Dewan Pers: Intervensi Kebebasan Pers Muncul Sejak 17 Tahun Lalu

RUU Penyiaran bagai petir di siang bolong

Jakarta, IDN Times - Anggota Dewan Pers, Yadi Hendriana mengatakan bahwa intervensi terhadap kebebasan pers sebenarnya sudah muncul sejak 17 tahun lalu.

Hal tersebut disampaikan Yadi dalam acara diskusi publik yang digelar IJTI dengan tema Revisi UU Penyiaran yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat (15/5/2024).

1. Upaya intervensi pada RUU Pemilu terjadi di 2007 dan 2012

Dewan Pers: Intervensi Kebebasan Pers Muncul Sejak 17 Tahun LaluIlustrasi kebebasan pers (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Yadi menyampaikan, intervensi pada tahun 2007 terjadi saat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu.

"Kita sudah mengalami kebebasan pers selama 25 tahun, ketika diundangkan 1999 sampai dengan sekarang, 2024. Selama 17 tahun terakhir, tepatnya di tahun 2007 intervensi terhadap kebebasan pers itu sudah muncul, masuk di RUU Pemilu 2007," katanya.

Kala itu, dewan pers bersama seluruh organisasi jurnalis, menolak beberapa pasal yang berkaitan dengan pelarangan berita politik atau pemilu di masa tenang. Kemudian akhirnya aturan itu tak jadi disahkan dalam UU Pemilu karena ada penolakan.

Lima tahun berselang, tepatnya pada 2012 juga muncul aturan serupa terkait gelaran Pemilu 2014. Namun kala itu, polemik muncul saat Rancangan Peraturan KPU (PKPU) dibahas.

"Kemudian komitmen dengan Pak Ferry Kurnia (Komisioner KPU kala itu) sebagai legal di KPU dan sepakat untuk tidak menggunakan pasal tersebut di PKPU," ungkap Yadi.

Baca Juga: Menkominfo: Jurnalistik Harus Investigasi, Jangan Dilarang

2. Muncul juga intervensi di RUU Cipta Kerja

Dewan Pers: Intervensi Kebebasan Pers Muncul Sejak 17 Tahun LaluLogo Dewan Pers (dok. Dewan Pers)

Intervensi terhadap kebebasan pers kembali muncul dalam RUU Cipta Kerja di tahun 2020. Dewan pers bersama organisasi pers ramai-ramai kembali menolak. Bahkan sempat digelar audiensi bersama jajaran anggota parlemen.

"Selesai di situ ternyata tidak berhenti, pada 2020 RUU Cipta Kerja memasukan pengaturan terkait pers, di Pasal 18. Dewan pers, AJI, IJTI, PWI, kemudian komunitas pers lainnya menghadap ke DPR ketemu Ketua DPR, Ketua Baleg, masing-masing ketua fraksi. Pasal tersebut mengatur tentang pers terkait denda dan lain-lain. Tidak sampai masuk ke paripurna, Pasal 18 akhirnya di-takeout," ujarnya.

3. RUU Penyiaran di 2024 bagai petir di siang bolong

Dewan Pers: Intervensi Kebebasan Pers Muncul Sejak 17 Tahun LaluDiskusi Publik IJTI soal Revisi UU Penyiaran yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat (15/5/2024). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa

Yadi lantas mengaku kaget dengan adanya RUU Penyiaran yang muncul saat ini. Sebab, Dewan Pers sendiri seakan tidak dilibatkan dalam pembahasan tersebut. Salah satu yang jadi sorotan ialah adanya pelarangan produk jurnalis investigasi dan upaya merebut kewenangan Dewan Pers.

"Tetapi ketika di tahun 2024 masuk, kita kaget, seperti petir di siang bolong, kenapa? Karena bunyi pasalnya itu luar biasa, kalau di 2007, 2017, 2020 itu masih kita bisa manage, kita bisa bicara tapi di tahun 2024 itu luar biasa karena langsung kepada jantungnya," kata Yadi.

Sebelumnya, Dewan Pers menolak rencana RUU Penyiaran yang menuai kontroversi, karena dinilai mengancam kebebasan pers.

Kendati demikian, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menyatakan, Dewan Pers tetap menghormati pemerintah yang memiliki kewenangan secara konstitusional untuk menyusun sebuah regulasi terkait pemberitaan pers baik cetak, elektronik, maupun lainnya.

“Terhadap draf RUU Penyiaran versi Oktober 2023, Dewan Pers konsisten menolak,” kata Ninik  dalam jumpa pers di Kantor Dewan Pers, Jakarta Pusat pada Selasa, 14 Mei 2024.

Ninik menjelaskan, Dewan Pers menolak RUU Penyiaran ini karena pertama, UU Nomor 40 Tahun 1999 tidak dimasukkan konsiderans RUU Penyiaran. Hal itu mencerminkan tidak diintegrasikannya kepentingan jurnalistik sebagai salah satu produk penyiaran.

Kedua, keberadaan RUU Penyiaran ini akan mereduksi kemerdekaan dan independensi pers. RUU Penyiaran juga tidak akan melahirkan karya jurnalistik yang berkualitas.

“Dewan Pers berpandangan perubahan ini akan menyebabkan pers menjadi buruk, pers yang tidak profesional dan tidak independen,” kata dia.

Ketiga, Ninik mengatakan, RUU Penyiaran juga menyalahi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91 PUU/XVIII/2020 yang menyatakan bahwa penyusunan RUU harus ada keterlibatan masyarakat.

Ninik juga menyinggung mengenai larangan jurnalistik investigatif. Menurut dia, larangan ini bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Penyiaran media investigatif itu adalah satu modalitas kuat dalam karya jurnalistik profesional,” beber dia.

Baca Juga: Dewan Pers Tolak Keras RUU Penyiaran

Topik:

  • Ilyas Listianto Mujib

Berita Terkini Lainnya