Tolong, Buku Bukan Senjata untuk Politik Palsu!

Buku tidak pernah tuli juga bisu. Hati-hati jika menggunakannya sebagai alat propaganda!

Buku Tuli

Bicara media sosial, ah..sudahlah. Sudah bertebaran informasi segar dengan fitnah, caci maki, saling hina, balas lapor, curhatan kekanak-kanakan, dan konten-konten pornografi begitu liar menjadi viral. Anak-anak juga bisa menikmatinya dengan segar sebab semuanya itu tersembunyi pada simbol pisanglah, humorlah, bahkan meme yang pasti ikut jadi tren setelah sebuah peristiwa begitu banyak dikomentari.

Jangan heran bila media sosial juga disurvei, juga diperhitungkan sebagai pencitraan atau pembocoran kelakuan bejat para elite politik. Seperti pasar, media sosial menyajikan apapun yang anda inginkan atau apapun yang anda pesan. Konsumennya setuju saja tanpa membaca secara penuh yang dibagikan. Media sosial cara kampanye murah juga murahan, mungkin.

Tapi ada menarik di era perpolitikan saat ini. Setelah “mantan” penguasa tidak bisa tenang melihat negeri ini dipimpin yang bukan koloninya. Ini bukan mantan biasa, tetapi mantan presiden. Jika Soekarno, Soeharto, juga Gusdurbelum wafat, mungkin juga beliau ikut tidak tenang. Bagaimana Soekarno bisa tenang? Negeri yang dimerdekakan dengan susah payah ini malah ingin diobrak-abrik dengan gampang. Kalau Soeharto bangkit mungkin kekuatan Pak Mantan yang nyinyir doyan curhat ini punya kekuatan baru.

Lain jika Gusdur ikut jadi mantan yang tidak tenang, dengan mata hatinya ia akan menolak segala jenis diskriminasi, terutama soal sara. Mungkin Beliau berdiri paling depan untuk mengawal kasus penistaan agama.Jika bicara soal mantan yang ribut di media sosial? Kelar hidup lo! Hebatnya, mantan ini bergerilia di media sosial. Mantunya berjuang di path, istrinya nyinyir di instagram, bapaknya sibuk menciut. Semua berkoloni saling menebar curhatan.

Masih ingat buku Jokowi undercover? Yang dibredel dengan kata hoax? Seluruh isinya adalah fitnah yang mentah? Penulis buku Jokowi Undercover, Bambang Tri Mulyono, ditahan semata karena isinya dianggap berisi unsur fitnah, menebar kebencian dan tidak berdasarkan data primer maupun sekunder.Buku tersebut dinilai tidak memberikan pendidikan kepada publik secara baik.

Sudah berapakah pembaca buku ini? Keinginan penulis sih jadi seperti Pramoedya, melawan politik kekuasaan dengan buku, dengan tulisan. Apa yang dilakukan Pram dan Bambang Tri ini jelas berbeda. Jika Pram adalah bagian dari sejarah, menuliskan kebenaran, pergolakan, perjuangan, juga menulis di penjara dengan penuh kesakitan, sedangkan Bambang? Bambang menulis untuk dipenjarakan. Ia menelan mentah semua fitnah lalu dituliskannya sesuai pesanan. Wajar jika buku yang akhirnya dituliskannya itu tidak mendapat tempat selayak Pram di mata sejarah maupun di mata pembaca.

Dulu, ada juga yang memakai buku sebagai pencitraan. Sebuah buku berjudul "Selalu Ada Pilihan". Isinya kurang lebih sama dengan ciutan-ciutanbaper sang tokoh. Tidak jauh dari soal hujan fitnah yang sambung menyambung menimpa dirinya, seorang presiden yang merasa sendiri, dan resep bertahan sebagai seorang presiden. Kini, buku kembali jadi senjata politik kubu ini.

Agus Harimurti Yudhoyono, meluncurkan buku berjudul Telah Ku Pilih Jalan Hidupku Yang Baru Untuk Jakarta. Buku ini katanya berisi pengalaman Agus selama berkampanye Pilkada DKI Jakarta. Buku yang ditulis langsung oleh Agus itu juga menceritakan perjalanan karier saat dia menjadi anggota TNI. Buku itu berisi 24 chapter dengan sampul muka Agus.

"Ini catatan kecil yang saya buat selama tiga bulan. Saya bertemu ratusan ribu orang pagi, siang, dan malam, panas maupun hujan semata-mata untuk mendengarkan aspirasi mereka”, ucap Agus yaang dikutip dalam Kompas. Ia juga membubuhi tanda tangan kepada pembeli buku sambil berbisik “jangan lupa pilih no 1, ya?”

Jika memang buku ini ingin dituliskan mengenai pengalaman Agus selama kampanye, mengapa tidak menunggu keputusan bahwa memang Agus belum layak jadi Gubernur? Setidaknya buku ini bermanfaat untuk calon-calon kepala daerah yang ingin maju pada pemilihan Gubernur berikutnya, bahwa ada hal-hal yang memang harus dimiliki seorang Gubernur, tidak cukup memiliki keluarga atau Ayah yang seorang mantan Presiden. Tidak menjadi kewajiban kan, jika Ayahnya Presiden, sang anak harus meneruskan dinasti?

Saya sangat menyayangkan buku juga dipaksa jadi alat kampanye. Jika isinya mencerahkan,  mengungkap fakta, bukan perspektif, masih dimaafkan. Buku sebagai gudangnya ilmu jangan ikut dilibatkan. Tulislah kebenaran agar bangsa ini bergerak maju, bukan melihat masa lalu. Buku yang mencerdaskan akan laku tanpa dipromosikan. Jangan hinakan manfaat baik buku itu. Apa tidak kasihan melihat pembaca yang membeli buku palsu hanya mengerti soal kepalsuan? Semoga pihak yang memanfaatkan buku sebagai media promosi menjadi sadar bahwa buku ditulis harus mencerdaskan pembacanya. Sudah..cukup media sosial saja yang dicerca dengan kepalsuan.

Ni Nyoman Ayu Suciartini Photo Verified Writer Ni Nyoman Ayu Suciartini

I'm a writer

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya