TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

[WANSUS] Asisten Sekjen PBB Bicara Krisis Dunia dan Presidensi G20 RI 

Wawancara khusus IDN Times saat rangkaian KTT G20 Bali

Asisten Sekretaris Jenderal PBB, Sanda Ojiambo (IDN Times/Reynaldy Wiranata)

Jakarta, IDN Times - Presidensi Indonesia dan perhelatan KTT G20 di Bali pada 15-16 November 2022 yang lalu menuai pujian dari banyak pihak. Setahun presidensi Indonesia ini dianggap sukses.

Apalagi, presidensi Indonesia di G20 dijalankan di tengah situasi dunia dan geopolitik yang tidak menentu. Belum rampung masalah pandemik COVID-19, tiba-tiba pecah perang Rusia dan Ukraina yang menyebabkan sejumlah permasalahan, seperti krisis pangan dan energi.

UN Global Compact, sebagai inisiatif khusus dari Sekjen PBB, juga membantu negara-negara di dunia, terutama di bidang ekonomi dan bisnis untuk mempercepat dan menjunjung 10 Prinsip UN Global Compact di bidang HAM, tenaga kerja, lingkungan, dan anti-korupsi, serta mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs).

UN Global Compact didukung oleh lebih dari 17 ribu perusahaan dan 4 ribu partisipan non-bisnis yang berbasis di lebih dari 160 negara dan 69 jaringan lokal. Skala ini menjadikan UN Global Compact sebagai inisiatif berkelanjutan perusahaan terbesar di dunia: One Global Compact, yang menyatukan bisnis demi dunia yang lebih baik.

Bagaimana pandangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait presidensi Indonesia di G20, sepak terjang Indonesia di isu-isu terkini, serta sejumlah isu global lainnya? Berikut wawancara khusus IDN Times bersama Asisten Sekretaris Jenderal PBB dan juga CEO UN Global Compact, Sanda Ojiambo.

Baca Juga: Menlu RI: Janji Presidensi G20 Sudah Ditepati 

Bagaimana Anda melihat presidensi Indonesia di G20 yang berada di tengah-tengah krisis dunia saat ini?

Presiden Indonesia, Joko "Jokowi" Widodo membuka acara G20 hari kedua pada Rabu (16/11/2022). (youtube.com/Kominfo TV)

Saya baru sampai ke Indonesia hari ini (13 November 2022), dan saya turut berpartisipasi juga di pertemuan B20, salah satu side event dari G20.

Saya menilai bahwa tema G20 yang diangkat Indonesia saat ini sangat baik dan tepat. Recover Together Recover Stronger. Ini adalah seruan yang sangat kuat di dunia multilateral dan para pemangku kepentingan global.

Di B20 (13-14 November 2022) juga saya menemukan banyak diskusi yang sangat bagus, apalagi dari sektor swasta. Salah satunya diskusi soal krisis iklim.

Sementara, yang menjadi fokus tahun ini dari G20 yang diketuai Indonesia adalah transformasi digital, krisis energi dan juga iklim. Jadi kami mendorong agar sektor swasta juga memainkan peran yang penting dalam hal tersebut.

Bagaimana pandangan Anda terkait pandemik dalam tiga tahun ini yang mengakibatkan krisis ekonomi?

Ilustrasi tes PCR COVID-19. (Pixabay.com/Kollinger)

Tantangan tidak jadi jauh lebih besar dari yang kita hadapi saat ini. Tetapi memang di seluruh dunia, sektor ekonomi, pariwisata, terpukul oleh pandemik.

Banyak bisnis besar dan kecil sedang berjuang. Ratusan juta orang kehilangan pekerjaan. Seperti yang dikatakan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, untuk mencapai kemakmuran yang langgeng, kita perlu membangun masa depan yang melindungi manusia dan planet ini.

Ada peluang besar bagi sektor swasta dalam transisi menuju masa depan yang berkelanjutan dan aman bagi iklim. Ini tidak hanya ada di sektor baru, seperti energi terbarukan dan kendaraan listrik, tetapi juga membawa praktik dan inovasi berkelanjutan ke sektor tradisional seperti pertanian dan manufaktur.

Bisnis yang berkelanjutan dan lebih tangguh, berkontribusi pada masyarakat yang lebih sehat.

Pasti ada keterlambatan dalam pencapaian Sustanaible Development Goals (SDGs) 2030 akibat pandemik, bagaimana PBB melihat ini?

Diagram 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs)

Berbagai krisis global menempatkan SDGs 2030 ini dalam ‘bahaya besar’. Laporan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan terbaru menyatakan bahwa pandemik, perubahan iklim, dan konflik bersenjata mengancam kelangsungan hidup umat manusia.

Jelas, kerja sama internasional harus segera ditingkatkan untuk menemukan solusinya.

Jika kita ingin mencapai Agenda SDGs 2030 saat pandemik juga belum selesai, perusahaan dan bisnis di seluruh dunia harus mempercepat komitmen mereka terhadap praktik bisnis yang berkelanjutan dan bertanggung jawab serta penerapan Perjanjian Iklim Paris.

Baca Juga: Ini Bisikan Joe Biden yang Bikin Jokowi Adem Saat KTT G20 Bali

Bagaimana pendapat Anda soal ketegangan Rusia dan Ukraina serta China, Taiwan, Amerika Serikat dan Korea Utara?

Seorang anak duduk di ayunan di depan gedung tempat tinggal yang hancur, setelah Rusia meluncurkan operasi militer besar terhadap Ukraina, di Kyiv, Ukraina, Jumat (25/2/2022). ANTARA FOTO/REUTERS/Umit Bektas.

PBB bertugas untuk menjaga perdamaian di negara-negara di seluruh dunia dan selalu mengambil pendekatan diplomasi tanpa kekerasan, untuk mencegah perpecahan di belahan dunia mana pun.

Apa dampak terburuk bagi ekonomi dari dinamika situasi geopolitik, seperti perang Rusia dan Ukraina dari sisi UN Global Compact?

Ilustrasi krisis ekonomi (IDN Times/Arief Rahmat)

Perang di Ukraina berarti pelaporan ESG sedang menjalani ujian terbesarnya sejak konsep tersebut pertama kali diciptakan oleh UN Global Compact pada 2005, selama masa jabatan mendiang Sekjen PBB Kofi Annan.

Kita hidup di dunia yang terbelah oleh konflik, kekurangan energi, meningkatnya inflasi dan ancaman resesi.

Di UN Global Compact, kami yakin bahwa perusahaan dan lembaga keuangan harus menjadi lebih baik dalam mengelola berbagai risiko ESG. Ini termasuk menegakkan prinsip-prinsip universal PBB dalam membela HAM, tenaga kerja, lingkungan dan memerangi korupsi, di mana nilai-nilai yang penting untuk reputasi perusahan dan komponen nilai perusahaan juga semakin penting.

Baca Juga: Jenderal Andika Curhat Dapat Pujian dari Joe Biden Amankan G20 Bali

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya