[OPINI] Perlunya Meniru Kesederhanaan Pemimpin Asing

Politisi berintegritas dan sederhana dicintai rakyat

Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia awal September 2024 menyampaikan pesan moral luar biasa. Kedatangannya, memperlihatkan tentang kesederhanaan dan prinsip egaliter, dengan rakyat biasa.

Paus Fransiskus datang dan pergi dengan pesawat komersial, naik Toyota Innova Zenix selama di Jakarta. Tak cuma itu, Paus Fransiskus juga menginap tiga malam di Kedubes Vatikan kawasan Merdeka Timur Jakarta Pusat, bukan di hotel mewah. Kunjungannya ke negara tetangga sama saja, menaiki Toyota Raize di Papua Nugini dan menumpangi Toyota Sienta ketika mengunjungi Timor Leste.

Pemimpin dunia lain sama sederhananya.  Setidaknya, ada tiga figur yang menarik untuk diikuti seperti eks Perdana Menteri Belanda Mark Rutte, mantan Presiden Uruguay Jose Mujica, dan mantan Perdana Menteri Inggris David Cameron.

Setelah mengabdi sebagai Perdana Menteri Belanda selama 14 tahun, Mark Rutte meninggalkan kantornya di Den Haag pada Juli 2024 hanya dengan bersepeda. Tidak ada acara serah terima jabatan yang meriah, tanpa pesta pula. Dia pulang ke rumah tanpa pengawalan atau rombongan yang mengantarnya.

Banyak orang di Belanda suka dengan gaya Rutte, yang rendah hati dan membumi. Kebiasaannya yang membumi sering dipuji warganet. Hampir setiap hari, dia naik sepeda ke tempat kerja atau saat ingin menemui raja dan para pemimpin negara lain. Kadang, dia hanya mengenakan celana jins dan kemeja kasual sambil makan apel.

Dia masih tinggal di apartemen yang sederhana dan menyetir sendiri mobil Saab station wagon abu-abu miliknya. Dia juga sering jadi viral di media sosial karena datang ke kafe sendirian tanpa staf atau pengawal untuk minum kopi dan pai apel. Dia juga sering diajak berswafoto dengan siapa pun yang berpapasan dengannya saat sedang jalan-jalan sendirian atau berbelanja sendiri di supermarket.

Bahkan, di satu momen, dilansir BBC, Rutte sempat menumpahkan kopi di gedung pemerintah, kemudian mengepelnya sendiri, meski sudah diminta meninggalkannya oleh petugas kebersihan. Aksinya, mengundang tepuk tangan dari para staf kebersihan yang ada di dekatnya.

Sama halnya dengan Rutte, Cameron yang bertugas sejak 2010 hingga 2016, juga selalu mengundang perhatian publik karena sikapnya yang sederhana. Dalam salah satu momen, ketika sedang liburan di Tuscany, Italia, 31 Juli 2017, dia pergi ke kafe Dolcenero, Montevarchi, bersama keluarganya. Cameron memesan kopi dan meminta kepada seorang pelayan, Francesca Ariani, membawakan kopi yang dipesannya ke luar.

Tapi, Ariani saat itu mengaku tak bisa memenuhi permintaan Cameron karena terlalu sibuk dan menjaga kafenya sendirian. Alhasil, Cameron membawakan pesanannya sendiri ke luar.

Ariani, dilansir BBC, saat itu mengaku tak tahu Cameron adalah seorang Perdana Menteri Inggris. Sebab, menurutnya penampilannya seperti orang biasa,

Tak hanya di negara lain, dilansir Daily Mail, ketika sedang berada di Plymouth demi merayakan Hari Angkatan Bersenjata Inggris, 30 Juni 2012, Cameron mau minum. Dengan santai, dia masuk ke kafe dan langsung memesan minuman untuk dibawa pulang.

Namun, lagi-lagi dia menerima perlakuan serupa dengan yang dialaminya di Tuscany. Pelayan kafe tersebut, Sheila Thomas, mengaku belum bisa melayaninya karena sedang sibuk. Saat itu, Sheila benar-benar tak tahu yang memesannya adalah seorang Perdana Menteri. Bahkan, Cameron meminta maaf dan menunggu pesanannya selesai selama 10 menit.

Karena terlalu lama, ajudan Cameron langsung membelikan teh dan donat di toko sebelah. Hingga akhirnya, emosi Sheila terpancing dan mendengus karena ajudan Cameron membeli produk di toko sebelah. Belakangan, Sheila tahu siapa yang dihadapinya ketika itu.

"Saya benar-benar tidak sadar sedang berhadapan dengan PM Inggris karena kafe sedang ramai, sehingga tidak terlalu memperhatikan," katanya.

Bahkan, ketika datang ke Indonesia, Cameron tak menunjukkan sikap yang tinggi. Dia membumi karena mengunjungi pasar, bersikap santai, berinteraksi dengan warga, dan menikmati pisang goreng.

Pemimpin negara lain yang paling sederhana, adalah Jose Mujica. Presiden Uruguay yang bertugas selama 2010 hingga 2015, bahkan sempat disebut sebagai Presiden termiskin dunia. Bagaimana tidak, Mujica menolak hidup mewah dan memilih untuk bersahaja.

Tinggal di istana negara saja, dia tidak mau. Setiap harinya, Mujica mengenakan pakaian yang sangat sederhana. Dia bahkan tinggal di sebuah rumah kecil yang hampir rusak, dan mengendarai mobil VW Beetle jadul keluaran 1987. Mujica juga mendonasikan 90 persen gajinya sebagai Presiden yang jumlahnya setara dengan 12 ribu dolar Amerika Serikat saat itu, untuk masyarakat miskin di negaranya. Itulah yang membuat Mujica dijuluki sebagai presiden termiskin sedunia.

Mujica hidup bersama istrinya, Lucia Topolansky. Pasangan ini tidak dikaruniai anak, mereka hidup bersama anjingnya yang berkaki tiga, Manuela.

"Saya seringkali disebut sebagai presiden termiskin sedunia. Tapi, saya tidak pernah merasa miskin. Orang miskin adalah yang bekerja agar dia bisa menjaga gaya hidup mewah dan tidak pernah merasa cukup," ujarnya dilansir BBC.

Tidak hanya para eksekutif, di beberapa negara, anggota legislatif pun hidup sederhana dan tak memiliki banyak fasilitas. Contohnya di Swedia, karena para pejabat malah dilarang bergaya hidup mewah.

Wartawan Brasil yang bertugas di Swedia, Claudia Wallin, dalam bukunya, Sweden: The Untold Story (2018), menceritakan para menteri dan anggota parlemen bepergian dengan bus dan kereta, sama seperti warga yang mereka wakili. Tidak ada mobil dinas atau sopir pribadi. Tidak ada kemewahan atau hak istimewa bagi wakil rakyat. Mereka juga tak punya hak atas kekebalan parlemen sehingga dapat diadili di pengadilan. Tanpa sekretaris pribadi, kantor mereka juga minimalis dan hanya berukuran delapan meter persegi.

Prinsipnya sederhana saja, rakyatlah yang menggaji mereka. Politikus yang berani menghabiskan uang rakyat untuk, misalnya, naik taksi alih-alih naik kereta, segera akan menjadi berita utama di berbagai media.

Kepongahan pejabat dan politisi di negeri sendiri

[OPINI] Perlunya Meniru Kesederhanaan Pemimpin AsingKaesang Pangarep hadir di kantor KPK. (dok. IDN Times/Istimewa)

Walaupun tak dapat digeneralisir,  namun sudah menjadi rahasia umum para politisi dan pejabat publik di Indonesia gemar mempertontonkan kepongahan, kekayaan, dan pamerkan fasilitas serta kemewahan alias flexing

Mulai dari kasus walikota dan petinggi partai yang memanfaatkan kebaikan pengusaha rekanannya untuk menggunakan private jet, baik di dalam maupun luar negeri, kebiasaan para pejabat public menggunakan perhiasan, arloji, tas, pakaian, dan aksesories mewah lainnya, padahal mereka adalah ASN ataupun anggota TNI/POLRI.

Lalu, para abdi negara yang memiliki gaya hidup sangat wah dengan begitu banyak rumah, tanah, mobil, motor, tabungan dan sebagainya, padahal gaji bulanannya amat tidak sepadan. Parahnya, tak cuma politisi, suami/istri, dan anak-anaknya ikut-ikutan flexing.

Mantan Ketua KPK, Firli Bahuri, sempat dikritik karena menggunakan helikopter milik perusahan swasta hanya untuk perjalanan dari Palembang ke Baturaja di Sumatra Selatan pada 2020.  Eks Kepala Bea Cukai, Andhi Pramono, divonis 10 tahun penjara pada April 2024 karena menerima gratifikasi Rp 56 miliar.

Kasus korupsi Andhi Pramono ini bermula setelah gaya hidup mewahnya viral di media sosial. Asal-usul kekayaannya menjadi pergunjingan hingga akhirnya diklarifikasi oleh KPK. Kepala Bea Cukai Yogyakarta, Eko Darmanto (ED), dicopot dari jabatannya pada awal Maret 2023 gegara pamer kemewahan di media sosial.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, dr Reihana, dikuliti habis oleh warganet pada 2023 karena kerap pamer kemewahan dan menjadi kepala dinas Kesehatan selama 14 tahun tak tergantikan.

Aksi pamer harta atau flexing yang dilakukan keluarga pejabat masih terus jadi sorotan. Di Riau, istri Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Riau, SF Hariyanto, jadi kritikan warganet pada 2023 lantaran gaya hidup mewahnya (flexing) yang tampak membawa tas-tas branded hingga pelesiran ke luar negeri.

Secara kolektif pun demikian. Keborosan dan kemewahan pejabat publik di Indonesia sering kali menjadi sorotan publik, terutama terkait dengan penggunaan anggaran negara yang tidak efisien. Misalnya, rapat kerja di lokasi jauh, memaksa untuk menggunakan transportasi udara. Hal ini tidak hanya menambah biaya perjalanan, tetapi juga menciptakan kesan rapat tersebut lebih merupakan kesempatan untuk berlibur daripada bekerja. Kemudian, ada pengeluaran acara sosial tanpa tujuan jelas.

Mengadakan acara di hotel mewah dengan biaya wah juga sering dilakukan, padahal bisa dilakukan di kantor. Penggunaan fasilitas mewah, pesta dan perayaan, hingga perjalanan  dinas berlebihan juga sering dilakukan, dan membuat publik mempertanyakannya, karena sebenarnya bisa dilakukan secara efisien.

 

Baca Juga: [OPINI] Maraknya Kekerasan di Satuan Pendidikan kesalahan Orangtua?

Integritas dan low profile jadi kunci

Integritas dan sikap low profile merupakan elemen penting bagi keberhasilan pejabat publik dan politisi. Integritas pada dasarnya adalah tentang kepatuhan terhadap prinsip dan nilai etika. Prinsip ini bekerja di berbagai tingkatan, termasuk pribadi, profesional, dan institusional. Pejabat publik yang memiliki integritas dapat secara efektif melayani kepentingan publik, bahkan di lingkungan yang tidak memiliki kerangka etika yang kuat. Dalam buku Andrey Heywood berjudul Political Ideologis: An Introduction, lembaga memainkan peran penting dalam menumbuhkan integritas dengan menetapkan kode etik dan menciptakan kondisi yang mendukung perilaku etis di antara anggotanya.

Apalagi, integritas erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat. Pemimpin yang menunjukkan integritas lebih, besar kemungkinan untuk mendapatkan kepercayaan dari komunitas yang mereka layani. Kepercayaan ini penting bagi tata kelola yang efektif dan secara signifikan dapat meningkatkan legitimasi lembaga-lembaga publik. Integritas seorang, menurut Mukhlis dan Akbar dalam jurnal Strengthening the Integrity of Local Leadership and Its Relevance to Run Democratic Governance (2017), pemimpin sering kali dianggap sebagai indikator penting atas kemampuan dalam mengelola sumber daya publik secara adil dan efisien.

Mempertahankan sikap low profile juga dapat memberikan keuntungan bagi pejabat publik dan politisi. Pendekatan low profile memungkinkan para pemimpin untuk fokus pada isu-isu substantif daripada visibilitas pribadi atau perhatian media. Strategi ini dapat membantu mengurangi pengawasan dan mengurangi risiko yang terkait dengan kehidupan publik, seperti tuduhan korupsi atau serangan pribadi. Dengan memprioritaskan pelayanan dibandingkan promosi diri, dikutip Uncaccoalition, pejabat dapat menumbuhkan reputasi dedikasi dan keandalan, sehingga semakin meningkatkan integritas.

Pengalaman para pejabat Swedia telah meruntuhkan konsep politisi harus diberikan perlakuan istimewa dan hormat bagaikan datang dari kasta yang lebih tinggi. Swedia memperlakukan pejabat pemerintah dan perwakilan politiknya sebagai warga negara biasa.

Nilai-nilai di Swedia menegaskan tidak ada seorang pun yang berada di atas orang lain. Tidak juga para politikus. Ada wali kota Stockholm sedang antre di halte bus kota itu biasa. Ada ketua parlemen yang naik kereta itu juga tak mengherankan. Ada menteri dan perdana menteri yang mendorong troli belanja sendiri di supermarket. Hal itu sudah jadi pemandangan biasa. Rakyat memilih politikus yang harus memahami realitas sehari-hari dan penderitaan rakyatnya.

Rendah hati kunci sukses

[OPINI] Perlunya Meniru Kesederhanaan Pemimpin Asingilustrasi atasan (pexels.com/Sora Shimazaki)

Riset menunjukkan pemimpin rendah hati ternyata lebih sukses dan disukai daripada yang sombong. Pemimpin rendah hati adalah orang-orang yang ingin selalu bertumbuh dan bersedia melakukan pendampingan terhadap karyawannya. Mereka juga termasuk orang-orang yang mudah mendapatkan promosi ke status lebih tinggi.

Sebuah penelitian, dikutip Phys, menunjukkan pemimpin yang rendah hati mendapatkan promosi lebih mudah untuk status lebih tinggi, dengan terlibat dalam mentoring. Penelitian tersebut menggunakan data survei sampel 610 pemimpin yang bekerja di 18 industri dan 21 bidang pekerjaan.

Asisten para pemimpin, rekan kerja, dan atasan melaporkan bagaimana pemimpin dalam survei tersebut mencakup kerendahan hati, mentoring informasi, status, dan promosi. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan pemimpin rendah hati berfokus dalam pembelajaran dan pertumbuhan, sehingga menciptakan nilai sumber daya manusia.

Pemimpin-pemimpin tersebut mau terlibat dalam pendampingan yang lebih informal dengan memberikan bimbingan karier kepada bawahannya dan membantunya sukses. Di sisi lain, pemimpin yang rendah hati mendapatkan rasa hormat, prestise, keunggulan, dan mereka mengumpulkan sekelompok pengikut dengan sumber daya yang tinggi.

Pemimpin sombong dengan sifat yang arogan, narsis, suka menindas, dan mendominasi sangat populer di beberapa media dan menjadi stereotip pemimpin. Pemimpin yang seperti itu mudah diperhatikan dan diagungkan, sehingga hanya berlangsung dengan jangka waktu pendek, maka dapat dikatakan kurang stabil.

Sebaliknya, pemimpin rendah hati mendapatkan status dengan membantu mendorong pertumbuhan orang lain dan menciptakan jaringan pengikut yang memiliki keterampilan tinggi, loyal, dan antusias. Mereka juga membangun hubungan kuat dan reputasi yang positif dan menghasilkan kesuksesan lebih stabil.

Singkatnya, integritas dan sikap rendah hati sangat penting tidak hanya bagi pemimpin di sektor privat, namun juga bagian dari keberhasilan pejabat publik dan politisi. Karena integritas membangun kepercayaan dan mendorong tata kelola yang efektif, sementara pendekatan yang sederhana memungkinkan para pemimpin untuk berkonsentrasi pada tanggung jawab mereka tanpa gangguan yang tidak perlu. Secara keseluruhan, kualitas-kualitas ini berkontribusi pada lingkungan pelayanan publik yang lebih etis dan efektif.

Semoga, pejabat publik dan politisi negeri ini semakin banyak yang tampil rendah hati dan sederhana serta meminimalisir pamer kemewahan.  Lelah sudah puluhan juta rakyat miskin di negeri ini melihat drama kekonyolan niradab ini. Jangan salahkan mereka kalau terus mengagumi Paus Fransiskus,  Mark Rutte, David Cameron ataupun Jose Mujica.

 

Penulis merupakan Associate Professor Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tulisan yang dimuat merupakan idenya dan sudah disunting sesuai dengan kaidah jurnalistik

Baca Juga: [OPINI] Pendidikan Inklusif untuk Pemerataan Pelayanan Pendidikan

Heru Susetyo, SH. LL.M. M.Si. M.Ag. Ph.D Photo Writer Heru Susetyo, SH. LL.M. M.Si. M.Ag. Ph.D

Heru Susetyo adalah Associate Professor Fakultas Hukum Universitas Indonesia, advokat & aktifis HAM. Meneliti & mengajar HAM, Kesejahteraan Sosial, Migrasi,Kriminologi,Viktimologi & Pidana

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Satria Permana

Berita Terkini Lainnya