TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Terusan Suez: Sejarah dan Perkembangan Konflik

Jalur laut tercepat penghubung Eropa ke Asia

Kapal induk melewati Terusan Suez. (Pixabay.com/12019)

Jakarta, IDN Times - Air dari Laut Merah dan Laut Mediterania terhubung dengan adanya sebuah terusan bernama Suez. Terusan itu berada di wilayah Mesir dan juga sebagai salah satu tanda pembelah antara benua Asia dan Afrika.

Gagasan untuk menghubungkan Laut Merah dengan Laut Mediterania telah lahir selama ribuan tahun, sejak Firaun Senusret III memerintah Mesir Kuno antara tahun 1887-1849 sebelum Masehi.

Sejak itu, naik turun pembangunan Terusan Suez terjadi di antara beberapa penguasa. Memasuki dunia modern, Terusan Suez benar-benar dibangun dan dikelola secara profesional oleh sebuah perusahaan bernama Compagnie universelle du canal maritim de Suez. 

Pada tanggal 17 November 1869, secara resmi Terusan Suez dibuka. Sampai tahun 2021, terusan tersebut kini telah berusia 150 tahun.

1. Terusan Suez pada era Sebelum Masehi

Ilustrasi (Unsplash.com/Osama Elsayed)

Zachary Karabell, seorang penulis buku tentang Terusan Suez dalam wawancaranya dengan NPR mengonfirmasi bahwa terusan tersebut telah digagas selama ribuan tahun. Namun saat itu tidak sepanjang dan selebar seperti saat ini.

Sosok yang memiliki ide cemerlang itu adalah Firaun Senusret III yang memerintah Mesir Kuno antara tahun 1887-1849 SM.

Dikutip dari situs resmi Terusan Suez, Senusret III mulai memerintahkan penggalian melalui Sungai Nil dan cabang-cabangnya, sampai terusan tersebut menghubungkan Laut Merah di selatan dan Laut Mediterania di utara.

Tapi teknologi konstruksi era itu, meski sudah cerdas pada zamannya, terusan tersebut kerap mengalami pendangkalan sehingga sering ditinggalkan.

Upaya untuk membangun kembali terusan demi pelayaran terus dilakukan oleh para penguasa setelahnya yakni oleh Sity I (1310 SM), kemudian Necho II (610 SM), Raja Darius dari Persia (522 SM), Polemy II (285 SM).

Memasuki era Masehi, tercatat ada Kaisar Trajan dari Romawi sekitar tahun 98 Masehi yang juga membangunnya. Masalah utama tetap terjadi yakni pendangkalan yang berupa lumpur dan pasir serta puing-puing yang akhirnya menyumbat terusan tersebut.

2. Amr bin Ash dan bencana kelaparan di Mekah serta Madinah

Ilustrasi (Unsplash.com/Mo Gabrail)

Terusan Suez memang memiliki catatan panjang. Tapi dari banyak catatan tersebut, ada yang sering terlupakan yakni penggalian ulang yang dilakukan pada era Amr bin Ash, seorang gubernur Islam pertama yang memerintah Mesir mulai tahun 641 M.

Sepeninggal Nabi Muhammad, kepemimpinan Islam dipegang oleh Ummar bin Khattab. Saat dia memerintah, wilayah Arabia yang menjadi jantung Islam itu pernah mengalami bencana kelaparan.

Ummar bin Khattab kemudian mengirim surat kepada semua gubernurnya untuk mengirimkan pasokan makanan demi menopang kekurangan pangan khususnya di kota Madinah dan Mekah.

Salah satu kiriman pasokan itu datang dari Mesir. Namun waktu yang dibutuhkan untuk mengirim menggunakan unta cukup lama. Itu karena jarak yang ditempuh dari Mesir ke Arab lebih jauh jika dibandingkan dengan wilayah kekuasaan Islam lain.

Pada akhirnya muncul gagasan untuk menggali sebuah terusan demi mempercepat kiriman pasokan. Mesir sudah lama terkenal kaya dengan gandum dari pertanian di lembah-lembah Sungai Nilnya.

Pada akhirnya, proyek Ummar bin Khattab dan Amr bin Ash itu dilaksanakan mengikuti jejak sisa terusan yang pernah dibangun era Romawi. Akhirnya terusan itu beroperasi setidaknya sekitar 114 tahun lamanya.

Tapi terusan tersebut tidak berfungsi sepanjang tahun atau hanya beroperasi secara musiman saja. Ketika Sungai Nil banjir, terusan ditutup. Pada era ini, daerah Arabia dengan rutin mendapatkan pasokan bahan makanan dan biji-bijian yang diperdagangkan dari Mesir.

Ketika Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad menguasai kepemimpinan Islam, Khalifah Al-Mansur yang berkuasa saat itu menonaktifkan terusan tersebut pada tahun 754 M.

Terusan Suez era Islam ini membentang sepanjang 170 kilometer dengan kedalaman sekitar 16 hasta (sekitar 8,3 meter).

Fakta lain ketika Islam memerintah, terusan itu tidak secara langsung menghubungkan Laut Merah dengan Laut Mediterania. Amr bin Ash pernah mengajukan gagasan itu kepada Ummar bin Khattab tapi ditolak.

Penolakan Ummar berdasarkan bahaya invasi dari kekuatan asing. Jika Laut Merah dan Laut Mediterania terhubung, maka jazirah Islam di Arabia akan dengan mudah mendapatkan serangan dari pasukan musuh.

Di Abad Pelayaran yang melahirkan neraka kolonialisme, perkiraan strategis dari Ummar bin Khattab itu terbukti.

Baca Juga: Sejarah Terusan Suez, Tempat Kandasnya Kapal Ever Given

Sekitar satu milenium sejak Terusan Suez ditutup oleh Dinasti Abbasiyah, gagasan untuk kembali melakukan pembuatan kanal besar yang menghubungkan Laut Merah dengan Laut Mediterania kembali muncul.

Itu terjadi pada sekitar tahun 1830-an dan yang mengajukan gagasan tersebut adalah insiyur Prancis bernama Linant de Bellefonds. Pada era ini, kekuatan Islam yang paling besar adalah Dinasti Turki Ustmani.

Khedive Said Pasha adalah utusan Dinasti Turki Ustmani yang bertanggung jawab atas wilayah Mesir dan Sudan. Dia kemudian memberikan izin kepada diplomat Prancis Ferdinand de Lesseps untuk membuat perusahaan yang membangun kanal.

Akhirnya pada tahun 1859, pembangunan Terusan Suez tersebut mulai dilakukan dan baru selesai 10 tahun kemudian. Diperkirakan, ada 1,5 juta pekerja yang ikut dalam pembangunan itu.

Pada tanggal 17 November 1869, secara resmi Terusan Suez dibuka dan menjadi tanggal lahir yang diperingati sampai saat ini.

Saat itu, kapal-kapal yang berlayar di terusan tersebut pada awalnya hanyalah kapal uap. Kapal layar tidak bisa melewati karena angin kencang yang membuat kapal sulit untuk dikendalikan.

Menurut History, sebelum secara resmi Terusan Suez dibuka, malam harinya kapal HMS Newport milik angkatan laut Inggris, secara diam-diam berlayar di kegelapan malam melewati terusan tersebut. George Nares, kapten kapal, secara resmi ditegur atas perbuatannya.

3. Terusan Suez modern secara resmi dibuka

Ilustrasi ketika Terusan Suez dibuka. (Wikipedia.org/Владимир Васильев)

4. Dasar utama pembangunan Terusan Suez modern

Abad Pelayaran yang mulai setelah tahun 1000 Masehi, membuat para pelaut Eropa tersohor keberaniannya dalam mengarungi samudera.

Teknologi navigasi laut dan konstruksi kapal yang semakin modern, dilengkapi dengan penemuan mesiu, menjadikan orang Eropa memburu rempah-rempah dan menyebarkan agama ke wilayah yang baru mereka ketahui.

Abad ini melahirkan apa yang namanya neraka kolonialisme dan imperialisme. Negara-negara Eropa seperti Spanyol, Portugis, Inggris, Prancis, Jerman, Italia dan Belanda melakukan penjajahan di banyak benua lain.

Jalur utama pelayaran saat itu adalah dari Eropa menuju Afrika Selatan (Tanjung Harapan) kemudian menuju Samudera Hindia untuk mencapai sumber rempah-rempah di Nusantara. Jalur lainnya adalah mengarungi Samudera Atlantik menuju benua Amerika.

Untuk rute yang melewati Tanjung Harapan, butuh waktu sekitar 7-8 bulan dari Eropa agar dapat mencapai pelabuhan-pelabuhan di Gujarat dan Goa di India. Waktu akan semakin bertambah lama jika kapal-kapal ingin mencapai Malaka, Jawa atau Maluku, gudang dan sumbernya rempah-rempah.

Karena itu, gagasan membangun Terusan Suez pada era kolonialisme ini adalah untuk mempercepat jalur pelayaran guna menopang ambisi ekspansi penjajahan.

Kapal-kapal Eropa jadi lebih cepat dengan tanpa memutari Afrika. Kapal tersebut berlayar dengan rute Laut Mediterania, Terusan Suez, Laut Merah, kemudian ke Samudera Hindia.

Sampai di Malaka, kapal-kapal Eropa bisa mengambil jalur ke pelabuhan-pelabuhan di Pantura Jawa dan menuju Maluku. Atau jalur lain menuju Hong Kong, China dan Jepang.

Pada akhirnya, meski pembangunan Terusan Suez modern ini sangat berguna dalam mempersingkat jalur pelayaran dan perdagangan, perkiraan Ummar bin Khattab tentang kemungkinan invasi asing ke dunia Islam menjadi fakta yang bisa dibenarkan.

Oleh Nicholas W. Stephenson Smith dari Foreign Policy, terbukanya akses langsung ke Laut Merah membuat kolonialisme membuat kekacauan dalam dua cara.

Pertama, para penguasa Eropa mewariskan kawasan tersebut jadi negara-negara yang sangat militeristik dan saling bersaing. Kedua, kolonialisme menabur benih perpecahan sipil. Dalam prosesnya, kolonialisme Eropa secara komprehensif menjungkirbalikkan budaya politik kawasan, serta hubungan internasionalnya.

5. Terusan Suez era perang Arab-Israel

Kendaraan Mesir melintasi jembatan di atas Terusan Suez ketika perang Arab-Israel. (Wikipedia.org)

Memasuki tahun 1900-an dan lima dekade kemuduan, dunia dilanda kegilaan yang bernama perang. Meski ada kesepakatan untuk menempatkan Terusan Suez sebagai wilayah netral selama masa perang ini, tapi beberapa upaya perebutan tetap terjadi.

Ketika Perang Dunia Kedua berakhir dan banyak negara-negara bekas koloni jadi negara merdeka, Mesir yang juga mendapatkan kemerdekaan mengambil alih Terusan Suez. Di bawah Gamal Abdul Nasser, dia menasionalisasi jalur tersebut.

Konflik muncul dan terjadi apa yang namanya Krisis Suez pada Oktober 1956. Mesir menutup Terusan Suez sehingga diancam akan diserang oleh Prancis, Inggris dan Israel. Masalah reda ketika pasukan perdamaian PBB berjaga dan menengahi masalah.

Pada perang Arab-Israel, konflik muncul kembali dan Terusan Suez kembali ditutup oleh Mesir. Belasan kapal kargo Israel sempat terjebak selama bertahun-tahun di terusan tersebut selama perang.

Ketika Anwar Sadat memimpin Mesir, Terusan Suez kembali dibuka pada tahun 1975 dan terus menjadi jalur perdagangan yang menguntungkan untuk berbagai pihak sampai saat ini.

Baca Juga: Sejarah Terusan Suez, Tempat Kandasnya Kapal Ever Given

Verified Writer

Pri Saja

Petani Kata

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya