Australia Larang Bos Hubungi Karyawan di Luar Jam Kantor

Denda hingga Rp979 juta bagi perusahaan pelanggar

Intinya Sih...

  • Australia memberlakukan undang-undang hak karyawan untuk memutuskan koneksi kerja di luar jam kantor.
  • Undang-undang berlaku kecuali bagi perusahaan kecil hingga 2025 dan karyawan dengan penghasilan di atas Rp1,8 miliar per tahun.
  • Komisi Fair Work Australia menentukan penolakan karyawan merespons yang wajar dan bisa dikenai denda hingga Rp979 juta bagi perusahaan pelanggar.

Jakarta, IDN Times - Australia resmi memberlakukan undang-undang hak karyawan untuk memutuskan koneksi mulai Senin (26/8/2024). Kebijakan baru ini memberi karyawan hak untuk mengabaikan email dan panggilan kerja di luar jam kantor tanpa takut mendapat hukuman.

Langkah ini diambil untuk mengatasi masalah invasi pekerjaan ke dalam kehidupan pribadi karyawan, yang semakin parah sejak pandemik COVID-19. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2023, karyawan Australia rata-rata bekerja 281 jam lembur tanpa dibayar. Jika ditotal nilainya mencapai 130 miliar dolar Australia atau sekitar Rp1.354 triliun.

John Hopkins, profesor asosiasi di Universitas Teknologi Swinburne, menjelaskan perubahan yang terjadi.

"Sebelum adanya teknologi digital, tidak ada pelanggaran batas. Orang-orang akan pulang ke rumah setelah shift berakhir dan tidak ada kontak sampai mereka kembali keesokan harinya," ujar Hopkins, dilansir dari Reuters.

1. Penghasilan di atas Rp1,8 miliar tidak dilindungi undang-undang

Undang-undang ini berlaku untuk sebagian besar karyawan di Australia, kecuali mereka yang bekerja di perusahaan kecil hingga tahun 2025. Karyawan dengan penghasilan di atas 175.000 dolar Australia atau sekitar Rp1,8 miliar per tahun juga dapat pengecualian.

Undang-undang baru ini memang memberikan hak kepada karyawan untuk mengabaikan kontak kerja di luar jam kantor Namun, pemberi kerja masih diizinkan untuk menghubungi karyawan mereka.

Karyawan dapat menolak untuk merespons jika dianggap wajar berdasarkan beberapa faktor. Faktor-faktor ini termasuk alasan kontak, cara kontak dibuat, tingkat gangguan terhadap kehidupan karyawan, dan sifat peran karyawan.

Dr. Gabrielle Golding dari Fakultas Hukum Universitas Adelaide menjelaskan batasan undang-undang ini. Menurutnya, undang-undang ini bukan untuk melarang kontak di luar jam kerja secara total, tapi untuk memberi karyawan pilihan untuk mengabaikannya.

Australia bukan negara pertama yang menerapkan kebijakan semacam ini. Sekitar 24 negara, terutama di Eropa dan Amerika Latin, telah memiliki undang-undang serupa. Prancis menjadi pelopor dengan memperkenalkan aturan semacam ini pada tahun 2017.

2. Komisi Fair Work tentukan keabsahan penolakan respons karyawan

Komisi Fair Work Australia akan berperan penting dalam menentukan apakah penolakan karyawan untuk merespons dianggap wajar. Jika terjadi pelanggaran, denda yang cukup besar bisa dijatuhkan, mencapai Rp197 juta untuk karyawan atau hingga Rp979 juta untuk perusahaan.

Proses penyelesaian sengketa dimulai dengan karyawan yang harus mengajukan keluhan langsung kepada pemberi kerja. Jika tidak terselesaikan, masalah dapat dibawa ke Komisi Fair Work. Komisi kemudian dapat memerintahkan mediasi, konsiliasi, atau arbitrasi untuk menyelesaikan sengketa.

Michele O'Neil, presiden Dewan Serikat Pekerja Australia, mendukung undang-undang ini. Ia memberikan contoh kasus yang sering terjadi. Misalnya, ketika seorang karyawan yang baru pulang tengah malam dihubungi untuk kembali bekerja lebih awal keesokan harinya.

O'Neil menambahkan harapannya terhadap dampak undang-undang ini.

"Sangat mudah untuk membuat kontak, akal sehat tidak lagi diterapkan. Kami pikir ini akan membuat atasan berhenti sejenak dan berpikir apakah mereka benar-benar perlu mengirim pesan teks atau email itu," tambahnya.

3. Kelompok industri khawatir fleksibilitas kerja berkurang

Undang-undang ini diharapkan dapat mengurangi stres dan kelelahan kerja, serta meningkatkan produktivitas. Namun, tidak semua pihak menyambut baik kebijakan baru ini. Kelompok Industri Australia mengkritik, menyatakan bahwa undang-undang ini akan menciptakan kebingungan dan mengurangi fleksibilitas dalam pekerjaan.

"Undang-undang ini datang tiba-tiba tanpa persiapan yang cukup. Pemerintah kurang berkonsultasi dengan kami tentang dampak praktisnya, sehingga pemberi kerja tidak punya cukup waktu untuk menyesuaikan diri," kata kelompok tersebut pada Kamis lalu.

Dr. Rachael Potter dari pusat keunggulan tempat kerja Universitas Australia Selatan menekankan pentingnya perubahan budaya. Ia menjelaskan tantangan yang mungkin dihadapi karyawan.

"Sulit bagi karyawan untuk menolak ketika manajer yang mengirim email. Yang kita butuhkan adalah budaya kerja baru, di mana atasan dan rekan kerja sepakat bahwa ada waktu khusus untuk istirahat dan memulihkan diri tanpa gangguan pekerjaan," jelas Potter, dilansir dari The Guardian.

Ada juga spekulasi tentang industri tertentu yang mungkin tidak cocok untuk menerapkan hak untuk memutuskan koneksi. Namun, Golding berpendapat bahwa dampak stres yang berlebihan, kelelahan, dan tekanan karyawan juga akan berdampak buruk bagi klien.

Karyawan didorong untuk menetapkan batasan mereka sendiri, seperti mematikan notifikasi dan memiliki waktu transisi setelah bekerja. Golding menekankan pentingnya keseimbangan hidup.

"Hidup adalah untuk dijalani, dan pekerjaan Anda hanyalah salah satu bagian dari hidup Anda, bukan keseluruhannya," tutup Golding.

Baca Juga: PM Australia Janji akan Hadiri Pelantikan Prabowo di Oktober 

Leo Manik Photo Verified Writer Leo Manik

...

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Siantita Novaya

Berita Terkini Lainnya