Pandemik COVID-19  dan Dampak Buruk Bagi Kesehatan Mental

Saat ini waktunya saling berempati kepada sesama

Jakarta, IDN Times - Virus corona telah menginfeksi hampir tiga juta orang dalam empat bulan terakhir. Selama kurun waktu yang sama, lebih dari 200.000 orang di dunia telah meninggal. Namun, bukan hanya mereka yang memiliki virus tersebut di dalam diri saja yang merasakan dampaknya, tapi juga orang-orang yang sehat secara jasmani.

Sebuah layanan penyedia dukungan kesehatan mental di Amerika Serikat, Crisis Text Line, mengatakan kepada BuzzFeed pada awal April lalu bahwa telah terjadi peningkatan volume pesan permintaan bantuan sebesar 40 persen. Mayoritas, atau sebanyak 80 persen, berkaitan dengan virus corona. Mereka mengaku kesepian dan merasa terisolasi selama pandemik COVID-19.

1. Masalah finansial tak luput sebagai penyebab banyak orang stres

Pandemik COVID-19  dan Dampak Buruk Bagi Kesehatan MentalSeorang pria berjalan saat lockdown di tengah penyebaran virus corona di Santiago, Chile, pada 27 Maret 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Pablo Sanhueza

Dalam jurnal yang diterbitkan di JAMA Psychiatry, tiga pakar kesehatan mental Mark A. Reger, Ian H. Stanley dan Thomas E. Joiner mengemukakan beberapa dampak pandemik COVID-19 yang bisa timbul. Misalnya, stres yang dilatarbelakangi kekhawatiran ekonomi. Setidaknya ada 47 persen teks yang diterima Crisis Text Line berisi keresahan soal ini.

Sebanyak 74 persen lainnya mengaku khawatir terhadap ketidakpastian masa depan termasuk stabilitas finansial. Di berbagai belahan dunia, orang-orang kehilangan pekerjaan dan sumber pendapatan mereka. Ini pun menimbulkan masalah berikutnya yaitu kesulitan membayar biaya tempat tinggal atau memenuhi kebutuhan dasar.

Baca Juga: Spanyol Longgarkan Lockdown, Ilmuwan Sebut Itu Terlalu Dini

2. Tak sedikit yang merasa kehilangan kebebasan hingga dibelenggu kesepian

Pandemik COVID-19  dan Dampak Buruk Bagi Kesehatan MentalSeorang pria beribadah di pusat isolasi sementara untuk pasien COVID-19 di Bashindhara Convention Centre di Dhaka, Bangladesh, pada 16 Maret 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Mohammad Ponir Hossain

Pandemik COVID-19 juga melahirkan konsekuensi perubahan kebiasaan secara drastis bagi banyak orang. Demi memutus mata rantai penyebaran virus, pemerintah sejumlah negara memberlakukan beragam aturan mulai dari pembatasan aktivitas hingga lockdown atau karantina secara total.

Ini mengakibatkan orang yang biasanya bebas melakukan berbagai kegiatan merasa sangat dibatasi, apalagi kemampuan beradaptasi masing-masing individu terhadap transisi yang mendadak tidak sama. Perasaan terisolasi dan kesepian pun sulit dihindari terutama bagi yang berusia lanjut dan tinggal sendiri.

3. Studi menunjukkan karantina secara umum berdampak buruk bagi kesehatan mental

Pandemik COVID-19  dan Dampak Buruk Bagi Kesehatan MentalSeorang wanita duduk di jendela sambil membaca buku saat seorang wanita lain lewat dengan kantung belanja saat pandemik COVID-19 di Athena, Yunani, pada 17 April 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Goran Tomasevic

Para psikolog dan pakar kesehatan mental sendiri sudah beberapa kali melakukan studi mengenai efek karantina terhadap manusia. Contohnya dalam jurnal yang ditulis oleh Silman Sprang pada 2013 soal respons unit keluarga usai hidup dalam karantina yang berhubungan dengan masalah kesehatan.

Anak-anak yang dikarantina rata-rata mengalami gejala stres pascatrauma empat kali lipat lebih tinggi dibanding yang tidak. Pada saat yang sama, sebanyak 28 persen orang tua yang dikarantina memperlihatkan gejala gangguan kejiwaan berhubungan dengan trauma. Hanya enam persen orang tua tak dikarantina yang menunjukkan gejala tersebut.

4. Pekerja kesehatan yang melakukan kontak dengan pasien mengalami masalah kesehatan mental

Pandemik COVID-19  dan Dampak Buruk Bagi Kesehatan MentalPetugas kesehatan merawat pasien yang diduga terinfeksi virus corona di UGD Pusat Klinik di Beograd, Serbia, pada 23 Maret 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Marko Djurica

Salah satu yang paling rentan merasakan dampak pandemik COVID-19 secara psikologis adalah para pekerja medis. Mereka berada di garda terdepan dengan melakukan kontak jarak dekat dalam waktu intens dan secara terus-menerus dengan pasien di fasilitas medis seperti rumah sakit. Kemudian, mereka harus menjalani karantina ketika tertular.

Pada 2012, studi yang dilakukan oleh pakar kejiwaan dari Mailman School of Public Health, Columbia University, Amerika Serikat terhadap para pekerja kesehatan saat terjadi wabah Sindrom Pernapasan Akut Berat (SARS) menunjukkan hasil yang cukup mencengangkan.

Sebanyak sembilan persen (48 dari 549) memperlihatkan gejala depresi tingkat tinggi, bahkan tiga tahun setelah wabah dinyatakan berakhir. Dari kelompok tersebut, hampir 60 persen atau 29 orang mengaku sempat dikarantina. Ada pun yang menunjukkan gejala depresi tingkat rendah sebanyak 15 persen (63 dari 424) pernah dikarantina.

5. Staf medis di Wuhan menampakkan stres akibat pandemik COVID-19

Pandemik COVID-19  dan Dampak Buruk Bagi Kesehatan MentalPetugas kesehatan memprotes kurangnya alat pelindung diri dan meminta tes bagi anggota mereka setelah sejumlah rekan mereka terinfeksi virus corona di San Martin, pinggiran Buenos Aires, Argentina, pada 17 April 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Agustin Marcarian

Apa yang dialami para pekerja kesehatan saat wabah SARS diyakini juga menimpa rekan-rekan mereka di Wuhan saat epidemi COVID-19. Kota di Provinsi Hubei, Tiongkok, tersebut merupakan lokasi pertama ditemukannya virus corona pada akhir 2019 lalu. Hingga kini, lebih dari 50.000 orang di kota itu terinfeksi dan kurang lebih 2.500 lainnya meninggal dunia.

Setidaknya ini yang bisa diamati dari survei online yang dilakukan pakar psikologi medis Peking University, Guan Ruiyuan. Survei yang dikutip oleh The Straits Times tersebut menemukan sekitar sepertiga dari 311 pekerja medis di Wuhan--mayoritas adalah dokter, perawat dan staf pendukung perempuan--mengaku mengalami masalah psikologis.

Sepertiga lainnya menilai dukungan dalam bentuk konseling kesehatan mental melalui online atau telepon akan membantu mereka dalam menghadapi kesulitan ini. Lebih lanjut, Guan memperkirakan antara 33 hingga 39 persen responden merasa gelisah, depresi dan gejala somatik seperti sakit kepala, nyeri, mual serta jantung berdebar kencang.

Baca Juga: Tertinggi! 37 Ribu Orang Amerika Terinfeksi Virus Corona dalam 1 Hari

6. Dikhawatirkan ada yang memilih jalan singkat seperti bunuh diri

Pandemik COVID-19  dan Dampak Buruk Bagi Kesehatan MentalKendaraan mengantri di perbatasan Delhi-Ghaziabad saat perpanjangan lockdown untuk memperlambat penyebaran virus corona di New Delhi, India, pada 21 April 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Adnan Abidi

Angka-angka di atas menguatkan bahwa situasi saat ini memiliki efek serius terhadap masyarakat secara umum, baik pekerja, orangtua, anak, maupun para staf medis. Gangguan terhadap stabilitas mental pun dikhawatirkan akan mendorong mereka yang mengalaminya untuk mengambil jalan singkat.

Dalam jurnal tentang kaitan antara risiko kerja di bidang kesehatan dan tingkat bunuh diri yang diterbitkan nirlaba PLOS ONE pada 2019 lalu, ditemukan bahwa profesi dokter serta perawat sangat rentan terhadap tindakan bunuh diri. Ini karena mereka kerap berhadapan dengan berita buruk dan jam kerja yang sangat panjang.

Studi yang dilakukan King's College, London, pada Februari lalu juga memperlihatkan bagaimana orang-orang yang dikarantina lebih dari 10 hari saat wabah seperti SARS terjadi justru malah kecanduan alkohol. Ini dianggap sebagai cara untuk mengalihkan perhatian dari krisis yang terjadi.

7. Butuh perhatian khusus terhadap layanan kesehatan mental

Pandemik COVID-19  dan Dampak Buruk Bagi Kesehatan MentalBadut tampil untuk menghibur anak-anak Palestina saat pandemik virus corona di Khan Younis, Jalur Gaza, pada 19 April 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Ibraheem Abu Mustafa

Dengan kenyataan tersebut, sudah sewajarnya semakin ada perhatian khusus untuk layanan kesehatan mental bagi yang membutuhkan. Ini yang dilakukan oleh Beyonce dengan mendonasikan Rp93 miliar salah satunya untuk program kesehatan mental ke beberapa institusi di Amerika Serikat.

Melalui situs resminya, Beyonce mengaku menilai beban mental yang dipikul orang-orang tanpa akses ke kebutuhan dasar selama pandemik semakin meningkat, terutama bagi warga kulit hitam dan minoritas lainnya. "Ini adalah waktu yang belum terjadi sebelumnya dan ini memerlukan upaya kolektif kita untuk membuat perubahan," tulisnya.

Sementara itu, di Indonesia sendiri Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) membuka layanan bantuan edukasi dan konseling di tengah COVID-19 melalui aplikasi WhatsApp. Sayangnya, hingga tulisan ini terbit, tidak ada satu pun anggota HIMPSI yang bersedia untuk diwawancara.

Baca Juga: Jumlah Kasus Virus Corona di Dunia Hampir Tembus 3 Juta

Topik:

  • Dwifantya Aquina
  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya