Warga Gaza: Lebih Baik Mati daripada Pergi dari Sini!

Israel perintahkan warga Gaza untuk evakuasi

Jakarta, IDN Times - Israel memerintahkan sekitar 1 juta warga di Gaza utara untuk mengungsi ke bagian selatan dalam waktu 24 jam pada Jumat (13/10/2023). Militer Israel berencana menargetkan infrastruktur militer Hamas, yang sebagian besar terkubur jauh di bawah tanah di kota tersebut.

Israel telah membombardir Gaza hampir sepanjang waktu sejak Hamas meluncurkan serangan mendadaknya pada akhir pekan lalu. Dalam serangan itu, ratusan orang tewas dan sekitar 150 sandera dari Israel dibawa ke Gaza.

Dilansir NDTV, meskipun beberapa warga Gaza mengindahkan seruan untuk pergi, namun hingga Jumat sore hanya ada sedikit tanda-tanda eksodus massal.

“Kematian lebih baik daripada pergi. Saya lahir di sini, dan saya akan mati di sini, meninggalkannya adalah sebuah stigma,” kata Mohammad, berdiri di jalan di luar sebuah bangunan yang hancur akibat serangan udara Israel di dekat pusat Gaza.

Badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memperingatkan bahwa eksodus massal tersebut akan menjadi bencana. Pihaknya mendesak Israel untuk membatalkan perintah tersebut. 

“Jeratan di sekitar penduduk sipil di Gaza semakin ketat. Bagaimana 1,1 juta orang bisa berpindah melintasi zona perang yang padat penduduknya dalam waktu kurang dari 24 jam?” tulis Kepala Bantuan PBB Martin Griffiths di media sosial.

1. Hamas minta warga Gaza tetap tinggal

Sementara itu, Hamas meminta masyarakat Gaza untuk tetap tinggal di rumah mereka. Kelompok itu mengatakan perintah militer Israel adalah perang psikologis yang digunakan untuk mematahkan solidaritas mereka.

Banyak warga yang ragu untuk pergi, terutama karena kondisi keamanan yang tidak menentu. Serangan udara terus membombardir hampir di seluruh penjuru Gaza. Sementara, warga kehilangan akses terhadap makanan, air, listrik dan pasokan medis akibat blokade Israel.

“Lupakan makanan, lupakan listrik, lupakan bahan bakar. Satu-satunya kekhawatiran saat ini adalah apakah Anda bisa bertahan, apakah Anda ingin hidup,” kata Nebal Farsakh, juru bicara Bulan Sabit Merah Palestina di Kota Gaza, sambil menangis tersedu-sedu.

Dilansir Associated Press, Kementerian Kesehatan Gaza hingga Jumat melaporkan bahwa sekitar 1.800 orang telah terbunuh di wilayah tersebut. Sebagian besar di antaranya berusia di bawah 18 tahun atau para perempuan.

Serangan Hamas pada Sabtu (7/10/2023) lalu menewaskan lebih dari 1.300 warga Israel, yang sebagian besar adalah warga sipil. Sekitar 1.500 pejuang Hamas tewas dalam pertempuran tersebut, kata pemerintah Israel.

Baca Juga: Imbas Konflik Gaza, 3 Sekolah Yahudi di London Ditutup

2. Warga khawatir peristiwa Nakba terulang

Warga Kota Gaza, Khaled Abu Sultan, mengaku sempat tidak percaya dengan perintah evakuasi. Kini, dia tidak yakin apakah akan mengevakuasi keluarganya ke selatan.

“Kami tidak tahu apakah ada daerah aman di sana. Kami tidak tahu apa-apa," kata Sultan.

Keluarga lain menghubungi teman dan kerabat di Gaza selatan, untuk mencari perlindungan. Namun, mereka berubah pikiran. Banyak yang khawatir tidak dapat kembali ke Gaza atau secara bertahap mengungsi ke Semenanjung Sinai, Mesir.

Lebih dari separuh warga Palestina di Gaza merupakan keturunan pengungsi dari perang Arab-Israel pada 1948. Saat itu, ratusan ribu orang melarikan diri atau diusir dari tempat yang kini disebut Israel. Eksodus massal tersebut dikenal sebagai Nakba, yang berarti malapetaka.

Bagi warga Gaza, perintah evakuasi massal kali ini telah memicu kekhawatiran soal Nakba kedua. PBB, pada Kamis (12/10/2023), mengatakan sedikitnya 423 ribu orang, atau hampir 1 dari 5 warga Gaza, terpaksa meninggalkan rumahnya akibat serangan udara Israel.

“Di manakah rasa aman di Gaza? Apakah ini yang ditawarkan Hamas kepada kita? Apa yang telah dilakukan Hamas terhadap kami? Ini membawa malapetaka bagi kami,” kata seorang warga bernama Tarek Mraish.

3. Rumah sakit tidak dapat mengevakuasi para pasien

Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan tidak mungkin untuk mengevakuasi banyak orang yang terluka dari rumah sakit. 

“Kami tidak bisa mengevakuasi rumah sakit dan membiarkan korban luka dan sakit meninggal,” kata juru bicara Ashraf al-Qidra.

Farsakh, dari Bulan Sabit Merah Palestina, mengatakan beberapa petugas medis menolak untuk pergi dan meninggalkan pasiennya. Mereka lantas menelepon rekannya  untuk mengucapkan selamat tinggal.

“Apa yang akan terjadi pada pasien kita? Ada orang-orang yang luka, ada orang lanjut usia, dan ada anak-anak yang dirawat di rumah sakit," ujar dia. 

Juru bicara Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), Juliette Touma, mengatakan pihaknya tidak akan mengevakuasi sekolahan, tempat di mana ratusan ribu orang mengungsi. Namun mereka merelokasi kantor pusatnya ke Gaza selatan.

Ketika ditanya mengenai apakah tentara akan melindungi rumah sakit, tempat penampungan PBB dan lokasi sipil lainnya di Gaza, juru bicara militer Israel, Daniel Hagari, memperingatkan bahwa wilayah tersebut adalah zona perang.

“Jika Hamas menghalangi warga untuk mengungsi, tanggung jawab ada di tangan mereka,” tambahnya.

Meski PBB mengatakan perintah evakuasi yang diterimanya memberikan warga Palestina waktu 24 jam untuk evakuasi, namun militer mengatakan bahwa tidak ada batas waktu resmi.

Baca Juga: Netanyahu Sebut Serangan Israel ke Gaza Baru Permulaan

Fatimah Photo Verified Writer Fatimah

null

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Vanny El Rahman

Berita Terkini Lainnya