Warga Irak Protes RUU yang Akan Legalkan Pernikahan Anak

Demonstrasi dilakukan di seluruh negeri

Jakarta, IDN Times - Warga Irak melakukan demonstrasi di seluruh negeri pada Kamis (8/8/2024) untuk menyuarakan penolakan mereka terhadap usulan amandemen Undang-Undang Status Pribadi Irak, yang dinilai dapat melegalkan pernikahan anak dan membatasi hak-hak perempuan.

Protes ini diinisiasi oleh Koalisi 188, yang terdiri dari pengacara, aktivis, politisi dan kelompok hak asasi manusia. Kelompok itu mengatakan bahwa demonstrasi diadakan di berbagai kota di provinsi Irak, termasuk Baghdad, Basra, Kirkuk, Najaf, Diwaniyah, Babil dan Dhi Qar.

Koalisi 188 dinamai sesuai dengan UU Status Pribadi Irak yang disahkan pada 1959, yang secara resmi dikenal sebagai UU No. 188. Para aktivis mengatakan bahwa UU tersebut secara luas dianggap sebagai salah satu dokumen hukum terbaik untuk menjaga hak-hak perempuan di Timur Tengah.

“Kami akan menjaga persatuan kami, keluarga Irak, hak-hak dan martabat perempuan dengan melakukan aksi hari ini untuk memprotes rancangan undang-undang yang merendahkan martabat ini dan tidak hanya berdampak pada perempuan tetapi juga laki-laki,” kata Suhalia Al Assam, seorang aktivis hak perempuan terkemuka kepada The Nasional.

1. Kelompok HAM khawatir amandemen tersebut akan melegalkan pernikahan anak

Parlemen Irak saat ini sedang mempertimbangkan rancangan undang-undang (RUU) yang memungkinkan warga negara memilih otoritas agama atau pengadilan sipil untuk menangani urusan keluarga.

Para kritikus menilai amandemen tersebut, yang diajukan oleh sebagian besar anggota parlemen Muslim Syiah, dapat mengakibatkan hilangnya hak perempuan dalam masalah warisan, perceraian, dan hak asuh anak.

Kelompok hak asasi manusia juga khawatir bahwa RUU tersebut akan secara efektif menghapuskan usia minimum bagi perempuan Muslim untuk menikah, yang saat ini ditetapkan pada usia 18 tahun. 

"Dengan memberikan kekuasaan atas pernikahan kepada otoritas agama, amandemen tersebut akan merongrong prinsip kesetaraan di bawah hukum Irak. Amandemen ini juga dapat melegalkan pernikahan anak-anak perempuan yang masih berusia sembilan tahun, mencuri masa depan dan kesejahteraan mereka," kata peneliti di Human Rights Watch (HRW), Sarah Sanbar.

“Anak-anak perempuan seharusnya berada di taman bermain dan di sekolah, bukan mengenakan gaun pengantin,” tambahnya.

Menurut badan anak-anak PBB (UNICEF), 28 persen anak perempuan di Irak sudah menikah sebelum usia 18 tahun. HRW juga memperingatkan bahwa para pemimpin agama di Irak melakukan ribuan pernikahan yang tidak terdaftar setiap tahunnya, termasuk pernikahan anak-anak, yang melanggar hukum yang berlaku saat ini.

Baca Juga: Kelompok HAM Kecam Eksekusi Mati Demonstran di Iran

2. RUU tersebut berisiko memperkuat sistem patriarki di Irak

Berdasarkan usulan amandemen tersebut, setiap Muslim yang sudah dewasa dan ingin menikah harus memilih antara UU No.188 atau aturan Syariah Islam sebagai dasar untuk mengatur urusan keluarga. Selain itu, pasangan yang sudah menikah juga diperbolehkan untuk berpindah dari hukum sipil ke peraturan agama.

Dilansir Gulf News, pakar konstitusi Zaid Al Ali mengatakan bahwa UU No. 188 mengadopsi aturan paling progresif dari masing-masing sekte yang berbeda, sehingga menimbulkan kejengkelan besar bagi otoritas Islam.

Sejumlah upaya untuk membatalkan UU ini dan kembali ke aturan Islam tradisional telah dilakukan sejak invasi yang dipimpin Amerika Serikat (AS) untuk menggulingkan Saddam Hussein pada 2003. Kali ini, para legislator mempertahankan UU No.18 dengan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memilih UU tersebut atau otoritas agama.

“Mereka memberi pria opsi untuk memilih sesuai kepentingan mereka sendiri. RUU tersebut akan memberikan mereka lebih banyak kekuasaan atas perempuan serta lebih banyak kesempatan untuk mempertahankan kekayaan, kontrol atas anak-anak, dan seterusnya," kata Ali.

"Dengan memberikan pilihan kepada masyarakat, saya rasa mereka pada dasarnya mencoba untuk meningkatkan kemungkinan undang-undang ini diterima,” tambahnya.

3. Belasan anggota parlemen perempuan bentuk blok untuk menentang RUU tersebut

Hassan Wahhab, pendiri dan presiden Konsorsium Pembela dan Aktivis Hak Asasi Manusia Irak, mengatakan bahwa RUU tersebut harus dipelajari dengan cermat untuk memastikan perlindungan terhadap hak-hak perempuan dan anak-anak.

“Kami menyalahkan parlemen karena tidak berkonsultasi dengan para ahli dan organisasi untuk mencapai amandemen yang dapat diterima dan tidak memihak, serta mempertimbangkan hak-hak anak dan perempuan,” katanya kepada The National.

Lebih dari 15 anggota parlemen perempuan juga telah membentuk blok untuk menentang RUU tersebut. Mereka mengadakan beberapa pertemuan dengan pemimpin politik dan mengajak perempuan lain untuk bergabung dengan mereka.

Mereka juga mengkritik para legislator karena tidak memberikan rincian lengkap tentang usulan amandemen tersebut atau menjelaskan potensi dampaknya jika disetujui.

“Penolakan kami tidak didasarkan pada masalah emosional, seperti yang mungkin diklaim oleh beberapa orang, juga tidak didorong oleh motif eksternal, melainkan berdasarkan pengamatan hukum, agama, profesional, dan sosial, dan berasal dari keprihatinan yang tulus untuk melindungi keluarga Irak,” kata blok perempuan tersebut.

Baca Juga: Kerangka 139 Korban ISIS Ditemukan di Kuburan Massal Irak

Fatimah Photo Verified Writer Fatimah

Long life learner

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Rama

Berita Terkini Lainnya