TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Gambia Tegaskan Aturan yang Larang Sunat Perempuan

Sunat perempuan tidak memiliki manfaat

ilustrasi bendera Gambia (Pixabay.com/Jorono)

Jakarta, IDN Times - Anggota palemen Gambia menolak rancangan undang-undang (RUU) yang berupaya membatalkan larangan sunat perempuan atau FGM (Female Genital Mutilation). Penolakan dilakukan pada Senin (15/7/2024) usai pembahasan RUU yang disahkan pada Maret lalu.

Sunat perempuan di Gambia telah dilarang sejak 2015. Namun, para aktivis yang ingin menegakkan sunat perempuan menyebutnya sebagai ajaran agama dan tradisi yang telah dilakukan selama ratusan tahun.

Sunat perempuan dapat mengakibatkan komplikasi kesehatan yang serius. Ini seperti pendarahan berlebihan, masalah menstruasi, komplikasi persalinan dan kematian.

1. Upaya melindungi perempuan dan anak perempuan

ilustrasi (Unsplash.com/Annie Spratt)

Sebanyak 34 dari 53 anggota parlemen memilih untuk tetap menegakkan larangan sunat perempuan. Sisanya memilih untuk mencabut larangan tersebut.

"Majelis (Nasional) tidak bisa melakukan tindakan yang sia-sia dengan membiarkan RUU tersebut dilanjutkan ke pembahasan ketiga. RUU tersebut ditolak dan proses legislatifnya habis," kata Ketua Majelis Fabakary Tombong Jatta, dikutip The Guardian.

"Hari ini kita sekali lagi berdiri di sisi kanan sejarah. Kami telah menunjukkan bahwa meskipun mereka membakar negara ini, kami akan membangun kembali negara ini untuk melindungi perempuan dan anak perempuan kami. Hari ini, kami menang untuk Gambia," kata penyintas FGM Jaha Dukureh.

PBB mencatat, Gambia punya FGM tertinggi ke-9 di dunia. Hampir tiga perempat perempuan di Gambia yang berusia 15 dan 49 tahun telah menjalani FGM. Hampir dua pertiga dari mereka menjalani FGM sebelum usia 5 tahun.

Baca Juga: Polisi Tangkap Tersangka Pembunuhan Berantai 9 Perempuan di Kenya

2. FGM tidak memiliki manfaat

RUU untuk membatalkan pelarangan itu diajukan oleh Almameh Gibba. Dia melakukan upaya tersebut untuk menjunjung kesetiaan beragama dan menjaga norma dan nilai budaya.

Dilansir Associated Press, awalnya RUU tersebut disetujui oleh mayoritas parlemen. Aktivis hak asasi manusia kemudian mengintensifkan kampanye tentang bahaya FGM, termasuk melibatkan dokter dan tokoh agama.

"Sungguh suatu perasaan lega yang luar biasa. Tetapi saya yakin ini hanyalah permulaan dari pekerjaan," kata salah satu penyintas Absa Samba.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan FGM tidak mempunyai manfaat kesehatan dan dapat menyebabkan pendarahan berlebihan, masalah psikologis, bahkan kematian.

Verified Writer

Pri Saja

Petani

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya