TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

China Jadi Debt Collector Terbesar di Dunia

China telah berikan pinjaman utang hingga Rp17.207 triliun

ilustrasi bendera China (Unsplash.com/Arthur Wang)

Jakarta, IDN Times - China telah menggelontorkan utang hingga 1,1 triliun dolar atau sekitar Rp17.207 triliun. Ini membuat China sebagai negara dengan pemberi utang terbesar di dunia.

Diperkirakan, sekitar 80 persen uang yang dikeluarkan untuk memberi utang kepada negara-negara yang mengalami kesulitan keuangan. Khususnya negara yang menjadi target lokasi pengembangan proyek Belt and Road Initiative (BRI) China.

Kerja sama proyek pengembangan BRI melibatkan lebih dari 150 negara. Ini dimulai dari Sri Lanka hingga Uruguay. BRI adalah upaya mengembangkan infrastruktur global yang ambisinya menjadikan China sebagai pusat kekuatan ekonomi masa depan.

Baca Juga: Meksiko Tolak Pemutusan Hubungan Diplomatik dengan Israel

1. Debt collector terbesar di dunia

ilustrasi China (Unsplash.com/Nick Flewings)

Proyek BRI telah dimulai sekitar satu dekade yang lalu, dimulai pada 2013. Perjanjian dengan negara-negara yang ikut mendukung proyek infrastruktur global tersebut diresmikan oleh Presiden China Xi Jinping.

Dilansir AFP, dekade pertama proyek itu, Beijing menggelontorkan pinjaman dalam jumlah besar untuk mendanai pembangunan jembatan, pelabuhan dan jalan raya. Ini khususnya di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

AidData, lembaga pengawas pembiayaan pembangunan global, menjelaskan lebih dari separuh pinjaman itu telah memasuki pembayaran pokok.

"Beijing sedang menjalankan peran yang asing dan tidak nyaman (yakni) sebagai debt collector resmi terbesar di dunia," kata AidData.

"Total utang yang belum dibayar, termasuk pokok tetapi tidak termasuk bunga, dari peminjam di negara berkembang ke China setidaknya 1,1 triliun dolar (Rp17.207 triliun)," tambahnya.

2. Mitigasi untuk hindari kemungkinan gagal bayar

Melalui proyek BRI, Beijing mendanai hampir 21 ribu proyek di 165 negara antara tahun 2000 dan 2001. Saat ini, China telah memberi bantuan dan kredit sekitar 80 miliar dolar (Rp1.251 triliun) per tahun. Amerika Serikat (AS) hanya memberikan 60 miliar dolar (Rp938,5 triliun) per tahun.

Dilansir The Guardian, para peneliti menemukan, seiring meningkatnya utang, jumlah proyek yang ditangguhkan atau dibatalkan juga meningkat. Tingginya pinjaman yang ditujukan kepada negara berada atau berisiko kesulitan keuangan, membuat Beijing kian khawatir terhadap risiko gagal bayar.

Untuk memitigasi risiko gagal bayar, China mengeluarkan sejumlah kebijakan, termasuk mengurangi pinjaman untuk proyek infrastruktur sambil terus meningkatkan pinjaman darurat.

Selain itu, bank-bank yang didukung Beijing juga telah mencari cara menghadapi risiko dengan meningkatkan denda atas keterlambatan pembayaran. Bahkan penalti keterlambatan pembayaran naik dari 3 persen menjadi 8,7 persen.

Baca Juga: Jadi Presiden DK PBB, China Janji Pulihkan Perdamaian Palestina

Verified Writer

Pri Saja

Petani Kata

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya