TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

[OPINI] Pendidikan Inklusif untuk Pemerataan Pelayanan Pendidikan

Menciptakan pendidikan yang bebas diskriminasi

Kursi roda untuk difabel (unsplash.com/@hngstrm)

Intinya Sih...

  • Kamendikbudristek gencar sosialisasi Pendidikan Inklusif untuk semua peserta didik dengan kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial
  • Realitas di satuan pendidikan masih jauh dari harapan, ada sekolah yang enggan menerima siswa disabilitas
  • Pemangku kepentingan perlu memberikan sosialisasi, pelatihan guru pendamping khusus, dukungan sarana dan prasarana penunjang, serta membangun iklim inklusivitas di satuan pendidikan

Kamendikbudristek saat ini sangat gencar mensosialisasikan tentang pendidikan inklusif yang bertujuan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya dan bebas dari diskriminasi.

Namun realitanya di satuan pendidikan hal ini masih jauh dari harapan. Saat ini masih ada sekolah yang enggan menerima siswa disabilitas dengan berbagai alasan salah satunya karena dianggap “ribet” dan tidak ada guru yang bisa mendampingi anak berkebutuhan khusus. Padahal dalam Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-kanak, Sekolah dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan yang mana pada pasal 13 menyebutkan dalam penerimaan PPDB sekolah harus menyediakan kuota jalur Afirmasi sebesar 15 persen dan yang dapat diterima dalam PPDB jalur adalah siswa yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu dan penyandang disabilitas.

Situasi ini tentu sangat disayangkan dan menunjukkan bahwa diskriminasi dalam dunia Pendidikan masih ada. Lalu apa yang bisa kita lakukan agar anak-anak yang berkebutuhan khusus juga bisa mendapatkan pendidikan yang layak di sekolah umum?

Pertama kita harus melihat dari sudut sosial budaya. Selama ini masih awam anggapan bahwa anak yang memiliki kebutuhan khusus seharusnya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB). Padahal anak yang berkebutuhan khusus tertentu masih layak untuk bersekolah negeri. Untuk itu, pemangku kepentingan khususnya Dinas Pendidikan setempat lebih gencar memberikan sosialisasi ke satuan Pendidikan agar pola pikir yang menganggap bahwa anak berkebutuhan khusus hanya bisa bersekolah di SLB itu biasa berubah.

Kedua melihat dari kesiapan sekolah, khususnya adanya Guru Pendamping Khusus (GPK) yang akan mendapingi anak-anak berkebutuhan khusus. Saat ini, Kemendikbudristek telah menyediakan Diklat Mandiri Pelatihan Berjenjang Pendidikan Inklusif di PMM. Tugas kita saat ini adalah mengarahkan para guru di satuan pendidikan untuk mengikuti diklat tersebut.

Ketiga, kelengkapan sarana dan prasarana penunjang untuk anak berkebutuhan khusus, misalnya kursi roda, atau alat bantu dengar. Hal ini tentu perlu dukungan pembiayaan dari pemerintah setempat.

Keempat adalah iklim inklusivitas harus dibangun di satuan pendidikan. Warga sekolah harus memberikan dukungan kepada siswa penyandang disabilitas sehingga tidak terjadi perundungan maupun diskriminasi.

Dengan kita melihat keempat permasalahan tersebut dan dukungan semua pemangku kepentingan, pemerataan pelayanan pendidikan untuk semua anak berkebutuhan khusus di Indonesia dapat dilakukan bebas dari diskriminasi.

Baca Juga: [OPINI] SD N 26 Krui: Perjuangan Pendidikan di Daerah Terpencil

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya