Kasus Pernikahan Paksa dan di bawah Umur Meroket di Afghanistan 

Pernikahan anak dianggap jadi solusi atasi kemiskinan

Jakarta, IDN Times - Jumlah kasus pernikahan paksa dan pernikahan di bawah umur di Afghanistan meningkat secara signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Hal itu terungkap dalam sebuah laporan Inspektur Jenderal Khusus Amerika Serikat untuk Rekonstruksi Afghanistan (SIGAR) baru-baru ini.

Menurut statistik organisasi tersebut, setelah Taliban merebut kekuasaan pada 2021, 35 persen anak perempuan Afghanistan menikah sebelum berusia 18 tahun, dan 17 persen menikah sebelum berusia 15 tahun.

SIGAR melaporkan bahwa antara Desember 2022 dan Februari 2023, terdapat 578 kasus pernikahan paksa yang terdokumentasi di Afghanistan. Sekitar 361 kasus di antaranya melibatkan pengantin di bawah umur, dikutip Khaama.

1. Mimpi menjadi seorang dokter buyar akibat larangan Taliban

Afsana Sakhi, seorang mahasiswi kedokteran, terpaksa berhenti kuliah akibat larangan Taliban yang membatasi pendidikan bagi anak perempuan. Dia mengungkapkan bahwa larangan tersebut membuatnya harus melepaskan mimpinya menjadi seorang dokter dan memikirkan tentang pernikahan.

Afsana telah menginvestasikan banyak uang dalam pendidikannya untuk membantu keluarganya. Namun, ia kini merasa menjadi beban akibat pembatasan pendidikan bagi perempuan.

Ia mengatakan, keluarganya terus-menerus mendesaknya untuk menikah. Mereka mengatakan bahwa mimpinya untuk melanjutkan pendidikan tidak akan pernah terwujud kecuali mereka memiliki banyak uang.

Baca Juga: Gempa Afghanistan: Lebih dari 2.400 Orang Tewas dan 1.320 Rumah Hancur

2. Banyak keluarga melihat pernikahan sebagai alternatif

Taranum Saeedi, aktivis hak-hak perempuan, mengatakan seiring penutupann sekolah, lebih dari 1 juta remaja perempuan Afghanistan tidak mendapatkan pendidikan. Hal ini mendorong banyak keluarga melihat pernikahan sebagai alternatif.

Saeedi menambahkan, pernikahan anak merupakan tradisi yang telah lama ada di Afghanistan dan banyak negara Islam lainnya. Menurutnya, faktor-faktor seperti kurangnya kesadaran keluarga, tradisi yang salah, pengaruh pemimpin agama dan fatwa, kemiskinan, dan keputusasaan keluarga, turut menyebabkan anak perempuan dipaksa menikah di usia yang masih belia.

Aktivis itu mempertimbangkan solusi seperti meningkatkan kesadaran di kalangan keluarga, terutama laki-laki, bahwa anak perempuan adalah manusia dan berhak menentukan hidupnya sendiri. Selain itu, diperlukan juga penerapan undang-undang yang ketat sebagai langkah mendasar untuk mengurangi kawin paksa pada anak perempuan di bawah umur.

3. Anak perempuan sering dianggap beban dalam keluarga

Pernikahan di bawah umur dan pernikahan paksa telah menjadi masalah serius di Afghanistan dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini meningkat secara signifikan sejak bangkitnya pemerintahan Taliban, terutama karena larangan pendidikan bagi anak perempuan.

Pada Desember 2021, keputusan pemimpin tertinggi Taliban, Mullah Haibatullah Akhundzada, melarang pernikahan paksa dan mewajibkan persetujuan perempuan untuk menikah.

Namun, jaksa di pemerintahan Afghanistan sebelumnya, yang tidak ingin disebutkan namanya, mengatakan bahwa hal itu tidak dilaksanakan sehingga jumlah pernikahan paksa pun meningkat signifikan, dilansir The Guardian.

Sebelumnya, UNICEF juga menekankan bahwa pernikahan paksa di Asia Selatan, termasuk Afghanistan, meningkat akibat kesulitan ekonomi dan larangan pendidikan. Hal tersebut membuat banyak keluarga memandang anak perempuan mereka sebagai beban.

Baca Juga: Taliban Larang Perempuan Afghanistan Berkunjung ke Band-e-Amir

Fatimah Photo Verified Writer Fatimah

null

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Vanny El Rahman

Berita Terkini Lainnya