Unjuk Taji Indonesia sebagai Pemain Global

Catatan diplomasi Menlu RI Retno Marsudi di SMU PBB 2023

New York, IDN Times – “Kami berlarian seperti ayam,” kelakar seorang diplomat Indonesia kepada Menteri Luar Negeri Belanda Hanke Bruins Slot, sebelum pertemuan bilateral dengan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dimulai, menggambarkan betapa sibuknya delegasi Indonesia selama High Level Week Sidang Majelis Umum ke-78 Perserikatan Bangsa-Bangsa (SMU PBB). 

Retno, pemimpin delegasi Indonesia, dikenal sebagai salah satu tokoh paling sibuk selama hajatan tahunan PBB ini. Sejak mendarat di New York pada Minggu (17/9/2023), setelah menghadiri pertemuan G77 di Kuba, Retno seolah tidak ingin membuang waktunya sia-sia bahkan untuk lima menit sekalipun.

Memang, inti dari SMU PBB adalah pernyataan nasional yang mungkin hanya memakan waktu 10-15 menit. Tapi, di luar itu, ada berbagai side event dan pertemuan bilateral yang harus dihadiri para delegasi selama berada di lingkungan Markas Besar PBB. Tercatat, Retno telah menghadiri 16 forum dan 45 pertemuan bilateral sampai Selasa (26/9/2023). Jika ada waktu luang, Retno akan memanfaatkannya untuk jogging atau mencari makanan.

Yang tidak kalah hebat, kesibukan itu ia jalani bersamaan dengan intermittent fasting, atau pengaturan pola makan dengan berpuasa di waktu tertentu. Pun Retno tidak mengonsumsi nasi saat waktu makan tiba.  

Selama di New York, Retno menginap di Kantor Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI) untuk PBB, yang jaraknya sekitar 1,1 kilometer atau 7 menit jalan kaki. Para delegasi sebenarnya difasilitasi mobil serta akses khusus menuju Markas Besar PBB, yang bisa ditempuh kurang dari 5 menit. Hanya saja, Retno lebih memilih jalan kaki daripada terjebak macet akibat banyaknya lampu merah dan kepadatan kendaraan imbas rekayasa lalu lintas.

Di atas kertas, terkait protokol keamanan, penjagaan ketat akan diberikan kepada delegasi PBB tergantung tingkat ancaman yang diterima. Berkaca dari kelincahan Retno ke sana-ke mari sesuka hati, bisa juga dilihat melalui unggahan Instagram-nya, mencerminkan bahwa tidak ada ancaman langsung yang diarahkan kepadanya.

“Ibu kalau di mobil suka tiba-tiba turun, milih jalan ke PBB, gak sabaran kena macet,” kata salah satu staf Retno.

Setiap inci aspal New York yang Retno lewati tidak hanya untuk kepentingan nasional. SMU PBB tahun ini menjadi ajang pembuktian bagi Indonesia sebagai pemain global. Sepak terjang Jakarta kian diakui lantaran sukses menjadi Presiden G20 2020 dan Ketua ASEAN 2023. Sorotan dan harapan kepada Indonesia tak lagi terelakkan.

Indonesia terbukti mampu mengatasi perbedaan di tengah dinamika G20, salah satunya ketegangan antara negara-negara Barat dengan Rusia akibat perang di Ukraina. Kemudian, Indonesia sukses meletakkan fondasi visi ASEAN 2045 dan ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP), ketika situasi kawasan kurang kondusif imbas krisis politik Myanmar.

“Banyak negara yang mengatakan bahwa kepemimpinan Indonesia di G20 dan ASEAN sangat terasa bagi mereka. Banyak yang memberikan selamat dan trust-nya kepada Indonesia. Ini hal yang patut kita syukuri,” ujar Retno.

1. Membentuk tatanan dunia yang adil bagi negara berkembang

Unjuk Taji Indonesia sebagai Pemain GlobalMenlu RI Retno Marsudi sampaikan pandangannya di SDG Summit 2023 (IDN Times/Vanny El Rahman)

Selain Sidang Majelis Umum, ada banyak agenda multilateral yang Retno hadiri selama High Level Week, seperti Sustainable Development Goals (SDG) Summit, persiapan Summit of The Future 2024, Breakfast Summit, hingga pertemuan Menlu ASEAN, MIKTA, dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

Ada satu pernyataan Retno yang menarik untuk disoroti saat berpidato di SMU PBB, yaitu “jika kita berkomitmen terhadap apa yang kita katakan, maka dunia tidak akan seperti apa yang kita lihat sekarang. Defisit kepercayaan mendalam, perbedaan menajam, konflik semakin memisahkan kita. Masalahnya adalah kita tidak menjalankan apa yang kita katakan.”

Muara dari semua kritik Retno adalah seruan terhadap tatanan dunia baru, bahwa sistem multilateral modern sudah usang dan tidak relevan dengan zaman. Seolah-olah dunia berada di dalam genggaman negara adikuasa. Sehingga, multilateralisme atau organisasi internasional yang harusnya ejewantah komitmen bersama untuk perdamaian dunia, justru malah menjadi alat untuk meloloskan kepentingan pihak-pihak tertentu.   

Dampaknya adalah seperti yang kita lihat sekarang ini. Perang Rusia-Ukraina, krisis iklim, kelaparan, hingga konflik Israel-Palestina, menjadi sederet permasalahan yang tak bisa dituntaskan oleh multilateralisme.

Di sisi lain, negara berkembang selalu menjadi pihak yang paling dirugikan atas tatanan global hari ini. Negara kecil kepulauan menjadi entitas yang paling awal musnah jika permukaan air laut naik imbas krisis iklim, pasokan pangan global terganggu akibat perang, dan negara berkembang dihalangi haknya untuk tumbuh.

Padahal, hilirisasi industri menjadi basis fundamental bagi negara berkembang untuk naik kelas. Retno menyebutnya sebagai hak pembangunan. Kebanyakan negara berkembang hanya menjadi penyedia barang mentah (raw material) bagi negara maju, yang kemudian diolah menjadi produk dengan nilai tambah untuk dijual di negara asalnya.

Melalui SDG Summit 2023, Retno menekankan jika hak pembangunan dibatasi, maka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang ditergetkan pada 2030 tidak akan tercapai. Padahal, di 7 tahun waktu tersisa, PBB melaporkan bahwa hanya 12 persen target SDGs global  yang on-track, 50 persen kemajuannya lambat, 30 persen stagnan atau bahkan mengalami kemunduran. Miris memang.

“Setiap negara mempunyai hak yang sama untuk berkembang dan tumbuh. Namun, arsitektur global saat ini hanya menguntungkan segelintir orang saja. Diskriminasi perdagangan terhadap negara-negara berkembang terus terjadi. Rantai pasokan global sedang dimonopoli oleh negara-negara tertentu,” kata Retno

Dia menambahkan, “banyak negara berkembang mungkin tidak memenuhi SDGs pada tahun 2030. Mereka juga berjuang dengan utang luar negeri dan pembiayaan pembangunan. Semua ini akan berkontribusi mengikis kepercayaan dan solidaritas."

Baca Juga: Diplomasi Indonesia untuk Afghanistan

2. Demi perdamaian di masa depan

Unjuk Taji Indonesia sebagai Pemain GlobalMenlu RI Retno Marsudi di Breakfast Summit (Dok. Billy PTRI New York)

Gaung terhadap reformasi multilateralisme juga disuarakan oleh Sekjen PBB Antonio Guterres. Dia mengatakan bahwa PBB dan badan turunannya serta sistem Bretton Woods -World Bank, Monetary Fund, dan World Trade Organizations- merupakan warisan dari Perang Dunia II.

Hak veto yang dimiliki oleh lima negara -Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Prancis, dan China- tidak mewakili proporsi geopolitik hari ini. Dewan Keamanan PBB melempem, atau bahkan sudah kedaluwarsa.

Rezim ekonomi global malah menyebabkan banyak negara berkembang makin terlilit utang. Mereka juga gagal menagih komitmen negara maju, yang berjanji menyumbangkan uangnya demi mengatasi krisis iklim hingga membantu mewujudkan SDGs.

“Dunia telah berubah, tapi institusi kita belum. Kita tidak dapat mengatasi masalah secara efektif jika lembaga-lembaga tidak mencerminkan dunia sebagaimana adanya. Alih-alih menyelesaikan masalah, mereka malah menjadi bagian dari masalah,” tutur Guterres.

Selain reformasi sistem multilateral, ada juga serangkaian tantangan baru yang muncul seiring berkembangnya teknologi, seperti kecerdasan buatan, keamanan siber, hingga tata kelola biodiversitas dan perairan internasional.

Atas dasar itulah Sekjen PBB membuat Our Common Agenda (OCA) sebagai platform yang memetakan tantangan dunia teraktual. PBB juga sedang mempersiapkan Summit of The Future 2024 untuk menangkap aspirasi dan usulan berbagai negara guna menjawab tantangan zaman.

Sejumlah pihak sudah manyampaikan aspirasinya pada sesi Preparatory Ministerial Meeting for Summit of The Future yang digelar pada Kamis (21/9/2023). Pada kesempatan itu, Retno menyampaikan bahwa kesejahteraan di masa depan bisa terwujud jika dunia memiliki infrastruktur perdamaian dan ekonomi yang kuat.

“Infrastruktur perdamaian tersebut antara lain dengan mematuhi Piagam PBB dan hukum internasional secara konsisten, berkomitmen terhadap penyelesaian konflik secara damai, kerja sama multilateral yang kuat, kerja sama kawasan yang inklusif, reformasi Dewan Keamanan PBB agar lebih transparan, demokratis, dan efektif,” kata Retno.

“Sistem perdagangan multilateral juga harus menciptakan ekonomi global yang tangguh, antara lain melalui penguatan arsitektur kesehatan global, ketahanan pangan dan energi, stabilitas finansial dan ekonomi digital,” sambungnya.

Terkait arsitektur kawasan, Retno menyoroti pentingnya membangun perdamaian secara bottom-up. Jika setiap organisasi kawasan mampu mewujudkan perdamaian di teritorinya, maka perdamaian pada tingkat global praktis akan terwujud.

“Jangan lupa bahwa di forum besar (baca: PBB) ini ada banyak kawasan, yang menjadi net contributor bagi apa yang terjadi di dunia, termasuk perdamaian dan stabilitas. Kalau masing-masing kawasan kuat, maka PBB akan kuat. Sama seperti ASEAN, yang walaupun mostly anggotanya negara berkembang, tapi ASEAN bisa menjadi kontibutor perdamaian dunia,” beber mantan Duta Besar Republik Indonesia untuk Belanda dan Norwegia itu. 

3. Diplomasi kemanusiaan Indonesia

Unjuk Taji Indonesia sebagai Pemain GlobalMenlu RI Retno Marsudi dalam acara Global Solidarity with Afghan Women and Girls (Dok. Billy PTRI New York)

Di tengah kesibukan para pemimpin negara membicarakan masa depan dunia, Indonesia lantas tak melupakan amanat konstitusi untuk memperjuangkan kemanusiaan, khususnya kelompok marjinal yang tertindas di Afghanistan, Palestina, dan Rohingnya.

Retno secara khusus menyebut Afghanistan dan Palestina dalam pidatonya di SMU PBB. Dia mengatakan bahwa sudah terlalu lama masyarakat dunia membiarkan rakyat Palestina menderita. Retno juga mengungkit kembali penderitaan anak-anak dan perempuan Afghanistan, ketika negara-negara Barat enggan terlibat dengan rezim Taliban atas dalih pelanggar kemanusiaan.

“Indonesia tidak akan mundur sedikit pun dalam mendukung negara Palestina. Indonesia juga akan melakukan yang terbaik untuk membantu rakyat Afghanistan dan memastikan hak-hak perempuan dan anak perempuan dihormati,” kata Retno.

Indonesia juga menjadi sponsor untuk side event bertemakan Global Solidarity with Afghan Women and Girls. Melalui acara tersebut, Jakarta hendak mengingatkan warga dunia bahwa kehidupan rakyat Afghanistan semakin menderita di bawah rezim Taliban. Mereka kelaparan. Masa depan para perempuan direnggut. Dan anak-anak tidak bisa lagi bermimpi. 

Pada kesempatan yang sama, Retno menggarisbawahi pentingnya soft approach untuk memulihkan stabilitas di Afghanistan, bahwa Taliban juga harus diajak dialog demi mewujudkan pemahaman Islam yang moderat. Pasalnya, Barat sejauh ini menjadikan hard approach atau pendekatan berbasis hukum sebagai cara untuk engage dengan Taliban, yang terbukti gagal melahirkan perubahan ke arah positif.

“Sekitar 80 persen anak usia sekolah tidak bisa melanjutkan pendidikannya. Data UNDP memperkirakan, pembatasan akses pekerjaan bagi perempuan menyebabkan Afghanistan kehilangan 1 miliar dolar AS dari PDB-nya atau sekitar 7 persen,” kata Retno.

“Apakah kita akan membiarkan politik menghalangi untuk memberi bantuan dan duduk diam, sementara jutaan perempuan dan anak menderita. Atau, apakah kita melakukan apa yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka, terlepas kondisi politiknya? Saya yakin pilihan kedua adalah yang paling bijaksana,” ujar dia.

Untuk Palestina, Indonesia memanfaatkan pertemuan Menlu OKI sebagai sarana memperkuat komitmen mewujudkan two-state solutions. Alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) itu juga me-refresh bahwa OKI lahir untuk mengawal dan membela perjuangan kemerdekaan Palestina.

“Apakah yang kita lakukan untuk Palestina sudah cukup? Saya berharap kita semua tidak lupa untuk membela hak rakyat Palestina,” tegas Retno.

Perhatian yang sama juga Indonesia berikan kepada pengungsi Rohingnya. Menurutnya, isu Rohingnya dan krisis Myanmar merupakan bagian yang tak terpisahkan, sehingga satu-satunya solusi untuk mengakhiri krisis adalah dengan melahirkan solusi politik.

Merealisasikan pendekatan 5 Point Consensus, yang disepakati para pemimpin Asia Tenggara untuk menyudahi kisruh politik Myanmar pascakudeta, merupakan langkah pertama untuk memastikan masa depan etnis Rohingnya.

Situasinya memang sangat kompleks. Rata-rata pengungsi Rohingnya di Bangladesh hidup dengan pendapatan kurang dari Rp3.500 per hari. Sementara, mereka yang masih tinggal di Rakhine hidup dalam penderitaan karena menjadi korban kekerasan pemerintah.

Mereka yang mengungsi pasti menolak pulang ke Myanmar karena tidak memiliki kepastian hidup.

“Saat ini, masyarakat Rohingya menangis dalam senyap. Hanya karena kita tidak bisa mendengar tangisan mereka, kita tidak boleh tinggal diam,” ujar Retno pada dialog bertajuk Have they Forgotten Us? Ensuring Continued Global Solidarity with the Rohingya of Myanmar.

4. Memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia

Unjuk Taji Indonesia sebagai Pemain GlobalInfografis diplomasi Indonesia selama SMU PBB (IDN Times/Aditya Pratama)

Sesuatu yang juga menarik disoroti adalah bagaimana Retno memanfaatkan kehadiran ratusan pejabat tinggi dari berbagai negara sepanjang perhelatan High Level Week. Selama kurang lebih 9 hari di New York, Retno telah melakukan 17 pertemuan proper bilateral dan 31 pull aside bilateral.

Proper bilateral adalah pertemuan antara dua pejabat negara yang digelar secara terstruktur atau terjadwal dengan durasi sekitar 15-20 menit. Adapun pull aside bilateral adalah pertemuan antara dua pejabat negara yang berlangsung secara kondisional, biasanya sebelum atau sesudah acara sambil berjalan atau berdiri.

Markas Besar PBB seluas 18 hektare, yang berdiri kokoh berdampingan dengan East River New York, tak terhindarkan lagi menjadi arena diplomasi. PBB pun memfasilitasinya dengan membangun 28 bilik seluas 12 meter yang diputari hijab pembatas setinggi 2 meter.

Repotnya dari mempersiapkan pertemuan bilateral adalah menyesuaikan waktu antara kedua pihak. Apalagi jika pesan yang disampaikan sangat penting, sehingga harus dilakukan dalam format proper bilateral.

Alhasil, kelincahan dan kebugaran Retno menjadi modal utama. Dia harus sigap loncat dari satu ruangan menuju bilik bilateral, kemudian menghadiri acara di ruangan lain, setelah itu balik ke ruangan bilateral lagi. Jika di tengah jalan bertemu dengan Menlu negara lain, bukan tidak mungkin Retno berhenti untuk melakukan pull aside bilateral. Mungkin sekitar 5-10 menit. 

“Permintaan bilateral sangat banyak. Kita sudah menerima 80 permintaan pertemuan bilateral,” kata Retno.

Paling tidak, ada dua misi nasional yang Retno suarakan dalam setiap pertemuan bilateral, yaitu pencalonan Indonesia sebagai anggota Dewan HAM PBB 2024-2026 dan aksesi keanggotaan Indonesia dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD).

Wakil Tetap RI untuk PBB di New York, Arrmanatha Nasir, meyakini bahwa kontribusi Indonesia di kancah global akan semakin paten jika terpilih sebagai anggota Dewan HAM 2024-2026, yang proses voting-nya dilakukan pada 10 Oktober 2023.

“Kita bisa terlibat aktif dalam pembahasan, memajukan, dan mempromosikan isu-isu HAM di berbagai belahan dunia. Untuk Dewan HAM, memang prioritasnya juga untuk pembangunan Indonesia. Karena selama ini kita aktif memajukan HAM di dalam negeri dan ASEAN. Kita ingin terus memainkan peran itu,” kata Tata, sapaan akrabnya, menjelaskan kenapa Indonesia ingin jadi anggota Dewan HAM PBB.

Indonesia -bersama Jepang, Kuwait dan China- akan mewakili Asia Pasifik untuk menduduki anggota Dewan HAM. Kendati sudah ada kesepakatan dari negara-negara Asia Pasifik, empat negara itu tetap harus melewati proses voting di forum yang lebih luas.

“Asia Pasifik punya empat kuota dan sudah bulat negara mana saja yang dicalonkan. Tapi itu tidak otomatis terpilih, harus melalui voting dari semua anggota PBB. Nah, itu juga bukan proses yang gampang sampai akhirnya terpilih empat negara itu, harus melalui negosiasi antarnegara Asia Pasifik,” beber Tata.

Ihwal aksesi keanggotaan OECD, organisasi beranggotakan 38 negara yang bertujuan mempromosikan pertumbuhan ekonomi, Indonesia juga memiliki kepentingan besar. Bergabung dengan OECD akan merefleksikan bahwa Indonesia merupakan negara yang aman dan stabil untuk berinvestasi.

Indonesia harus melewati proses panjang. Langkah awalnya dimulai pada Agustus 2023, ketika Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menerima lawatan Sekjen OECD. Jakarta harus mendapat restu pencalonan dari seluruh anggota OECD secara konsensus, barulah bisa memasuki tahap aksesi keanggotaan.

Retno pun memanfaatkan High Level Week untuk menggalang dukungan politik tersebut. Dari 45 pertemuan, Retno menemui setidaknya 19 pejabat negara anggota OECD. Terkait lobi anggota Dewan HAM PBB, setidaknya ada beberapa pertemuan yang bisa mendukung pencalonan Indonesia, seperti bilateral dengan Palang Merah Internasional (ICRC), Kantor Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA), dan Sekjen PBB.

“Semua pertemuan bilateral dimanfaatkan untuk menggalang dukungan keanggotaan Indonesia di Dewan HAM PBB dan OECD. Alhamdulillah, semua responsnya positif dan mendukung Indonesia,” kata Retno.

Memperoleh komitmen politik belum cukup bagi Indonesia. Proses aksesi menuntut Indonesia melakukan reformasi hukum dan ekonomi, yang prosesnya bisa memakan waktu tiga sampai delapan tahun. Kendati tidak mudah, bergabung dengan OECD dianggap menjadi langkah krusial untuk mewujudkan Indonesia Maju 2045.

“Kita perlu membenahi standar dan aturan Indonesia sesuai yang ada di OECD. Itu akan membantu membangun institusi ekonomi kita, agar Indonesia punya standar yang sama seperti negara maju, sehingga membantu masuknya investasi ke dalam negeri,” kata Tata.

Baca Juga: 7 Potret OOTD Menlu Retno selama Sidang Umum PBB, Kece Parah!

5. Indonesia sebagai representasi Global South

Unjuk Taji Indonesia sebagai Pemain GlobalMenlu RI Retno Marsudi di SDG Summit 2023 (Dok. Billy PTRI New York)

Dalam banyak kesempatan, Indonesia kerap mengambil posisi sebagai “juru bicara” negara berkembang. Retorika yang digemakan Retno dalam SMU PBB adalah Bandung Spirit, warisan Konferensi Asia-Afrika 1955 yang menginspirasi banyak negara untuk merdeka dari penjajahan.

Kendati Bandung Spirit sudah berusia hampir 70 tahun, Retno meyakini bahwa semangatnya tidak luntur. Ruhnya tetap eksis. Justru semakin relevan di tengah kondisi dunia, kata Retno, yang berada di persimpangan. Penjajahan, kecuali Israel atas Palestina, mungkin sudah tidak ada lagi. Tapi, faktanya negara berkembang “terjajah” oleh sistem dunia yang menghambat mereka untuk jadi negara maju.

“Ketika Bandung Spirit lahir 1955, dunia saat itu berada di persimpangan, sama seperti sekarang. Spirit ini masih relevan dan selalu Indonesia bawa ke mana-mana. Hasilnya Indonesia mendapat trust, kita dapat memainkan peran sebagai jembatan,” kata Retno.

Memang, Retno tidak secara eksplisit menjelaskan apa yang dimaksud dengan “persimpangan”. Tapi, pidato Guterres mungkin bisa menjadi rujukan betapa semerawutnya konstelasi dunia saat ini.

“(Dunia) terpecah antara kekuatan ekonomi dan militer, terbagi antara Utara dan Selatan, Timur dan Barat. Kita semakin dekat dengan perpecahan besar dalam sistem ekonomi dan keuangan serta hubungan perdagangan,” ujar Guterres.

Keterlibatan Indonesia pada pencaturan politik global bukan hanya panggilan konstitusi. Ada momentum di sana. Salah satunya adalah Presidensi G20 yang dalam empat tahun berturut-turut dipegang oleh negara berkembang, yaitu Indonesia pada 2022, India pada 2023, Brasil pada 2024, dan Afrika Selatan pada 2025. 

“Bandung Spirit adalah aset (untuk diplomasi Indonesia di kancah global). Dan itu (semangatnya) juga dibawa oleh banyak negara,” kata Retno.

Vice President of Asia Regional Office of The Rockefeller Foundation, Deepali Khanna, juga menaruh harapan besar kepada Indonesia untuk setidaknya bisa mempersempit kesenjangan antara negara-negara Utara dengan Selatan.

“Indonesia sadar bahwa Global South (julukan untuk negara-negara berkembang) menghadapi berbagai tantangan pembangunan infrastruktur karena kurangnya dana. Indonesia telah secara aktif mangadvokasi tantangan dan peluang yang dihadapi Global South dalam forum internasional,” kata Khanna kepada IDN Times.

“Para peneliti sedang menyorot narasi diplomasi Indonesia yang membumi. Saya melihat Indonesia memimpin dengan memberi contoh. Saya mengharapkan advokasi Indonesia untuk Global South bisa meningkatkan peran kepemimpinannya dan mengedepankan posisinya (di panggung dunia),” tambahnya.

Terakhir, Retno pun berpesan bahwa perubahan adalah keniscayaan. Dan itu harus dilakukan sekarang. Dengan visi masa depan yang seragam. Melibatkan negara maju dan berkembang. 

“Negara berkembang tidak bisa sendiri, harus ada kolaborasi dan solidaritas. Waktu terbaik untuk bertindak mungkin telah berlalu. Tidak akan ada lagi kesempatan kedua, sekaranglah kesempatan kedua itu,” ujar Retno.

Topik:

  • Vanny El Rahman

Berita Terkini Lainnya