[OPINI] Dekonstruksi Pandangan Wajar terhadap Pernikahan Dini

Budaya dan ekonomi, akar kuat pernikahan dini di Indonesia

Intinya Sih...

  • Pernikahan dini adalah bagian dari budaya Indonesia, terutama di pedesaan, meskipun pemerintah dan organisasi masyarakat mengampanyekan penundaan pernikahan karena risiko kesehatan dan pendidikan.
  • Pandangan budaya dan sosial yang mengakar kuat di masyarakat menyebabkan sulitnya menghilangkan praktik pernikahan dini, dengan alasan melindungi kehormatan keluarga dan kurangnya akses pendidikan.
  • Faktor ekonomi juga menjadi alasan kuat di balik praktik pernikahan dini, karena dalam kondisi kemiskinan, pernikahan anak perempuan dianggap solusi untuk mengurangi beban ekonomi keluarga.

Pernikahan dini telah lama menjadi bagian dari banyak budaya di Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Meskipun pemerintah dan banyak organisasi masyarakat terus mengampanyekan penundaan usia pernikahan demi alasan kesehatan dan pendidikan, pandangan bahwa pernikahan dini adalah sesuatu yang wajar dan diterima masih mengakar kuat di berbagai kalangan. Fenomena ini menjadi tantangan tersendiri dalam upaya meningkatkan kesejahteraan anak dan remaja, yang seringkali menjadi korban dari praktik ini. Pernikahan dini merupakan masalah global yang mempengaruhi sekitar 12 juta anak perempuan setiap tahunnya, terutama di negara-negara berkembang. Di Indonesia, UNICEF melaporkan bahwa sekitar 1 dari 9 perempuan menikah sebelum usia 18 tahun (UNICEF Indonesia, 2020). Pernikahan dini memiliki dampak serius pada kesehatan perempuan, termasuk tingginya risiko komplikasi kehamilan dan melahirkan, yang merupakan penyebab utama kematian bagi perempuan usia 15-19 tahun di negara berkembang (WHO, 2020).

Salah satu alasan utama mengapa pernikahan dini sulit untuk dihilangkan adalah pandangan budaya dan sosial yang mengakar kuat di masyarakat. Di banyak komunitas, pernikahan dini dianggap sebagai cara untuk melindungi kehormatan keluarga. Perempuan yang menikah muda sering dianggap lebih terjaga dari pergaulan bebas yang dianggap dapat mencoreng nama baik keluarga. Pandangan ini didukung oleh norma-norma sosial yang telah turun-temurun, di mana seorang perempuan diharapkan menikah dan mengurus rumah tangga sejak usia muda. "Di banyak masyarakat, pernikahan dini dianggap sebagai cara untuk menjaga martabat keluarga dan mencegah apa yang dianggap sebagai perilaku tak bermoral. Pandangan ini sering kali didorong oleh norma-norma patriarki yang mengutamakan kontrol terhadap tubuh dan perilaku perempuan" (Plan International, 2019). Berdasarkan survei yang dilakukan oleh BPS (2018), 50% dari responden di beberapa daerah di Indonesia percaya bahwa pernikahan dini adalah praktik yang wajar dalam menjaga kehormatan keluarga.

Keterbatasan akses pendidikan juga memainkan peran penting dalam mempertahankan praktik pernikahan dini. Di banyak daerah terpencil, anak-anak, terutama perempuan, tidak mendapatkan pendidikan yang memadai. Ketika pendidikan tidak dianggap penting, pernikahan dini menjadi jalan yang dipilih untuk ‘mengamankan’ masa depan. Selain itu, kurangnya akses informasi mengenai dampak negatif pernikahan dini, seperti risiko kesehatan reproduksi dan hilangnya kesempatan pendidikan, membuat masyarakat tidak sepenuhnya menyadari bahaya yang mengintai. Sebuah studi oleh UNICEF (2016) menemukan bahwa di Indonesia, tingkat pendidikan yang rendah secara signifikan meningkatkan kemungkinan seorang anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun. Anak perempuan yang tidak menyelesaikan sekolah menengah pertama 3 kali lebih mungkin menikah muda dibandingkan dengan mereka yang menyelesaikan pendidikan menengah atas. "Kurangnya akses pendidikan membuat anak-anak perempuan lebih rentan terhadap pernikahan dini, yang pada akhirnya memperburuk siklus kemiskinan dan ketidaksetaraan gender" (Save the Children, 2017).

Faktor ekonomi juga menjadi alasan kuat di balik praktik pernikahan dini. Keluarga yang hidup dalam kemiskinan seringkali melihat pernikahan anak perempuan mereka sebagai solusi untuk mengurangi beban ekonomi. Dengan menikahkannya, tanggung jawab ekonomi terhadap anak tersebut secara otomatis berpindah ke suami dan keluarganya. Ini menciptakan siklus kemiskinan yang berulang, di mana anak-anak yang menikah muda cenderung putus sekolah dan akhirnya kesulitan dalam memperbaiki kondisi ekonomi mereka sendiri di masa depan. Menurut penelitian yang diterbitkan oleh Bank Dunia (2017), pernikahan dini di Indonesia berkontribusi signifikan terhadap rendahnya tingkat pendidikan perempuan dan tingginya tingkat kemiskinan di kalangan perempuan. "Pernikahan dini tidak hanya mempengaruhi kesehatan fisik dan mental anak perempuan tetapi juga mempengaruhi perekonomian, karena perempuan yang menikah dini memiliki potensi penghasilan yang lebih rendah dan cenderung terjebak dalam siklus kemiskinan" (World Bank, 2017).

Di beberapa kasus, pemahaman agama yang sempit juga menjadi pendorong pernikahan dini. Beberapa komunitas menginterpretasikan ajaran agama sebagai pembenaran untuk menikahkan anak di usia yang sangat muda. Padahal, jika ditelaah lebih dalam, banyak ajaran agama yang menekankan pentingnya kesiapan fisik, mental, dan emosional sebelum menikah. Namun, pandangan yang sempit ini sulit diluruskan karena telah menjadi bagian dari tradisi yang dianggap sakral dan tak bisa diganggu gugat. Kajian dari Kementerian Agama Indonesia (2019) menunjukkan bahwa banyak ajaran agama yang sebenarnya tidak menganjurkan pernikahan dini tanpa kesiapan yang matang, baik dari segi fisik maupun mental. Namun, pemahaman ini sering kali disalahartikan oleh komunitas tertentu. "Agama sering kali disalahgunakan untuk membenarkan praktik pernikahan dini, padahal sebenarnya agama mengajarkan pentingnya kesiapan mental dan fisik sebelum melangsungkan pernikahan" (MUI, 2018).

Pernikahan dini adalah masalah kompleks yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan satu pendekatan. Pandangan bahwa pernikahan dini adalah hal yang wajar masih kuat karena berbagai faktor sosial, budaya, ekonomi, dan agama. Oleh karena itu, perubahan pandangan masyarakat harus dilakukan secara bertahap dan menyeluruh, dengan melibatkan berbagai pihak, dari pemerintah hingga komunitas lokal. Berbagai studi menunjukkan bahwa upaya pencegahan pernikahan dini harus melibatkan intervensi multi-sektoral, termasuk peningkatan akses pendidikan, pemberdayaan ekonomi, dan kampanye perubahan norma sosial (UNICEF, 2020). Dengan demikian, kita dapat memberikan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak kita, di mana mereka bisa menikmati masa muda mereka tanpa tekanan untuk menikah sebelum waktunya.

 

Referensi:

UNICEF Indonesia. (2020). Child Marriage in Indonesia: Progress and Challenges.
World Health Organization (WHO). (2020). Child Marriages: 39,000 Every Day.
Plan International. (2019). Girls Not Brides: Ending Child Marriage in Indonesia.
Save the Children. (2017). Global Girlhood Report.
World Bank. (2017). Economic Impacts of Child Marriage

Baca Juga: [OPINI] Pentingnya Pendidikan Bagi Perempuan: Dorong Kesetaraan

Nahlu Hasbi Heriyanto Photo Writer Nahlu Hasbi Heriyanto

English Education graduate with a focus on critical literacy and socio-cultural analysis. Committed to producing insightful essays that thoughtfully engage with complex ideas.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Siantita Novaya

Berita Terkini Lainnya