Yusril: Pembatasan 34 Kementerian Menyulitkan Prabowo Wujudkan Program

Revisi UU Kementerian bebaskan presiden tambah kementerian

Intinya Sih...

  • Proses revisi UU Kementerian Negara diprediksi akan berjalan lancar, fokus pada perubahan pasal yang mengatur jumlah kementerian.
  • Presiden Jokowi akan menunjuk perwakilannya untuk membahas revisi UU tersebut dengan DPR.
  • Pembatasan jumlah kementerian menyulitkan presiden untuk mewujudkan program-program yang dia inginkan.

Jakarta, IDN Times - Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan, proses revisi UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara diprediksi akan berjalan lancar. Presiden Joko "Jokowi" Widodo akan menunjuk perwakilannya untuk membahas revisi UU tersebut dengan DPR. 

"Fokus perhatiannya adalah perubahan pasal yang mengatur jumlah kementerian negara, karena pembatasan (jumlah) kementerian menyulitkan presiden untuk mewujudkan program-program yang dia inginkan," ujar Yusril di kantor DPP Partai Bulan Bintang (PBB), Jakarta pada Sabtu (18/5/2024). 

Ia menilai, ada sesuatu yang bersifat kontradiktif yang berlaku di tata kenegaraan Indonesia. Presiden memiliki hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan seorang menteri. 

"Tapi, bagaimana presiden mau mengangkat menteri kalau kementeriannya tidak ada? Jadi, harus ada jabatan dan ada pejabatnya. Bagaimana mau mengangkat pejabat menteri, sedangkan jabatannya tidak ada," tutur dia. 

Ia menambahkan, sesuai prinsip itu seharusnya tidak ada pembatasan jumlah kementerian. Sebab, bisa saja presiden membutuhkan satu kementerian yang menangani bidang-bidang tertentu. Sementara, kenyataannya di lapangan kementerian tersebut tidak ada. 

Sementara, di Pasal 15 UU Kementerian Negara yang lama, tertulis maksimal jumlah kementerian mencapai 34. Sedangkan, presiden terpilih, Prabowo Subianto santer disebut akan menambah jumlah kementerian hingga 40. 

Baca Juga: PBB Usul Sejumlah Kadernya Jadi Menteri Prabowo, Ada Anaknya Yusril

1. Yusril yakin Prabowo akan bentuk kabinet yang efektif dan efisien

Yusril: Pembatasan 34 Kementerian Menyulitkan Prabowo Wujudkan ProgramPrabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka ketika ditetapkan sebagai presiden-wapres terpilih oleh KPU. (www.instagram.com/@prabowo)

Yusril meyakini Prabowo tidak akan mengikuti Bung Karno yang pernah membentuk hingga 100 kementerian. Prabowo, kata Yusril, akan membentuk pemerintahan secara bijak dengan menyusun kabinet secara efektif dan efisien. 

"Kemudian, kalau bisa jangan terlalu banyak ada perubahan (nomenklatur kementerian). Karena pengalaman saya, ketika menggabungkan dua kementerian atau memisahkan satu kementerian menjadi dua itu tidak sederhana," ujar pria yang pernah menjadi Ketua Tim Hukum Prabowo-Gibran tersebut. 

Saat menjabat Menteri Hukum dan Menteri Kehakiman, ia harus mengalami penggabungan Kementerian HAM.

"Maka, jadilah departemen kehakiman dan HAM. Itu semua perlu proses untuk menyelesaikan itu. Bila nama suatu kementerian berubah, mulai dari papan nama, stempel, kop surat, baju, semua berganti. Dari pusat hingga ke daerah. Saya harus mengganti pegawai penjara, imigrasi, itu semua harus berganti baju. Urusin itu saja butuh waktu 6 bulan. Kapan mau kerja?" tanyanya sambil tertawa. 

