TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Hilirisasi SDA sebagai Solusi Perubahan Iklim, Sepenting Apa?

Diperlukan pengawasan serta kerja sama semua pihak

ilustrasi perubahan iklim (pexels.com/Frederik Sørensen)

Belakangan suhu di berbagai wilayah Indonesia mengalami peningkatan. Belum lagi permasalahan polusi udara yang ini dirasakan di Ibu Kota Jakarta. Semua hal tersebut merupakan dampak dari adanya perubahan iklim. Bukan hanya permasalahan fisik, ternyata perubahan iklim juga memberikan dampak negatif terhadap perekonomian.

Bappenas memperkirakan bahwa Indonesia berpotensi mengalami kerugian ekonomi hingga Rp544 Triliun selama tahun 2020 sampai 2024 atau sekitar Rp100 triliun per tahun akibat dampak perubahan iklim. Oleh sebab itu, dibutuhkan kebijakan untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan hilirisasi. Hilirisasi sendiri memiliki pengertian sebagai proses pengolahan bahan mentah menjadi bahan jadi atau setengah jadi. Hilirisasi bisa juga diartikan sebagai proses pertambahan nilai yang tetap mempertimbangkan ketersediaan energi serta aspek keberlanjutan.

Saat ini, melalui #Kementrian Investasi/BKPM, pemerintah Indonesia telah menyusun Peta Jalan Hilirisasi yang berisi 8 sektor prioritas, mulai dari mineral, batu bara, minyak, gas bumi, perkebunan, kelautan, perikanan, serta kehutanan yang mencakup 21 komoditas, yakni batu bara, nikel, timah, tembaga, bauksit, besi, perak emas, aspal buton, minyak bumi, dan gas alam. Lalu, ada juga kelapa, kelapa sawit, karet, biofuel, kayu getah pinus, udang, ikan, kepiting, rumput laut, hingga garam.

Menteri Investasi Indonesia, Bahlil Bahadalia, menyatakan bahwa hilirisasi akan mendorong terciptanya green energy dan green industry untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Lalu, bagaimana sebenarnya hilirisasi bisa menjadi salah satu solusi perubahan iklim yang terjadi di Indonesia?

Baca Juga: Peluang di Balik Hilirisasi Ubi Kayu, Cuan Ratusan Kali Lipat!

1. Mengurangi kebutuhan akan bahan bakar berbasis fosil

ilustrasi bahan bakar fosil (pexels.com/Tom Fournier)

Melalui hilirisasi penggunaan bahan bakar fosil dapat dikurangi. Biodiesel yang merupakan bahan bakar kendaraan merupakan contoh dari hilirisasi kelapa sawit. Biodiesel berasal dari CPO yang selanjutnya diubah melalui proses esterifikasi/transesterifikasi. Saat ini, biodiesel di Indonesia telah mencapai Mandatory B30, terdiri dari 100 persen bahan bakar, 30 persennya merupakan biodiesel sedangkan 70 persen lainnya merupakan BBM jenis solar. Presiden Joko Widodo juga menyebutkan bahwa program Mandatory B30 ini dapat mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM yang berasal dari fosil. 

“Kita tahu ketergantungan kita kepada impor BBM, termasuk di dalamnya solar, cukup tinggi. Sementara, di sisi lain, kita juga negara penghasil sawit terbesar di dunia sehingga kita punya banyak sumber bahan bakar nabati sebagai pengganti bahan bakar solar. Potensi itu harus kita manfaatkan untuk mendukung ketahanan dan kemandirian energi nasional,” tegas Presiden Joko Widodo dilansir situs resmi kominfo.go.id, Senin (23/12/2019). Tidak berhenti sampai di sana, melalui sumber yang sama implementasi B30 membuat Indonesia dapat menghemat devisa hingga Rp63 triliun dan menciptakan multiplier effect bagi 16,5 juta petani kelapa sawit di Indonesia. Ke depan harapannya program ini dapat terus meningkat sehingga tak hanya mencapai 30 persen atau 35 persen saja, tetapi 100 persen bahan bakar kendaraan merupakan biodiesel.

2. Penggunaan kendaraan listrik merupakan bagian dari hilirisasi

ilustrasi kendaraan listrik (pexels.com/Craig Adderley)

Salah satu cara mengurangi dampak perubahan iklim adalah melalui penggunaan kendaraan listrik. Ternyata, kendaraan listrik sangat bergantung pada hilirisasi. Sebut saja hilirisasi nikel yang ada di Indonesia, di mana nikel diolah menjadi baterai yang merupakan komponen penting dari mobil listrik. Pengembangan ekosistem electric vehicle (EV) juga termasuk salah satu fokus kebijakan Kementerian Perindustrian. Kebijakan ini tentu selaras dengan upaya industrialisasi berbasis hilirisasi sumber daya alam mineral. Meski begitu, sebagian besar pengolahan bijih nikel di Indonesia berada pada jalur memproduksi NPI dan FeNi, bukan pada jalur produksi baterai.

“Karenanya, pemerintah terus mendukung upaya pertumbuhan industri dalam negeri khususnya industri hilirisasi sumber daya alam mineral dan pengembangan EV di tanah air,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta dilansir situs resmi Kemenperin, Rabu (13/09/2023).

Meski belum sampai tahap baterai, ke depannya bukan tidak mungkin Indonesia dapat memproduksi baterai mobil listrik sendiri mengingat cadangan nikel Indonesia yang begitu besar. Dilansir kemenperin.go.id, berdasarkan data US Geological Survey, cadangan nikel Indonesia mencapai 21 juta metrik ton yang menjadikan Indonesia sebagai pemain utama nikel dunia. Dengan adanya teknologi serta sumber daya manusia yang unggul, tentu harapannya Indonesia sanggup menjadi pionir baterai kendaraan listrik di dunia.

3. Hilirisasi akan mengurangi pemakaian sumber daya yang berlebihan

ilustrasi pengolahan ikan (pexels.com/Quang Nguyen Vinh)

Hilirisasi merupakan proses yang mementingkan pertambahan nilai bukan kuantitas. Sebagai contoh, hilirisasi perikanan di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, sebagai daerah penghasil ikan laut yang berlimpah dan berkualitas. Kabupaten Sinjai telah memiliki Sentra IKM Pengolahan Ikan yang merupakan hasil kerja sama antara Kementerian Perindustrian dan Pemerintah Kabupaten Sinjai. 

Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah dan Aneka, Reni Yanita, menyampaikan bahwa pengembangan Sentra IKM Pengolahan Ikan di Kabupaten Sinjai telah berlangsung sejak 2017. “Pembangunan sentra tersebut salah satunya bertujuan untuk menumbuhkan pelaku industri baru yang memanfaatkan sumber daya alam hasil perikanan di Kabupaten Sinjai sekaligus mendorong proses hilirisasi pada industri pangan olahan berbasis ikan laut,” jelasnya di Jakarta dilansir dari situs resmi Kemenperin, Jumat (8/9/2023).

Keberadaan industri pangan berbasis ikan ini merupakan contoh kebijakan yang mendukung nelayan dan masyarakat di sekitar agar tidak berlebihan dalam mengeksploitasi sumber daya ikan di laut, akan tetapi fokus pada pertambahan nilai jual ikan. Perubahan yang mementingkan pertambahan nilai juga terjadi pada hilirisasi komoditas kelapa sawit. Dilansir kemenperin.go.id, Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika menyatakan pada 2015 komposisi ekspor minyak sawit meliputi 18 persen CPO dan 6 persen CPKO, yang keduanya merupakan bahan baku industri. Sisanya 61 persen produk refinery serta 15 persen produk lainnya. Tetapi sejak 2022 komposisi ekspor bahan baku mengalami penurunan menjadi 2 persen CPO dan 4 persen CPKO karena ekspor produk hilir mengalami peningkatan signifikan meliputi 73 persen produk refinery dan 21 persen produk lainnya. Perubahan ini tentu akan berdampak pada pengurangan penggunaan sumber daya alam yang berlebihan di Indonesia.

4. Adanya energi baru terbarukan dan keberlanjutan dalam hilirisasi

ilustrasi pembangkit listrik dengan panel surya (pexels.com/Pixabay)

Hilirisasi komoditas di Indonesia saat ini telah menerapkan energi baru terbarukan di setiap prosesnya. Dilansir mind.id,  misalnya di sektor tambang batu bara, saat ini PT Bukit Asam Tbk (PTBA) sedang mengerjakan proyek hilirisasi pembangkit listrik menggunakan energi terbarukan. PTBA menggarap pembangkit listrik tenaga surya dan angin. Saat ini beberapa panel surya yang sudah beroperasi, antara lain di Bandara Soekarno Hatta International Airport dan di Tol Bali Mandara dengan total mencapai 641kwp.

Penerapan konsep sustainability juga sudah diadaptasi Kementerian Perindustrian dalam melakukan pembinaan industri manufaktur dengan memacu pengembangan industri hijau. Pemerintah melalui Kemenperin telah menetapkan 34 Standar Industri Hijau dan menunjuk 14 Lembaga Sertifikasi Industri Hijau. Dengan adanya standar dan lembaga ini harapannya industri-industri hilirisasi dapat menerapkan konsep keberlanjutan dalam setiap prosesnya.

Sertifikasi Industri Hijau yang dilakukan Kemenperin juga diharapkan mendukung komitmen pemerintah Indonesia untuk turut berkontribusi pada penanganan perubahan iklim yang telah menetapkan target pengurangan emisi karbon atau emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen melalui kemampuan sendiri. Sedangkan 41 persen lainnya melalui dukungan internasional pada 2030 mendatang sesuai dengan komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) serta target untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060.

Baca Juga: Hilirisasi Batu Bara dan Siasat Ketidakpastian Ekonomi Global

Verified Writer

Johanes Bastanta Ginting

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya