TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

[OPINI] Overselebrasi Mahasiswa Pasca Sidang Skripsi: Cermin Narsistik

Overselebrasi mahasiswa: narsisme atau kebanggaan semu?

Ilustrasi mahasiswa lulus kuliah (pexels.com/olia danilevich)

Intinya Sih...

  • Fenomena overselebrasi mahasiswa pasca sidang skripsi kini menjadi pemandangan umum di berbagai kampus.
  • Media sosial menjadi platform utama untuk mengekspresikan diri dan mencari pengakuan, membagikan momen sidang skripsi kepada dunia.
  • Selebrasi yang dilakukan sebelum pencapaian resmi bisa membuat makna selebrasi menjadi kabur, serta menciptakan tekanan psikologis dan kesenjangan sosial di antara sesama mahasiswa.

Fenomena overselebrasi mahasiswa pasca sidang skripsi kini menjadi pemandangan umum di berbagai kampus. Meski belum yudisium atau wisuda, banyak mahasiswa yang sudah memakai selempang, memegang buket bunga, dan berfoto dengan bingkisan, kemudian mempostingnya di media sosial. Mereka tampak haus akan validasi dan pengakuan dari orang lain. Apakah fenomena ini mencerminkan semangat kebanggaan atau justru menunjukkan sisi narsistik dalam diri generasi muda?

Di era digital, media sosial telah menjadi platform utama untuk mengekspresikan diri dan mencari pengakuan. Mahasiswa yang baru saja selesai sidang skripsi sering kali merasa perlu untuk membagikan momen tersebut kepada dunia. Posting foto dengan selempang dan buket bunga di media sosial, meskipun belum resmi menjadi sarjana, seolah menjadi cara untuk menunjukkan pencapaian dan mendapatkan validasi.

Namun, kebutuhan akan validasi ini bisa berujung pada narsisme. Narsisme adalah kecenderungan untuk mencari perhatian dan kekaguman, serta menganggap diri sendiri sebagai pusat perhatian. Mahasiswa yang secara berlebihan merayakan pencapaian yang belum sepenuhnya diraih bisa dianggap sebagai cerminan dari sifat narsistik ini.

Selebrasi adalah cara untuk merayakan pencapaian dan usaha keras. Namun, ketika selebrasi dilakukan secara berlebihan sebelum pencapaian resmi, makna dari selebrasi itu sendiri bisa menjadi kabur. Sidang skripsi adalah tahap penting, tetapi bukan akhir dari perjalanan akademis. Yudisium dan wisuda adalah momen resmi yang menandai kelulusan dan pengakuan sebagai sarjana.

Dengan melakukan selebrasi besar-besaran sebelum wisuda, esensi dari perayaan tersebut bisa hilang. Bukannya merayakan akhir dari perjalanan panjang, selebrasi ini bisa lebih tampak sebagai ajang pamer yang berfokus pada pencapaian individu, bukan pada proses dan usaha yang telah dilakukan.

Overselebrasi ini juga bisa membawa dampak psikologis dan sosial yang negatif. Rasa bangga yang berlebihan dan kebutuhan akan pengakuan bisa menciptakan tekanan untuk selalu tampil sempurna di mata orang lain. Mahasiswa bisa merasa tertekan untuk menunjukkan pencapaian dan kebahagiaan, meskipun belum sepenuhnya merasa puas atau berhasil.

Secara sosial, fenomena ini bisa menciptakan kesenjangan antara mereka yang mampu merayakan dengan meriah dan mereka yang mungkin tidak memiliki sumber daya untuk melakukan hal yang sama. Ini bisa menyebabkan perasaan rendah diri dan iri hati di antara sesama mahasiswa.

Penting untuk mengingatkan diri sendiri bahwa proses akademis adalah perjalanan panjang yang tidak hanya tentang pencapaian akhir, tetapi juga tentang usaha, kerja keras, dan pembelajaran yang terus menerus. Merayakan setiap langkah kecil adalah hal yang wajar, tetapi penting untuk melakukannya dengan kesadaran penuh akan konteks dan realitas.

Menghargai proses berarti memahami bahwa yudisium dan wisuda adalah momen resmi yang memberikan pengakuan penuh atas kerja keras kita. Selebrasi yang dilakukan setelah momen-momen ini akan terasa lebih berarti dan memberikan kebanggaan yang lebih tulus.

Fenomena overselebrasi mahasiswa pasca sidang skripsi memang mencerminkan sisi narsistik yang haus akan validasi. Namun, hal ini juga merupakan cermin dari kebutuhan akan pengakuan dalam dunia yang semakin terhubung secara digital. Sebagai mahasiswa, penting untuk tetap menghargai proses dan memahami makna dari setiap pencapaian. Merayakan dengan bijak dan sesuai konteks akan memberikan kebahagiaan yang lebih tulus dan bermakna, tanpa harus jatuh ke dalam perangkap narsisme yang hanya mencari validasi sementara.

Baca Juga: [OPINI] KIP Kuliah untuk iPhone, iPad, dan Gaya Hidup Mewah

Writer

Nahlu Hasbi Heriyanto

English Education graduate with a focus on critical literacy and socio-cultural analysis. Committed to producing insightful essays that thoughtfully engage with complex ideas.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya