TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Australia Sahkan UU yang Wajibkan Hapus Konten Kekerasan di Internet

UU itu dibuat pascatragedi penembakan di Selandia Baru

(Gedung Sydney Opera House di Australia) www.sydneyoperahouse.com

Jakarta, IDN Times – Parlemen Australia pada Kamis (4/4) akhirnya mengesahkan Undang-Undang (UU) yang mewajibkan semua perusahaan penyedia jasa internet seperti Google dan Facebook untuk menghapus semua materi tindak kekerasan yang beredar di sana. Kebijakan itu diambil pascatragedi penembakan massal yang terjadi di Christchurch, Selandia Baru pada (15/3) lalu. Akibat penembakan tersebut, 50 orang tewas terkena timah panas pelaku, termasuk satu WNI yang bernama Muhammad Abdul Hamid. 

Kebijakan ini tidak saja didukung oleh partai pemerintah, Liberal, tetapi juga Buruh selaku oposisi. Lalu, apa sanksi yang ada di dalam UU tersebut apabila petinggi perusahaan sosial media menolak untuk menghapus konten-konten kekerasan itu?

Baca Juga: [BREAKING] Penembakan di Selandia Baru, 6 WNI Ada di Dalam Masjid 

1. Perusahaan penyedia internet dipaksa untuk menghapus konten kekerasan

blog.archisnapper.com

Stasiun berita CNN edisi Kamis (4/4), di bawah aturan UU yang baru tersebut, perusahaan penyedia jasa internet dan raksasa teknologi seperti Facebook dan Google akan dipaksa untuk menghentikan penyebarluasan konten yang mengandung tindak kekerasan di dunia maya. Apabila mereka gagal melakukan tindakan tersebut, maka para petinggi perusahaan tersebut terancam dipenjara hingga tiga tahun atau didenda sebesar 10 persen keuntungan yang diraih oleh perusahaan. 

2. Australia mengeluarkan aturan itu karena perusahaan pemilik media sosial tidak berupaya mencegah peredaran konten kekerasan

ANTARA FOTO/REUTERS/Edgar Su

Sementara, menurut Jaksa Agung Australia, Christian Porter, pemerintah akhirnya mengeluarkan UU tersebut lantaran perusahaan pemilik media sosial tidak bertindak cepat untuk mencegah meluasnya peredaran konten kekerasan di platform mereka. Ia mengklaim Australia menjadi negara pertama di dunia yang merilis UU tersebut. 

"Jelas sekali dari pembicaraan kami pada pekan lalu dengan perusahaan media sosial, khususnya Facebook, bahwa tidak ada pengakuan dan perlunya bertindak cepat untuk melindungi para penggunanya dari peristiwa horor tayangan langsung live streaming pembantaian dan tindak kekerasan lainnya, sehingga pemerintah telah mengambil langkah dengan mengesahkan legislasi UU ini," kata Porter seperti dikutip stasiun berita CNN pada Kamis kemarin. 

Kendati UU itu didukung oleh kedua kubu oposisi dan pemerintah, namun ditentang oleh sebagian penegak hukum dan dunia industri. Mereka khawatir dengan disahkannya UU tersebut bisa berdampak luas ke sektor lain. 

3. Petinggi perusahaan media sosial bisa diancam pidana penjara tiga tahun

Ilustrasi narapidana. (IDN Times/Sukma Shakti)

Lalu, apa konsekuensinya apabila perusahaan penyedia jasa internet itu gagal mencegah penyebarluasan konten kekerasan tersebut? Harian The Guardian Australia menyebut di dalam UU itu terdapat konsekuensi bagi para penyedia jasa internet yang tidak melaporkan ke polisi soal adanya konten tindak kekerasan. Mereka juga dapat dikenai sanksi apabila gagal menghapus video yang menggambarkan tindak kejahatan yang mengerikan. 

Yang dimaksud tindak kejahatan yang mengerikan yakni aksi terorisme, pembunuhan, upaya pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan atau penculikan. Menurut Jaksa Agung Australia, Christian Porter, durasi waktu yang ditoleransi konten tindak kekerasan itu ada di dunia maya akan ditentukan oleh dewan juri atau masing-masing situasinya kelak. Tetapi, paling tidak perusahaan penyedia jasa internet sudah bisa menghapusnya dalam kurun waktu satu jam usai konten itu diunggah. 

"Dengan adanya aturan hukum ini maka dapat mencegah (meluasnya konten tersebut) dan menawarkan kepada pemerintah kewenangan sehingga apabila ada sebuah perusahaan seperti Facebook membiarkan tayangan livestream yang berbahaya tetap tayang di situs mereka," kata Porter. 

4. UU itu diprotes oleh perusahaan penyedia jasa internet

unsplash.com/Emile Perron

Sayangnya, menurut perusahaan penyedia jasa internet, UU itu dirilis tanpa melalui konsultasi lebih dulu dengan mereka. The Digital Industry Group, yang mewakili beberap perusahaan seperti Google, Twitter, Facebook, Amazon dan Verizon Media di Australia mengatakan UU tersebut dapat mengancam perusahaan. Padahal, yang membuat konten adalah pengguna platform mereka. Kendati begitu, pada akhirnya mereka tidak memiliki pilihan lain selain menghapus konten yang mengandung tindak kekerasan. 

Namun, perusahaan penyedia jasa internet mewanti-wanti dengan begitu banyaknya konten yang diunggah ke dunia maya setiap detiknya, maka permasalahannya tidak sesederhana itu. 

"Anggota kami akan menghapus konten menyeramkan secepat mungkin, tetapi permasalahan ini menjadi kompleks karena ada begitu banyak konten yang diunggah setiap detiknya," ujar Direktur Pelaksana The Digital Industry Group, Sunita Bose seperti dikutip dari harian The Guardian pada Kamis kemarin. 

Sementara, CEO perusahaan piranti lunak Atlassian, Scott Farquhar, mengatakan tidak ada satu perusahaan pun yang menginginkan konten menyeramkan di dunia maya. 

"Masalahnya, UU itu masih memiliki celah dan akan menambah beban biaya pekerjaan ke perusahaan kami. Selain itu, UU tersebut bisa menghancurkan industri teknologi," kata Farquhar. 

Baca Juga: [BREAKING] PM Selandia Baru: Penembakan Masjid adalah Aksi Terorisme

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya