Eropa Dihajar Musim Panas Terparah, Kematian Meningkat

Cuaca panas ekstrem cerminkan pemanasan global meluas

Intinya Sih...

  • Eropa mengalami musim panas terpanas pada 2024, dengan suhu sering melampaui 40 derajat Celsius.
  • Gelombang panas memicu kasus kematian yang berkaitan dengan cuaca panas di Eropa, terutama pada warga lanjut usia.
  • Kekeringan akibat gelombang panas menyebabkan kerugian ekonomi dan pertanian di negara-negara Eropa seperti Kroasia, Austria, dan Hongaria.

Jakarta, IDN Times - Eropa mengalami musim panas terpanasnya pada 2024. Gelombang panas intens dan kekeringan parah melumpuhkan pertanian dan menyebabkan peningkatan kasus kematian yang berkaitan dengan cuaca panas di seantero Benua Biru.

Gelombang panas musim panas yang paling parah melanda Eropa bagian selatan dan timur, di mana suhu sering kali melampaui 40 derajat Celsius. Di banyak negara seperti Slovakia, Rumania, dan Kroasia, suhu tinggi berkepanjangan menyebabkan kekeringan yang meluas.

Layanan Perubahan Iklim Copernicus atau Copernicus Climate Change Service (C3S) Uni Eropa (UE) merilis sebuah laporan yang menunjukkan bahwa rata-rata suhu musim panas (Juni-Agustus) di seluruh wilayah Eropa 1,54 derajat Celsius.

"Itu lebih tinggi dari periode tahun 1991-2020 yang menjadi basis perbandingan, melampaui rekor sebelumnya, yaitu 1,34 derajat Celsius yang tercatat pada 2022," tulis laporan yang dirilis pada Jumat (6/9/2024), dilansir ANTARA dari Xinhua.

Agustus 2024 menjadi bulan terpanas kedua yang pernah tercatat di Eropa, dengan suhu 1,57 derajat Celsius di atas rata-rata pada periode 1991-2020.

Baca Juga: 129 Ribu Orang di Eropa Diprediksi Mati Akibat Gelombang Panas

1. Gelombang panas yang mematikan

Eropa Dihajar Musim Panas Terparah, Kematian Meningkatgelombang panas pada 2010 di Rusia, warga Rusia mendatangi air mancur (commons.wikimedia.org/vlsergey)

Gelombang panas di Eropa pada musim panas kali ini juga terbukti mematikan. Spanyol mencatat lebih dari 2 ribu kasus kematian yang berkaitan dengan cuaca panas pada Juli dan Agustus, dengan warga lanjut usia menghadapi risiko tertinggi, menurut Institut Kesehatan Carlos III (Institute of Health Carlos III).

Tren ini terlihat di seluruh Eropa, dengan Kroasia mencatat tambahan 500 kasus kematian yang berkaitan dengan cuaca panas ekstrem.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Barcelona Institute for Global Health memperkirakan bahwa lebih dari 47 ribu orang meninggal di seluruh Eropa pada musim panas tahun lalu akibat panas ekstrem. Itu menjadikannya sebagai tahun dengan kasus kematian akibat suhu tinggi terbanyak kedua setelah 2022.   

2. Kerusakan dan kerugian ekonomi akibat panas ekstrem

Eropa Dihajar Musim Panas Terparah, Kematian Meningkatterlihat sungai mengalami kekeringan saat gelombang panas pada musim panas 2003 di Loire di Nevers, Prancis (commons.wikimedia.org/Cypris)

Gelombang panas musim panas yang paling parah melanda Eropa bagian selatan dan timur, di mana suhu sering kali melampaui 40 derajat Celsius. Di banyak negara seperti Slovakia, Rumania, dan Kroasia, suhu tinggi berkepanjangan menyebabkan kekeringan yang meluas.

Kroasia mengalami kerugian di sektor pertanian di wilayah timur lautnya. Gelombang panas dan kondisi cuaca ekstrem menyebabkan kegagalan panen jagung, bunga matahari, kedelai, bit gula, apel, dan tanaman lainnya di Austria. Wilayah itu tidak diguyur hujan selama dua bulan, yang menyebabkan banyak sungai menjadi kering dan hasil panen turun 30 persen hingga 40 persen, menurut perkiraan setempat.

Austrian Hail Insurance, sebuah perusahaan asuransi, memperkirakan pada awal September bahwa kekeringan akan menyebabkan kerugian ekonomi hingga 150 juta euro (1 euro = Rp17.082) atau setara 166 juta dolar AS (1 dolar AS = Rp15.410) pada sektor pertanian Austria tahun ini.

Di Hongaria, lebih dari 390 ribu hektare lahan dinyatakan rusak akibat kekeringan per awal September ini, termasuk 235 ribu hektare tanaman jagung dan 125 ribu hektare tanaman bunga matahari, menurut Menteri Pertanian Hongaria Istvan Nagy, seperti dilaporkan oleh kantor berita Hongaria MTI.

Panas ekstrem juga memicu kebakaran di Portugal, Spanyol, dan Yunani, menghancurkan sejumlah besar area hutan, sementara Kroasia melaporkan peningkatan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sebesar 26 persen dibandingkan tahun lalu.

Baca Juga: Jepang Dilanda Gelombang Panas, Suhu Capai 40 Derajat Celcius

3. Cerminkan pemanasan global yang meluas

Eropa Dihajar Musim Panas Terparah, Kematian Meningkatilustrasi kekeringan karena pemanasan global (pixabay.com/Yuri_B/Yuri)

Cuaca ekstrem di Eropa mencerminkan tren pemanasan global yang lebih luas. C3S menekankan bahwa rata-rata anomali suhu untuk sisa tahun ini harus turun setidaknya 0,3 derajat Celsius agar tahun 2024 tidak melampaui 2023 sebagai tahun terpanas, meski berdasarkan data historis hal ini kemungkinan besar tidak akan terjadi.

Data C3S menunjukkan bahwa Agustus 2024 telah menyamai Agustus 2023 sebagai bulan Agustus terpanas yang tercatat secara global, dengan rata-rata suhu udara permukaan mencapai 16,82 derajat Celsius, 0,71 derajat Celsius di atas rata-rata suhu Agustus periode 1991 hingga 2020.

Data tersebut juga menunjukkan bahwa pada Agustus 2024, tercatat 1,51 derajat Celsius lebih hangat dibanding level praindustri (1850-1900), menandai kali ke-13 dalam 14 bulan terakhir rata-rata suhu permukaan global melampaui 1,5 derajat Celsius di atas level praindustri, sebuah ambang batas krusial yang ditetapkan oleh Perjanjian Paris (Paris Agreement).

Sementara itu, data dari awal tahun berjalan hingga saat ini (year-to-date) menunjukkan bahwa 2024 akan menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat, dengan rata-rata suhu global pada Januari hingga Agustus 0,7 derajat Celsius di atas rata-rata untuk periode 1991-2020, angka tertinggi yang tercatat untuk periode ini.

"Dalam tiga bulan terakhir pada 2024, dunia telah mengalami bulan Juni dan Agustus terpanas, hari terpanas yang pernah tercatat, dan musim panas boreal terpanas yang pernah tercatat. Rangkaian rekor suhu ini meningkatkan kemungkinan bahwa 2024 akan menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat," kata Wakil Direktur C3S Samantha Burgess.

Burgess menekankan bahwa berbagai peristiwa ekstrem yang berkaitan dengan suhu yang terlihat pada musim panas kali ini merupakan pertanda bahwa dampak iklim yang lebih parah dan destruktif akan muncul jika tidak ada tindakan mendesak yang dilakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Baca Juga: Korsel akan Rilis Buku Putih Terkait Gelombang Panas

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya