Geram dengan Putusan MA, Mahfud MD: Biar Saja, Biar Tambah Busuk!

Mahfud nilai MA melampaui kewenangannya untuk ubah PKPU

Intinya Sih...

  • Mahfud MD merasa geram dan menilai MA melampaui kewenangannya dalam mengubah batas minimum usia calon kepala daerah.
  • Mahfud menegaskan bahwa perubahan PKPU Tahun 2020 seharusnya dilakukan melalui legislative review atau judicial review, bukan oleh MA.
  • Mahfud juga menilai putusan MA bersifat destruktif dan tidak progresif, serta menantang KPU untuk mengambil sikap berani sesuai dengan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Jakarta, IDN Times - Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD, mengaku geram dan sudah ogah mengomentari putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23/P/HUM/2024, yang mengubah batas minimum usia calon kepala daerah.

Mahfud menilai, apa yang telah dilakukan oleh hakim agung melampaui kewenangannya. Sebab, perubahan PKPU Tahun 2020 tersebut sama saja dengan mengubah  UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah. 

"Kalau mau diterima isi putusan MA maka sama saja dengan membatalkan isi undang-undang. Sedangkan, menurut konstitusi di negara kita, MA tidak boleh melakukan judicial review atau membatalkan isi undang-undang," ujar Mahfud seperti dikutip dari akun YouTube Mahfud, Rabu (5/6/2024). 

Hanya ada dua cara untuk membatalkan undang-undang. Satu, melalui legislative review yakni diubah oleh lembaga legislatif atau DPR. Kedua, melalui judicial review  lewat Mahkamah Konstitusi (MK). 

"Atau bisa juga menggunakan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) bila situasinya darurat. Jadi, ini jauh melampui kewenangan MA," tutur mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu. 

Akibat putusan MA itu, seseorang dihitung berusia minimal 30 tahun dan bisa maju sebagai calon gubernur atau calon wakil gubernur, dihitung saat ia dilantik. Bukan ketika individu tersebut ditetapkan sebagai calon kepala daerah yang ikut berkontestasi di pilkada. 

Mahfud pun mengaku tidak habis pikir dengan putusan MA tersebut. Dalam pandangannya,cara hukum bekerja sudah dirusak oleh pihak tertentu. 

1. Mahfud geram baca putusan MA hingga doakan kebusukan di dunia hukum bakal runtuh

Geram dengan Putusan MA, Mahfud MD: Biar Saja, Biar Tambah Busuk!Guru besar hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. (Dokumentasi media Mahfud)

Lebih lanjut, Mahfud geram ketika mengetahui putusan MA yang bermasalah dan dikeluarkan dalam waktu singkat. Sebab, putusan serupa juga sudah diketok di level Mahkamah Konstitusi (MK). 

"Malas saya bicara yang begitu-gitu. Biarkan saja tambah busuk, tambah busuk, akhirnya kebusukan itu akan runtuh sendiri kan. Suatu saat kalau yang begini-begini diteruskan ya silakan saja, apa yang mau kau lakukan ya lakukan saja. Mumpung Anda masih punya posisi untuk melakukan itu," ujar Mahfud dengan nada gemas. 

Namun, ia mewanti-wanti bahwa suatu saat kelakukan tersebut bisa memukul diri sendiri. Sebab, cara serupa bisa ditiru oleh pihak lain. 

Guru besar hukum tata negara di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu juga mengaku aneh terhadap sikap hakim agung yang membuat tafsir baru dari PKPU. Sebab, di dalam PKPU Tahun 2020 sudah jelas dan legal diatur mengenai syarat pencalonan kepala daerah. 

"Misalnya syarat menjadi kepala daerah adalah minimal berumur 30 tahun, itu kan tidak jelas (berusia 30 tahun) ketika mendaftar atau saat dilantik. Baru MA boleh membuat tafsir soal itu. Sebenarnya, pasal itu dianggap constitutional legal bila ketentuan usia minimal tersebut, ditulis saat mendaftar atau baru dilantik. Sedangkan, di PKPU sudah ditulis dengan jelas berusia minimal 30 tahun saat mencalonkan diri," kata Mahfud memaparkan dengan lugas. 

Baca Juga: Ubah PKPU, DPR Imbau KPU Konsultasi Dulu soal Putusan MA Usia Cakada

2. Mahfud nilai putusan MA destruktif

Geram dengan Putusan MA, Mahfud MD: Biar Saja, Biar Tambah Busuk!Ilustrasi gedung Mahkamah Agung (MA). (IDN Times/Febriyanti Revitasari)

Mahfud juga menilai bahwa putusan MA bersifat destruktif dan tidak progresif. Oleh sebab itu, ia mengaku penasaran penjelasan akademik di balik tiga hakim agung memutuskan untuk menambah tafsir di PKPU tahun 2020. 

"Menurut saya, di dalam ilmu hukum, putusan MA ini salah. Putusan MA itu jelas bikin kacau," kata dia. 

Ia juga menilai putusan MA bersifat inkracht dan mengikat. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai tak bisa menghindari putusan MA itu. 

"Tetapi, secara prosedur dan kewenangan, jelas (putusan) ini salah. Ini bukan saja cacat etik dan moral melainkan juga cacat hukum," tutur dia lagi. 

Namun, Mahfud menantang KPU untuk mengambil sikap yang berani sesuai dengan UU nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di dalam Pasal 17 tertulis setiap keputusan yang cacat moral tidak perlu dilaksanakan. Apalagi, dalam pandangan Mahfud, putusan MA itu juga cacat secara hukum. 

3. Ketua KPU ogah komentari putusan MA yang ubah batas minimum usia calon kepala daerah

Geram dengan Putusan MA, Mahfud MD: Biar Saja, Biar Tambah Busuk!Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari usai jalani sidang di Gedung DKPP, Jakarta Pusat (22/5/2024) (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Sementara, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari ogah mengomentari mengenai putusan MA nomor 23/P/HUM/2024 yang diketok pada 29 Mei 2024 lalu. "Saya no comment dulu, saya belum komentar," ujar Hasyim usai pelantikan anggota KPU Kota Gorontalo 2024-2029 di KPU, Jakarta, pada Senin kemarin.

Sebelumnya, anggota KPU RI Idham Holik juga mengaku belum bisa mengomentari lebih jauh putusan MA. Ia beralasan KPU belum menerima dokumen lengkap terkait putusan MA tersebut. 

"Dalam konteks prinsip berkepastian hukum, maka KPU harus tunggu file putusan yang dimaksud dipublikasikan secara resmi oleh MA," ujar Idham kepada media di Jakarta pada 30 Mei 2024 lalu. 

https://www.youtube.com/embed/zTDNyu4vp-s

Baca Juga: Pakar: PKPU soal Batas Usia Gubernur Sudah Benar, Kenapa Diubah MA?

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya