TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Amankan Perdamaian Indo-Pasifik, Taiwan Perlu Masuk dalam Sistem PBB

Taiwan desak PBB tidak tunduk pada tekanan China

Menteri Luar Negeri Republik of China (ROC) (Taiwan), Lin Chia-lung. (Dok. TETO)

Jakarta, IDN Times - Menteri Luar Negeri Republic of China (ROC) atau Taiwan, Lin Chia-lung, mengatakan sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) perlu menyertakan Taiwan demi dunia yang lebih aman dan lebih baik. 

Dia mengatakan merangkul partisipasi Taiwan dalam sistem PBB akan menjadi pilihan terbaik organisasi internasional tersebut. Langkah itu dinilai dapat mengurangi potensi krisis regional, menjaga perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan, serta memacu kemakmuran global.

Hal ini disampaikan jelang Sidang Umum PBB ke-79 mendatang dan KTT-nya yang dinilai akan menghadirkan kesempatan tepat untuk mengatasi masalah keamanan utama. 

"Sekarang adalah waktu yang tepat bagi PBB untuk berkembang dan memikirkan kembali kebijakannya yang tidak dapat dibenarkan, yaitu mengecualikan Taiwan," ujar Lin dalam siaran pers yang diterima IDN Times, Selasa (3/9/2024). 

Dia mengingatkan bahwa sebagai forum kerja sama internasional terdepan di dunia, sistem PBB diposisikan secara ideal untuk mengatasi tantangan keamanan regional dan mendukung stabilitas ekonomi global.

1. Kontribusi Taiwan selama beberapa dekade

Taiwan- Global Goals and Peace (Dok. TETO)

Selama beberapa dekade, menurut Lin, Taiwan telah terbukti menjadi mitra yang bertanggung jawab dan dapat diandalkan bagi mereka yang bekerja sama dengannya. Baru-baru ini, Taiwan juga telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB.

Ke depannya, kata Lin, Taiwan akan terus memainkan perannya bekerja sama dengan negara-negara yang memiliki pemikiran serupa untuk menjaga rantai pasokan global yang sehat dan tangguh. Dalam industri semikonduktor khususnya, dia mengatakan Taiwan bertekad membantu dunia bergerak maju selama beberapa dekade mendatang.

Dia menyebut Taiwan adalah mitra yang sangat diperlukan dalam rantai pasokan global. Salah satunya adalah karena lebih dari 90 persen semikonduktor kelas atas dunia dan sebagian besar chip canggih yang mendorong revolusi artificial intelligence (AI), diproduksi di Taiwan. Selain itu, setengah dari perdagangan laut dunia melewati Selat Taiwan, menjadikannya jalur air internasional yang utama.

"Namun, meskipun sebagian besar dunia dan miliaran orang telah menikmati kemakmuran besar berkat perdamaian dan stabilitas yang berlaku di selat tersebut, China terus mengintensifkan tindakan agresifnya terhadap Taiwan," kata Lin. 

Upaya Beijing untuk mengubah status quo di Selat Taiwan dan memperluas otoritarianisme di seluruh kawasan Indo-Pasifik, menurutnya, merupakan ancaman besar bagi perdamaian dan keamanan di seluruh dunia.

2. PBB belum ambil tindakan soal China halangi Taiwan masuk sistemnya

logo PBB (un.org)

Dalam beberapa tahun terakhir, para pemimpin dunia telah memanfaatkan kesempatan bilateral dan multilateral, termasuk pertemuan G7, Uni Eropa (UR), Pakta Pertahanan Atlantik Utara (The North Atlantic Treaty Organization/NATO, dan ASEAN untuk menyoroti pentingnya menjaga perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan.

Namun, kata Lin, meskipun menyadari pentingnya mengurangi ketegangan di kawasan tersebut, PBB belum mengambil tindakan untuk mengatasi tantangan yang ditimbulkan China untuk memasukkan Taiwan ke dalam sistem PBB.

"Karena pendekatan baru untuk terlibat dengan Taiwan telah muncul di komunitas global, dan menghasilkan manfaat global yang besar, maka gagasan bahwa harus ada pilihan antara China dan Taiwan dalam sistem PBB adalah dikotomi yang salah," tuturnya. 

3. PBB didesak berhenti tunduk pada tekanan China

ilustrasi bendera China (pixabay.com/glaborde7-998034/)

Lin menegaskan bahwa tugas pertama dan paling mendesak yang harus ditangani PBB adalah berhenti untuk tunduk pada tekanan China. PBB diminta tidak lagi mendistorsi Resolusi 2758 Majelis Umum PBB (The United Nations General Assembly/UNGA) yang diadopsi pada 1971.

Lin mengatakan China telah dengan sengaja salah mengartikan Resolusi 2758. Menurutnya, China keliru mencampuradukkannya dengan “prinsip satu China” miliknya sendiri, yang berbeda dari “kebijakan satu China” yang diadopsi oleh banyak negara.

"China terus menerus menekan hak Taiwan untuk berpartisipasi secara berarti di PBB dan badan-badan khususnya. Kekeliruan ini memiliki konsekuensi yang luas. Selain menolak akses warga negara dan jurnalis Taiwan ke PBB, hal ini juga mencegah mereka untuk berkunjung, menghadiri rapat, dan terlibat dalam pengumpulan berita," paparnya.

Untuk memastikan perdamaian global dan stabilitas ekonomi, menurut Lin, PBB dan masyarakat internasional harus menegaskan kembali kekhawatiran mereka tentang perilaku koersif Beijing. Selain itu, perlu juga bekerja sama dalam mencegah perencanaan yang melanggar hukum.

4. Resolusi 2758 dinilai jadi senjata Beijing

Potret Tiananmen Square di kota Beijing, China. (unsplash.com/Nick Fewings)

Lin menyoroti taktik Beijing untuk mempersenjatai Resolusi 2758 guna menyebarkan kekeliruan bahwa Taiwan adalah bagian dari China. Ini dinilainya menjadi salah satu elemen kunci dalam kampanye menetapkan dasar hukum untuk membenarkan invasi bersenjata ke Taiwan di masa mendatang.

"Bertentangan dengan klaim palsu China, Resolusi 2758 hanya membahas masalah perwakilan China di PBB. Resolusi tersebut tidak menyebutkan Taiwan," tutur dia.

Resolusi tersebut tidak menyatakan bahwa Taiwan adalah bagian dari China atau memberikan hak apa pun kepada China untuk mewakili Taiwan dalam sistem PBB. Dengan kata lain, resolusi tersebut tidak ada hubungannya dengan Taiwan.

"Untungnya, dalam beberapa bulan terakhir, beberapa pejabat senior AS telah mengkritik distorsi Resolusi 2758 oleh RRT untuk meluruskan klaim palsunya atas Taiwan," sambungnya.

Pada 30 Juli 2024, Aliansi Antar-Parlemen untuk China menunjukkan dukungan konkret untuk Taiwan dengan mengeluarkan resolusi model tentang Resolusi 2758. Ini adalah sebuah organisasi internasional yang terdiri dari lebih dari 250 anggota parlemen dari 38 negara dan Uni Eropa. 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya