Indonesia Belum Mampu Akhiri Permasalahan Klasik ASEAN
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times – Pakar hubungan internasional, Mutiara Pertiwi, menilai Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2023 belum bisa mengakhiri permasalahan klasik yang membelenggu organisasi kawasan tersebut. Salah satu kendala yang dihadapi Indonesia adalah sikap negara anggota yang tidak solid.
Mutiara mencontohkan pertemuan informal antara Thailand dengan junta Myanmar pada Juni lalu, yang menunjukkan bahwa setiap negara anggota tidak memiliki pendekatan yang sama untuk mengakhiri krisis di Myanmar.
“Ternyata masih ada masalah-masalah yang tidak bisa direspons oleh ASEAN. Dan itu adalah masalah fundamental ASEAN yang sudah ada sejak 20 tahun lalu, dan ternyata masih krusial,” kata Mutiara kepada IDN Times.
“Misalnya ketika Indonesia kecolongan sama Thailand soal informal meeting. Selain mencoreng nama Indonesia sebagai ketua ASEAN, itu justru menunjukkan koordinasi di level intra regional sedang tidak kompak,” tambah dia, yang juga dosen Hubungan Internasional di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
1. Masih mengandalkan negara non-Asia Tenggara
Lebih lanjut, Mutiara menyoroti tantangan eksternal sebagai faktor yang mempersulit ASEAN untuk semakin solid, seperti perang Rusia-Ukraina, pemulihan pasca pandemik COVID-19, hingga persaingan negara adikuasa.
“Kondisi sekarang memang lagi sulit bagi ASEAN dan Indonesia untuk buat terobosan. Tiap negara lagi berusaha bangkit lagi, makanya outward looking kondisinya,” ujar Mutiara.
Di tengah situasi yang sulit, Mutiara justru menyayangkan sikap negara anggota yang lebih mengandalkan mitra di luar kawasan.
“Kualitas organisasi kelihatan di saat krisis. Ternyata kondisinya negara-negara ASEAN di masa krisis masih berorientasi ke luar kawasan daripada internal. Lagi-lagi ini masalah klasik ASEAN dari dulu, karena negara anggota lebih mengandalkan afiliasi dengan eksternal daripada internal member,” beber Mutiara.
Baca Juga: Menlu Retno: Hasil KTT ASEAN 2023 Merespons Kebutuhan Rakyat
2. Masalah Myanmar tidak mudah diselesaikan
Spesifik untuk kasus Myanmar, Mutiara menyadari bahwa konflik Myanmar bukan isu yang mudah ditangani. Sebab, ada berbagai kekuatan eksternal yang hadir mem-back up junta militer.
“Ternyata barrier cukup besar di kasus Myanmar, dan itu masuk akal. Junta Myanmar itu dijagain oleh Rusia, India, dan China, itu mereka yang abstain di resolusi Dewan Keamanan PBB. Jadi memang sulit untuk mendorong perubahan di Myanmar kalau tiga negara itu tidak dilibatkan,” jelas Mutiara.
Editor’s picks
Dia menyambung, “Indonesia kelihatan banget menjadikan Lima Poin Konsensus sebagai jangkar utama merespons isu Myanmar. Harusnya Indonesia bisa mendorong dengan memberikan tenggat waktu, seperti kapan harusnya negosiasi dimulai, kapan kekerasan harus dihentikan. Indonesia kan sudah klaim melakukan ratusan pertemuan dengan stakeholders Myanmar.”
3. ASEAN masih belum solid
Perempuan alumni Universitas Queensland itu mengakui bahwa negara-negara Asia Tenggara sangat responsif terhadap banyak isu, termasuk soal dinamika Myanmar hingga Laut China Selatan. Hanya saja, sikap itu muncul tidak mewakili ASEAN.
“Ini yang tricky melihat ASEAN. Orang akan berkata, negara ASEAN responsif kok menanggapi isu. Nah, yang kita perlu lebih teliti lagi adalah apakah itu respons individu negara atau dalam kerangka ASEAN,” tutur Mutiara.
Karena banyak permasalahan yang belum tuntas, alhasil tidak sedikit masyarakat menilai segala hal yang berkaitan dengan ASEAN adalah persoalan elitis semata.
“ASEAN, in many ways, masih jauh dari people oriented. Community belum bergerak atas nama kawasan,” kata Mutiara.
4. Pencapaian Indonesia patut diapresiasi
Terlepas dari kekurangannya sebagai Ketua ASEAN 2023, Mutiara pun mengapresiasi pencapaian Indonesia di masa yang sulit ini.
Kendati isu Laut China Selatan dan Myanmar tidak mengalami perkembangan signifikan, dua permasalahan yang menjadi sorotan di kawasan, Indonesia berhasil “menambalnya” dengan membuat capaian positif di bidang lain.
“Aku melihat ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) sebagai hal yang positif, karena ke depannya perkembangan geopolitik akan sedemikian intens dengan persaingan senjata dan lainnya. Jadi ada perubahan strategi yang harus direspons dan itu (AOIP) sudah bagus. Jadi Indonesia sudah melakukan apa yang mereka bisa lakukan, tapi memang kondisi ASEAN yang lagi tidak solid,” beber Mutiara.
Mutiara pun memberi sedikit catatan supaya tujuan dari AOIP bisa tercapai, yaitu ASEAN harus tuntas terlebih dahulu dengan permasalahan internalnya.
“Indonesia maunya AOIP jadi jangkar agenda ASEAN di masa depan. Bagaimana kita bisa membangun jangkar yang kokoh, prasyaratnya adalah ASEAN harus matters dulu nih. AOIP bisa berjalan kalau negara anggota solid. Kalau tidak begitu, jadinya ASEAN doesn’t matters,” demikian pesan Mutiara.
Baca Juga: Jokowi: Mari Kukuhkan Indo-Pasifik sebagai Teater Perdamaian