Takut Dipersekusi Israel, Anak Muda Palestina Batasi Aktivitas Digital

Mereka tidak lagi merasa aman di dunia maya

Jakarta, IDN Times - Sejak meletusnya perang di Gaza, anak-anak muda Palestina di Tepi Barat dan Yerusalem telah membatasi aktivitas digital mereka demi menghindari serangan dan intimidasi oleh pasukan Israel. Hal ini terungkap dalam laporan terbaru The Arab Center for the Advancement of Social Media, atau yang juga dikenal sebagai 7amleh.

Banyak warga Palestina mengaku mengalami sejumlah masalah, seperti penyensoran, akses internet yang terbatas, dan penghapusan unggahan, yang membuat mereka enggan menggunakan media sosial. 7amleh menyebut tindakan “self-censor” ini sebagai aspek yang mengkhawatirkan dari realitas digital yang dihadapi anak muda Palestina.

Laporan tersebut mengidentifikasi pendudukan Israel, platform digital, otoritas Palestina, serta individu dan perusahaan swasta, sebagai pelanggar hak digital terhadap warga Palestina.

"Penelitian ini mengonfirmasi ekspektasi kami terhadap realitas hak-hak digital generasi muda Palestina, di mana rasa aman dalam dunia digital telah memburuk hingga ke titik di mana rasa takut dan sensor diri telah merajalela," kata Jalal Abukhater, manajer advokasi 7amleh, kepada The New Arab.

1. Ancaman dan serangan digital membuat pengguna takut dan merasa tidak aman

Dalam laporan berjudul "Keamanan Digital di Kalangan Pemuda Palestina: Studi tentang Ancaman dan Tantangan dalam Konteks Perang di Gaza", sebanyak 39 persen responden yang berusia 15-30 tahun di wilayah pendudukan pernah menghapus unggahan politik karena takut diancam.

Selain itu, 50 persen responden melaporkan bahwa pembatasan di platform media sosial telah menyebabkan mereka mengurangi aktivitas online. Setengah dari responden juga mengaku pernah ditanyai oleh agen keamanan Israel atau mengetahui orang lain yang menghadapi pengawasan serupa karena postingan media sosial mereka.

Abukhater mengatakan bahwa risiko ancaman dan serangan digital, terutama saat membahas isu-isu politik yang berkaitan dengan Palestina, membuat para pengguna membatasi diri di media sosial karena rasa takut dan perasaan tidak aman. Menurutnya, hal ini dapat menghilangkan kreativitas dan membungkam suara-suara yang seharusnya berkontribusi pada dunia maya yang dinamis.

“Sensor mandiri ini mengabaikan hak dasar warga Palestina untuk mengakses informasi dan berekspresi secara bebas,” tambahnya.

Baca Juga: Hizbullah Luncurkan Serangan Intens ke Israel

2. Militer Israel periksa ponsel warga Palestina secara paksa di pos pemeriksaan

Situasi diperburuk oleh tindakan Israel yang kerap memeriksa ponsel secara paksa di pos-pos pemeriksaan di seluruh Tepi Barat dan Yerussalem. Para pemuda Palestina kemudian dipukuli dan dipermalukan, terlepas dari apa yang ditemukan di perangkat mereka.

“Taktik intimidasi seperti itu tidak hanya melanggar privasi tetapi juga menciptakan iklim ketakutan yang menghambat kebebasan berekspresi dan kreativitas,” kata Abukhater.

“Apa yang harus dilakukan untuk memitigasi hal ini termasuk meningkatkan kesadaran mengenai keamanan digital, pentingnya melindungi informasi pribadi, termasuk kursus pendidikan tentang keamanan digital dalam kurikulum sekolah, dan mengadvokasi perlindungan yang lebih kuat terhadap hak-hak digital," tambahnya.

3. Meta sensor konten Palestina

Dalam laporannya tahun lalu, Human Rights Watch (HRW) menyatakan bahwa Meta, yang mengelola Instagram dan Facebook, secara sistematis menyensor konten tentang Palestina di jejaring sosial mereka.

Laporan yang berjudul "Janji Meta yang Diingkari: Sensor Sistemik terhadap Konten Palestina di Instagram dan Facebook" itu mendokumentasikan pola penghapusan dan penindasan yang tidak semestinya terhadap kebebasan berpendapat, termasuk ekspresi damai yang mendukung Palestina dan perdebatan publik tentang hak asasi manusia di negara tersebut.

“Penyensoran Meta terhadap konten yang mendukung Palestina menambah penghinaan pada saat kekejaman dan penindasan yang tak terkatakan telah menghambat ekspresi warga Palestina,” kata Deborah Brown, penjabat direktur asosiasi teknologi dan hak asasi manusia di HRW, dikutip MEE. 

“Media sosial adalah platform penting bagi masyarakat untuk memberikan kesaksian dan berbicara menentang pelanggaran, sementara penyensoran Meta semakin menghapus penderitaan warga Palestina,” tambahnya.

Awal tahun ini, pembaruan Instagram yang secara otomatis membatasi jumlah konten politik yang muncul di linimasa juga memicu gelombang ketidakpuasan dari pengguna media sosial, termasuk aktivis pro-Palestina yang menuduh platform tersebut melakukan penyensoran.

Baca Juga: Mahasiswa Gaza Tetap Belajar Meski Universitas Hancur

Fatimah Photo Verified Writer Fatimah

Long life learner

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Rama

Berita Terkini Lainnya