Baca Juga: RUU Kementerian: Presiden Bisa Tetapkan Menteri Sesuai Kebutuhan

2. Yusril nilai Prabowo perlu bentuk kementerian khusus untuk tangani program

Yusril: Pembatasan 34 Kementerian Menyulitkan Prabowo Wujudkan ProgramPrabowo dan Gibran usai ditetapkan sebagai Presiden dan Wapres Terpilih 2024 di KPU pada Rabu (24/4/2024). (IDN Times/Fauzan)

Yusril menyebut, pembentukan kementerian baru dibutuhkan untuk merealisasikan program kampanye. Salah satunya pemberian makan siang dan susu gratis bagi siswa sekolah. 

"Itu akan ditangani oleh siapa? Apakah isu itu cukup ditangani oleh kementerian yang ada atau misalnya Pak Prabowo merasa perlu satu kementerian khusus untuk menangani masalah itu? Itu kan tidak ada di pemerintahan sebelumnya," tutur dia.

Selain itu, katanya, Prabowo bertekad mempercepat pembangunan Indonesia sehingga tingkat pertumbuhan pada 2045 mencapai 8 persen. Meski itu berarti pendapatan per kapita harus bertambah. 

"Itu juga bisa terkait kementerian. Misalnya sekarang ada kementerian keuangan, apakah perlu ada kementerian khusus untuk menangani zakat? Apakah itu menjadi kewenangan Kementerian Keuangan atau itu memang dibutuhkan kementerian sendiri sehingga meningkatkan pendapatan negara lewat zakat? Kalau sekarang kan pembayaran zakat sifatnya sukarela agar itu tidak dianggap sebagai pajak," katanya lagi.  

Baca Juga: Menlu Taiwan: Negara Demokrasi Harus Lawan China-Rusia

3. Revisi UU Kementerian Negara memiliki motif politis

Yusril: Pembatasan 34 Kementerian Menyulitkan Prabowo Wujudkan ProgramPakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera, Bivitri Susanti. (Tangkapan layar YouTube Fakultas Hukum Tata Negara UGM)

Sementara, Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, menilai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara tidak bisa diubah begitu saja untuk mengakomodir keinginan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menambah jumlah menteri.

Santer terdengar Prabowo ingin menambah jumlah menteri hingga 40. Hal itu untuk mengakomodir partai yang ingin bergabung ke dalam pemerintahan. 

"Kalau berbicara apakah undang-undang bisa diubah, ya, tentu saja, bisa. Mau UU mengenai mineral batu bara kek, dapat diubah kapan saja. Tapi, kan persoalannya apakah perlu atau tidak, dalam konteks hari ini. Dari proses pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu UU Nomor 12 Tahun 2011, di sana dikatakan kalau mau bentuk undang-undang sudah harus ada perencanaan (tertulis)," ujar Bivitri kepada IDN Times ketika dihubungi pada 10 Mei 2024 lalu.

"Tapi, kalau tetap ingin dikebut untuk diamandemen di DPR, maka ada tahapan normal yang diterabas. Karena undang-undang itu tidak masuk ke dalam perencanaan untuk direvisi tahun 2024," kata perempuan yang ikut berperan di film dokumenter Dirty Vote itu.

Bivitri menjelaskan, kinerja pemerintahan ke depan tidak ditentukan oleh jumlah menteri. Kabinet yang ramping justru membuat pemerintah bisa lebih gesit. 

"Menurut saya sih tidak perlu ada (penambahan jumlah menteri). Poin saya ada di kewenangan menteri, bukan soal kuantitas menterinya ada berapa. Kalau membahas kuantitas, maka akan berbicara soal pembagian kekuasaan saja, bukan demi kepentingan publik," kata Bivitri. 

Ia pun menduga, motif untuk amandemen UU Kementerian Negara lebih bersifat politis.

"Karena yang akan mengambil keuntungan siapa? Kan jelas pemerintahan mendatang. Pak Jokowi sudah tidak bisa lagi membentuk kabinet menteri Oktober nanti," kata dia. 

https://www.youtube.com/embed/DFOQpS-1hsY

Baca Juga: Baleg Setujui RUU Kementerian Negara Jadi RUU Usul Inisiatif DPR

Topik:

  • Deti Mega Purnamasari

Berita Terkini Lainnya