dunia akademik.

Universitas yang mengandalkan guru besar abal-abal hanya akan menghasilkan sarjana yang tidak kompeten dan tidak siap menghadapi tantangan dunia kerja. Hal ini merugikan semua pihak: mahasiswa, institusi, dan masyarakat luas. Oleh karena itu, sangat penting bagi setiap universitas untuk memastikan bahwa mereka memiliki tenaga pengajar yang benar-benar berkualitas dan berintegritas. Hanya dengan demikian, mereka dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas dan siap berkontribusi positif dalam masyarakat.

Universitas harus menegakkan standar yang ketat dalam rekrutmen dan penilaian kualifikasi dosen. Proses rekrutmen yang transparan dan akuntabel, serta penilaian kinerja yang berkelanjutan, dapat membantu memastikan bahwa hanya dosen yang benar-benar kompeten dan berintegritas yang dipekerjakan. Selain itu, peningkatan pelatihan dan pengembangan profesional bagi dosen juga penting untuk memastikan bahwa mereka selalu mengikuti perkembangan terbaru dalam bidangnya.

 

Referensi:

Times Higher Education. (2022). Impact of fraudulent academic credentials on institutional reputation.
Journal of Educational Psychology. (2020). The relationship between teacher competence and student achievement. World Economic Forum. (2023). The Future of Jobs Report 2023.
International Journal of Educational Development. (2019). The devaluation of academic degrees and its impact on higher education.
Ethics in Education and Research. (2021). Ethical dilemmas and integrity in academic settings.

Baca Juga: [OPINI] Pentingnya Pendidikan Bagi Perempuan: Dorong Kesetaraan

Nahlu Hasbi Heriyanto Photo Writer Nahlu Hasbi Heriyanto

English Education graduate with a focus on critical literacy and socio-cultural analysis. Committed to producing insightful essays that thoughtfully engage with complex ideas.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Siantita Novaya

Berita Terkini Lainnya