Tahun Ajaran Baru, Kelanjutan Pendidikan di Gaza Masih Belum Jelas

625 ribu anak di Gaza kehilangan akses pendidikan

Jakarta, IDN Times -  Perang Israel-Hamas di Gaza, yang telah berlangsung selama 11 bulan terakhir, telah menghancurkan lebih dari 85 persen gedung sekolah dan menyebabkan 625 ribu anak kehilangan akses pendidikan. 

Para siswa dan staf organisasi non-pemerintah mengaku belum mendengar informasi konkret tentang kelanjutkan pendidikan pada semester ini, meskipun Kementerian Pendidikan Palestina bulan lalu mengatakan bahwa mereka berencana memulai kembali kegiatan sekolah di Gaza pada 9 September. Rencananya, proses pembelajaran akan dilakukan dengan metode campuran, yaitu pembelajaran secara online dan di tenda.

“Belum ada pengumuman atau rencana dari Kementerian Pendidikan tentang bagaimana mengganti kerugian bagi siswa dan mengintegrasikan mereka untuk memastikan bahwa mereka tidak kehilangan satu tahun (pendidikan) pun dalam hidup mereka,” kata Mahmoud Shreim, seorang siswa dari lingkungan Al Tuffah di kota Gaza, dikutip dari The National.

"Semua tahun-tahun belajar sebelumnya akan sia-sia tanpa menyelesaikan masa akhir sekolah menengah saya," tambahnya.

1. Anak-anak di Gaza dikhawatirkan akan semakin tertinggal

Serangan Israel yang terus berlanjut telah memaksa penduduk Gaza untuk mengungsi berkali-kali. Beberapa orang khawatir bahwa penundaan masuk sekolah akan membuat anak-anak mereka tertinggal dari anak-anak lainnya di Tepi Barat yang diduduki.

Namun, sebagian orang lebih berfokus pada upaya membantu anak-anak di Gaza pulih secara mental dan fisik, ketimbang memikirkan pencapaian akademis mereka.

“Perang mempunyai dampak negatif terhadap kesejahteraan psikologis siswa kami; mereka jauh lebih agresif sekarang. Pada saat-saat seperti ini, para siswa tersebut seharusnya berada di ruang kelas mereka, belajar secara normal,” kata Mustafa Abu Amra, seorang guru bahasa Arab yang pernah bekerja di sekolah UNRWA.

“Siswa menderita karena banyak hal, termasuk kurangnya pendidikan, gizi, dan keamanan – yang semuanya berdampak negatif terhadap pembelajaran mereka,” tambahnya.

Baca Juga: Bayi di Gaza Idap Polio, Ibu: Dia Tak Bisa Bergerak Sama Sekali

2. Banyak siswa khawatir tidak bisa naik kelas

Abu Amra kini menjadi relawan di tenda-tenda pendidikan yang didirikan di pusat-pusat penampungan pengungsi untuk menjaga para siswa tetap aktif. Di sana, ia mengajarkan bahasa Arab, matematika, dan bahasa Inggris sebagai pengganti kurikulum resmi.

Ia mengatakan bahwa para siswa khawatir tidak bisa lulus setelah melewatkan satu tahun pembelajaran.

“Semua pertanyaan siswa adalah apakah mereka gagal tahun lalu, atau apakah kementerian akan membuat rencana yang dapat membantu menghitung tahun sebelumnya dan tahun ini. Kami tidak punya jawaban apa pun untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut, namun kami berupaya agar siswa dapat terus belajar,” kata Abu Amra.

Ia mengaku telah berkomunikasi dengan organisasi internasional untuk mencoba menyediakan beberapa bentuk pendidikan.

3. Kegiatan belajar di tenda saja tidak cukup

Um Motaz Kaloub, yang tinggal di sebuah tenda di Al Mawasi, Khan Younis, sangat ingin kelima anaknya kembali melanjutkan sekolah. Anak sulungnya seharusnya duduk di kelas 9, sementara anak bungsunya tahun ini mulai duduk di kelas 1.

“Kita harus menyelamatkan para siswa; mereka benar-benar hancur. Mereka sudah kehilangan satu tahun, dan ada ketidakpastian juga mengenai tahun ini,” ujar Kaloub.

Ia mengatakan bahwa tenda-tenda yang didirikan untuk mengajar anak-anak memang membantu, namun itu tidak cukup. 

“Para siswa pergi ke tenda hanya untuk mengisi waktu, bukan untuk belajar dengan serius. Mereka perlu kembali ke sekolah dan terlibat dalam program terstruktur, bangun pagi, belajar dan pulang membawa pekerjaan rumah – untuk menjaga pikiran mereka tetap aktif," tambahnya.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Lina al-Saadi, seorang pengungsi dari Kota Gaza. Anak perempuannya kini menghabiskan sebagian besar waktunya bermain pasir, sementara ketiga putranya mencari air.

“Mereka telah kehilangan pendidikan, kehidupan, dan segala sesuatu yang mereka cintai. Ketika saya melihat tenda-tenda di dekat kamp dan mendengar suara anak-anak belajar di dalamnya, saya menangis. Apakah ini yang kita impikan untuk anak-anak kita? Untuk berakhir di tenda, duduk di pasir, belajar seperti ini?" katanya, dikutip dari Al Jazeera.

Baca Juga: Negosiator Israel: Konflik Gaza Akan Berakhir dalam 3 Pekan 

Fatimah Photo Verified Writer Fatimah

Long life learner

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Rama

Berita Terkini Lainnya