Ratapan Warga Gaza: Ini Adalah Bencana Baru bagi Kami

Ratusan ribu warga Gaza di utara tinggalkan rumah mereka

Jakarta, IDN Times -  Alaa dan ratusan ribu orang lainnya terpaksa meninggalkan rumah mereka di Gaza utara dan menuju ke selatan, setelah Israel mengeluarkan perintah evakuasi pada Sabtu (14/10/2023). Ia mengungsi bersama anak kembarnya yang berusia dua tahun, Kinan dan Kinda, serta putranya yang berusia tiga bulan, Yaman.

“Ini adalah Nakba baru bagi kami semua,” kata Alaa tentang perjalanan yang dilakukannya pada Sabtu, dikutip The National.

Nakba, yang berarti bencana dalam bahasa Arab, mengacu pada eksodus massal ratusan ribu warga Palestina dari tanah air mereka selama Perang Arab-Israel 1948.

“Seluruh keluarga saya meninggalkan rumah mereka termasuk semua harta benda dan kenangan. Saya meninggalkan foto pernikahan saya yang ingin saya bagikan suatu hari nanti dengan putri saya. Saya meninggalkan anting-anting pemberian ibu saya. Kami meninggalkan jiwa kami di sana," kata dia. 

Perempuan yang berprofesi sebagai guru bahasa Inggris itu mengatakan, rumahnya rusak parah akibat pemboman. Israel telah membombardir Gaza secara terus menerus sebagai balasan atas serangan Hamas di wilayahnya pada 7 Oktober.

1. Serangan Israel kali ini disebut yang paling parah

Alaa mengatakan keluarganya, orang tuanya, mertuanya dan beberapa tetangganya kini telah berlindung di apartemen seluas 80 meter persegi di Deir Al Balah di pusat Gaza.

“Kami semua berjumlah 21 orang yang menggunakan kamar mandi yang sangat tua dan kecil, serta dapur yang sangat kecil dengan persediaan yang minim," ujarnya.

“Ini bukan pertama kalinya kami menjadi sasaran bom Israel. Maupun yang kedua, ketiga atau keempat. Saya sudah terbiasa dengan serangan udara dan pembunuhan Israel. Tapi ini adalah hal terburuk yang pernah saya alami," ungkapnya. 

Hidup dalam kondisi yang serba terbatas, Alaa mengungkapkan bahwa dirinya sedih melihat anak-anaknya harus kehilangan kebahagiaan kecil mereka.

“Anak-anak saya suka menonton kartun favorit mereka ‘Masha and the Bear’ di YouTube melalui smart TV kami. Mereka tiba-tiba kehilangan semua hal yang mereka sukai. Kami telah kehilangan rutinitas kami yang membosankan namun normal," ujar dia. 

Baca Juga: Sepekan Perang Hamas-Israel, 2.329 Orang Tewas di Jalur Gaza

2. Korban di Gaza bukan sekadar statistik

Dengan perang yang sedang berkecamuk di Gaza, Alaa kerap bertanya mengapa dunia tidak bersimpati dengan warga Palestina, seperti yang mereka rasakan terhadap warga Ukraina yang menderita akibat agresi Rusia.

“Kami telah memerangi pendudukan kejam yang mencoba mencuri tanah kami selama lebih dari 75 tahun," ucap Alaa.

Dia mengatakan bahwa dirinya dan ribuan warga lainnya telah kehilangan segalanya dalam serangan Israel, dan menegaskan bahwa mereka bukanlah sekadar statistik.

“Saya benci orang melihat kami sebagai angka. Lebih dari 2 ribu orang tewas di Gaza. Kami adalah manusia. Kami memiliki kehidupan seperti Anda. Kami mencintai. Kami membenci. Kami terpelajar dan cerdas," tutur Alaa dengan sedih.

3. Krisis kemanusiaan di Gaza semakin meningkat

Krisis kemanusiaan di Gaza semakin meningkat akibat terputusnya akses terhadap makanan, air, obat-obatan dan listrik di bawah blokade Israel yang telah berlangsung selama seminggu.

Dilansir Associated Press, penasihat keamanan nasional AS Jake Sullivan pada Minggu (15/10/2023) mengatakan, para pejabat Israel menginformasikan bahwa mereka telah menyalakan kembali air di Gaza selatan.

Juru bicara Kementerian Energi dan Air Israel, Adir Dahan, mengatakan air hanya mengalir di satu lokasi di Gaza selatan. Pekerja bantuan dan juru bicara pemerintah Gaza mengatakan mereka belum melihat bukti bahwa air telah kembali mengalir.

Sementara itu, kelompok-kelompok bantuan telah menyerukan perlindungan bagi lebih dari 2 juta warga sipil di Gaza dan mendesak dibuatnya koridor darurat untuk pengiriman bantuan kemanusiaan.

Ahmed al-Mandhari, direktur regional Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), mengatakan tidak ada indikasi bahwa koridor tersebut akan dibuka dalam waktu dekat.

Badan itu memiliki pasokan bantuan di perbatasan Rafah di Mesir, namun tidak ada izin baik dari Mesir atau Israel untuk mengirimkannya.

“Perbedaannya dengan eskalasi ini adalah kami tidak mendapat bantuan medis dari luar, perbatasan ditutup, listrik padam dan ini merupakan bahaya besar bagi pasien kami,” kata Mohammed Qandeel, yang bekerja di Rumah Sakit Nasser di daerah Khan Younis selatan.

Baca Juga: Arab Saudi Bisa Jadi Aktor Kunci Wujudkan Perdamaian Israel-Palestina

Fatimah Photo Verified Writer Fatimah

null

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Vanny El Rahman

Berita Terkini Lainnya