4 Negara Gugat Taliban ke ICJ atas Diskriminasi Perempuan

Gugatan diajukan Kanada, Australia, Jerman, dan Belanda

Intinya Sih...

  • Empat negara barat menggugat Taliban ke Mahkamah Internasional atas diskriminasi gender.
  • Gugatan didasarkan pada Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang diadopsi PBB pada 1979.
  • Taliban akan diberi waktu enam bulan untuk merespons sebelum ICJ mengadakan sidang.

Jakarta, IDN Times - Empat negara barat mengambil langkah berani dengan menggugat Taliban ke Mahkamah Internasional (ICJ) atas diskriminasi gender. Kanada, Australia, Jerman, dan Belanda mengumumkan tindakan ini pada Rabu (25/9/2024) dalam Sidang Umum PBB di New York.

Langkah ini menjadi tonggak sejarah karena pertama kalinya ICJ digunakan untuk kasus diskriminasi gender antar negara.

Gugatan didasarkan pada Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang diadopsi PBB pada 1979 dan mulai berlaku pada 1981. Afghanistan sendiri telah meratifikasi CEDAW pada 2003, jauh sebelum Taliban mengambil alih kekuasaan pada 2021. 

1. Taliban diberi waktu enam bulan untuk merespon gugatan

Setelah pengajuan gugatan, Taliban akan diberi waktu enam bulan untuk merespons sebelum ICJ mengadakan sidang.

Meskipun ada kemungkinan Taliban tidak akan mengakui otoritas pengadilan, putusan ICJ diharapkan tetap memiliki dampak signifikan. Melansir dari The Guardian, putusan ICJ dinilai bisa memiliki efek jera terhadap negara-negara lain yang ingin menormalisasi hubungan diplomatik dengan Taliban.

Negara-negara penandatangan ICJ diharapkan mematuhi putusannya, yang bisa mempengaruhi hubungan diplomatik dengan Taliban di masa depan. Sementara, keempat negara penggugat menyatakan kesediaan mereka untuk bernegosiasi dengan Taliban guna mengakhiri diskriminasi gender.

2. Gugatan diharapkan dapat jadi contoh internasional

Inisiatif gugatan ini mendapat dukungan kuat dari tiga menteri luar negeri perempuan: Penny Wong dari Australia, Annalena Baerbock dari Jerman, dan Mélanie Joly dari Kanada. Menlu Belanda, Caspar Veldkamp, juga turut mendukung langkah ini.

Para aktivis Afghanistan dan pembela hak asasi manusia menyerukan PBB untuk bertindak melindungi dan memulihkan hak-hak perempuan dan anak perempuan di Afghanistan. Asila Wardak, pemimpin Forum Perempuan Afghanistan, menyebut sistem yang diterapkan Taliban sebagai "apartheid gender".

"Ini bukan hanya masalah Afghanistan, tapi bagian dari perjuangan global melawan ekstremisme," tegas Wardak.

Sementara itu, Akila Radhakrishnan, penasihat hukum strategis dari Atlantic Council, menyatakan optimisme.

"Kasus ini berpotensi tidak hanya memberikan keadilan bagi perempuan Afghanistan, tapi juga menciptakan preseden baru untuk keadilan gender di tingkat internasional," ujarnya.

3. Taliban larang perempuan bersuara keras atau bernyanyi di depan umum

4 Negara Gugat Taliban ke ICJ atas Diskriminasi PerempuanDemo tolak rezim Taliban. (unsplash.com/Ehimetalor Akhere Unuabona)

Selama pemerintahan Taliban, hak-hak perempuan di Afghanistan telah dibatasi secara drastis. Baru-baru ini, Taliban melarang perempuan Afghanistan berbicara di depan umum, sehingga memicu kampanye protes online sebagai bentuk perlawanan.

Melansir dari Indian Express, peraturan baru Taliban juga melarang perempuan meninggalkan rumah tanpa penutup tubuh lengkap dan tidak boleh bernyanyi atau bersuara keras di depan umum. Bahkan, taman umum pun ditutup untuk perempuan dan anak perempuan.

Aktor Hollywood Meryl Streep, dalam sebuah acara PBB, menggambarkan situasi ekstrem ini dengan perbandingan yang menohok.

"Kucing betina memiliki lebih banyak kebebasan daripada perempuan Afghanistan. Kucing bisa duduk di teras rumah dan merasakan sinar matahari di wajahnya. Burung boleh bernyanyi di Kabul, tapi gadis tidak boleh," ujar Streep.

Baca Juga: Taliban Hentikan Sementara Vaksinasi Polio di Afganistan

Leo Manik Photo Verified Writer Leo Manik

...

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Siantita Novaya

Berita Terkini Lainnya